People power sebenarnya bukan suatu hal baru dalam diskursus politik Tanah Air. Secara terang-terangan, masa Orde Baru menjadi representasi bagaimana politik kerumunan (demonstrasi massa) mampu menjadi kekuatan baru untuk memutus lajunya kekuasaan. Atas nama rakyat, penguasa Orde Baru dilucuti. Kendati kerumunan massa ketika itu belum mencerminkan kematangan demokrasi, namun sudah cukup menjadi bukti bahwa Orde Baru bermetamorfosa menjadi Reformasi.
Sejak tumbangnya pemerintahan Orde Baru, demonstrasi kerumunan telah direpresentasikan sebagai kekuatan atas demokrasi. Ketika ada individu yang dianggap tidak sejalan dengan kehendak pihak kerumunan (mayoritas), konsekuensinya adalah dikeroyok. Kendati begitu, demokrasi kerumunan bukanlah bentuk dari mobokrasi. Demokrasi kerumunan merupakan kekuatan massa yang bertujuan untuk menekan individu atau kelompok lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam konteks politik Tanah Air, publik sebenarnya telah membuka kembali demokrasi kerumunan. Aksi 411 dan 212 pada akhir 2016 hingga 313 beberapa waktu lalu memperlihatkan bahwa bangsa kita mempraktikkan demokrasi kerumunan. Namun sayangnya, demokrasi kerumunan yang dilakukan hanya menciptakan sikap sentimentil dan primordial. Demokrasi kerumunan tidak menciptakan keadaban yang mengacu pada kesejahteraan publik.
Pengerahan massa yang dicanangkan Amien Rais memang tidak boleh diremehkan. Sebab, pengerahan massa merupakan bentuk terakhir atas ketidakpercayaan terhadap penyelenggara pemilu. Namun untuk saat ini, pengerahan massa akan sulit terwujud. Pertama, jika dilihat dalam 10 tahun terakhir, magnet politik Tanah Air sudah mulai kondusif. Hampir tidak ada gejala politik yang signifikan ingin diakali hanya untuk memenangkan salah satu paslon. Dalam beberapa kesempatan pula, penyelenggara pemilu juga cukup teruji integritas dan netralitasnya, sehingga sangat sulit jika pemilu dianggap akan terjadi kecurangan. Karenanya, people power menjadi sangat berlebihan dan tidak mencerminkan iklim demokrasi yang sejuk.
Kedua, pengerahan massa merupakan cara lama yang sudah tidak cocok dalam konteks demokrasi di Indonesia. Pengerahan massa hanya cocok di era Orde Baru ketika demokrasi tersumbat, ruang-ruang aspirasi dan kebebasan dibatasi. Di era Orde Baru, pengerahan massa merupakan cara terakhir yang bisa dilakukan. Itu sebabnya mengapa pengerahan massa pada saat itu sukses menumbangkan rezim Soeharto.
Namun sekarang, demokrasi sangat bebas, siapa saja boleh menyuarakan aspirasinya tanpa harus turun ke jalan. Media sosial, media cetak maupun online mudah diakses. Informasi tidak tersumbat, segala sesuatunya bisa diakses dengan baik. Perlawanan terhadap kesewenang-wenangan diberikan jalan oleh pemerintah. Harus diingat pula bahwa masyarakat Indonesia memiliki nilai budaya ketimuran yang mengedepankan rasa aman, damai, tenteram, dan santun.
Ketiga, saluran untuk menguji sah tidaknya sebuah pemilihan sudah banyak. Berbagai mekanisme, institusi sudah sangat tersedia, sehingga cara-cara yang berpotensi memecah belah serta mengancam kohesi bangsa tidak perlu lagi muncul. Kita akan sulit membayangkan tingkat kenegarawanan seorang tokoh jika sudah tidak mempercayai mekanisme hukum seperti Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, segala sesuatu yang berhubungan dengan gugatan hasil pemilu sudah tersedia melalui MK.
Keempat, banyak tokoh agama maupun elite dari kalangan ormas Islam yang tidak setuju dan bahkan menentang ide Amien Rais tersebut. Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah David Krisna Alka misalnya, menganggap bahwa pernyataan Amien Rais sebagai bentuk kefrustrasian. Tentu saja pernyataannya bisa dibaca sebagai salah satu cara penolakan atas apa yang diinisiasi oleh Amien Rais. Itu juga dimaksudkan untuk tidak memberikan pernyataan yang justru hanya merusak iklim demokrasi.
Akhirnya, people power boleh jadi merupakan perdebatan yang tidak mengandung nilai konstitusional. People power merupakan alat untuk melegitimasi hasil pemilu melalui kekuatan massa. People power sudah tidak lagi tunduk kepada hukum yang berlaku. People power merupakan akumulasi dari kekecewaan kelompok atas hasil pemilu. Tetapi, prosedur hukum harus terus dikedepankan sebagaimana pematah lama "sekalipun langit akan runtuh, hukum harus tetap ditegakkan."
Aminuddin Direktur Eksekutif Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi (Pokasi), alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(mmu/mmu)











































