Sore kemarin, Sumitro yang seorang diri membukakan gerbang area makam, setia memeriksa dupa-dupa yang meranggas dimakan api. Tak ingin mencampuri urusan siapa pun yang berziarah, ia menunggu para tamu di luar gedung makam. Ya, nisan-nisan besar dan tua para raja itu memang tidak dibiarkan diterpa terik matahari dan dibasahi derai hujan. Menyilakan masuk peziarah, tanpa membatasi waktu, tentu Sumitro yakin peziarah layak dipercaya.
"Sebagian orang beranggapan manusia yang telah wafat benar-benar telah tiada. Namun, sebagian lainnya menilai, beliau-beliau ini tidak benar-benar telah tiada, sesungguhnya masih ada walau pun kini beda dimensi. Dan oleh karena itulah ada saja yang terus melanggengkan ziarah, terutama ke makam raja-raja dan para Waliyullah," kata Sumitro dalam bahasa Jawa. Ya, arus ziarah ke makam-makam keramat memang tidak pernah putus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dunia memang melesat maju, tapi akhirat tidak pernah tertinggal meski sejengkal. Di negeri ini, suara milenial memang sangat diperebutkan untuk memenangi pemilihan presiden dan calon presiden, juga calon legislatif, namun suara dari alam gaib tidak pernah diremehkan. Hanya saja, berbeda dengan suasana batin dan percakapan di warung-warung kopi pada masa-masa pemilu yang telah lalu, khususnya di Jawa, kini tema wahyu keprabon tidak menonjol.
Perseteruan antarkubu didominasi oleh isu sentimen agama, terutama agama mayoritas. Perang ideologi bahkan telah terjadi pada tahun-tahun pertama periode pertama Joko Widodo menjabat presiden. Perang opini di media massa maupun media sosial seperti tidak mengenal istirahat. Propaganda apa pun, mulai dari hoaks, ujaran kebencian dan permusuhan, hingga perdebatan sengit tanpa ujung pangkal, mewarnai proxy war. Termutakhir, people power diancamkan.
Barangkali juga karena Pemilihan Presiden 2019 ini hanya semacam pengulangan dari Pemilihan Presiden 2014, yaitu antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto, maka tidak menyeruak lagi cengkerama tentang Jangka Jayabaya. Konsep Notonagoro tidak di-uthak-athik gathuk seperti yang sudah-sudah. Ya, masih muncul perbincangan tentang trah. Namun, bukan untuk menegaskan siapa yang nasabnya lebih baik melainkan untuk menegasikan tuduhan Jokowi anak PKI.
Belajar kepada Sumitro, yang setia untuk menjaga dan merawat makam Raja-Raja Mataram, alam tampak dan alam tidak tampak sesungguhnya berkelindan. Ada kenyataan di atas meja, ada pula di bawah meja. Ada informasi terbuka yang dapat diakses siapa pun, ada pula info intelijen yang bersifat tertutup. Sebesar apa pun pasang-surut arus, tidak akan pernah air permukaan dan kedalaman terpisahkan. Ritual dan spiritual dikodratkan menyatu.
Kampanye tidak hanya soal memberi janji pada konstituen, tapi juga meminta doa dari mereka. Entah permintaan itu benar-benar tulus ataukah hanya manis di lisan, mereka sesungguhnya tahu bahwa selalu ada faktor tak terpetakan yang kebenarannya niscaya melampaui seluruh hasil polling dari pihak dan lembaga mana pun. Faktor penentu itu adalah kehendak Tuhan. Mereka tak akan menampik doa dari siapa pun sepanjang itu doa kemenangan. Para calon juga berdoa di tempat-tempat ijabah demi hajat politiknya.
Pesta demokrasi akan tiba dalam beberapa hari ke depan. Siapa pemenangnya, apakah Joko Widodo atau Prabowo Subianto, telah tertulis sejak mula di Lauh al Mahfudz. Tidak dapat diubah dengan kecurangan oleh kubu mana pun dengan modus apa pun. Jauh sebelum agama dipolitisasi untuk perebutan kekuasaan, dalam hal ini pada Pemilu 2019 di Indonesia, Allah telah mengingatkan Nabi Muhammad SAW tentang sesungguhnya Dialah yang menentukan kekuasaan.
Dalam Q.S. [3]: 26, Allah tegas berfirman, "Katakanlah: Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." Allah-lah penentu kemenangan, bukan kita.
Dalam skala kecil, Sumitro mengatakan ia selalu menerima isyarat gaib sebelum diberi gelar oleh Raja Yogyakarta. Bermula dari Hastono, lalu Bekel, kemudian Ngabehi, lantas Mas Lurah, Sumitro selalu merasa terhubung dengan isyarat gaib. "Tapi, kalau ditanya apakah saya sudah menerima isyarat gaib mengenai siapa yang menang pemilihan presiden, saya hanya bisa berkata, siapa yang menyayangi dan disayangi rakyatnya maka ia yang akan terpilih," tuturnya.
Candra Malik budayawan sufi
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini