Istana tua, kusam, dan berdebu itu sudah terlihat kepayahan menyongsong perubahan zaman. Terlalu lama larut dalam konflik kekuasaan, sampai akhirnya "harta karun" pengetahuan yang terkandung di dalamnya turut tenggelam. Masih banyak kearifan sejarah dan kisah unik yang belum terkuak. Ambillah misal, perkara sejarah teh yang memantulkan kuatnya budaya ngeteh di Jawa tempo doeloe.
Jangan salah, bangsawan Keraton Kasunanan di masa lalu pernah memiliki perkebunan teh di Ngampel, Boyolali. Usaha budidaya tanaman teh dijajal kaum aristokrat tersebut dinamai Madusita. Fakta ini terekam dalam Serat Biwadha Nata yang terpahat kalimat: Ing Ngampel dereng dangu mentas kabikak pabrik teh kagungan dalem, nama Madusita." Kata "madu" artinya madu (manis), lantas "sita" berarti ati (hati) atau adem (dingin).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sampai sekarang, kawasan Ngampel masih menawarkan kesejukan dengan temperatur cuaca 260 c - 300 c serta keindahan untuk santapan bola mata sehingga menerbitkan ketenteraman hati.
Area Ngampel dipilih kaum darah biru sebagai lokasi perkebunan bukan tanpa dasar. Disorot dari segi geografis, tempat ini memenuhi sejumlah persyaratan untuk nandur tanaman teh agar bertumbuh baik. Antara lain, dataran tinggi, beriklim tropis dan sejuk, tanahnya subur berkat guyuran abu Gunung Merapi, serta curah hujan banyak. Biasanya pada Desember-Maret curah hujan tinggi. Tak ayal, warga setempat yang berada di lereng Merbabu kudu waspada dengan ancaman tanah longsor.
Bukan hanya menyuburkan kantong kerajaan, usaha perkebunan teh juga membawa berkah bagi masyarakat setempat. Pembesar kerajaan memberi kesempatan seluas mungkin terhadap penduduk asli guna memperoleh sumber kehidupan di perkebunan. Upah yang didapatkan relatif tinggi dibanding penghasilan mereka sebagai petani yang kadang bernasib pahit akibat gagal panen diserang hama atau salah musim.
Makarya sebagai buruh perkebunan musiman, orang-orang desa tiada perlu pusing memikirkan untung-rugi, sebab perkara itu yang menanggung pengusaha. Aneka pekerjaan buruh, yakni mengangkut daun teh hijau yang dipetik dari petak ke pabrik pengolahan serta mengusung kayu bakar, memelihara bangunan pabrik pengolahan maupun gedung pengepakan, dan mengangkut teh kering keluar dari pabrik pengolahan.
Sewaktu perkebunan hendak dilengkapi gudang pengolahan maupun gudang pengepakan, tentu butuh kayu dan bambu. Bahan itu bisa dibeli dari warga lokal. Kahanan ini mendorong penduduk mencari penghasilan tambahan dengan menjual bambu dan kayu ke kontraktor atau perusahaan perkebunan. Selain itu, pengelola pabrik memerlukan kayu untuk bahan bakar. Dalam memproses daun teh segar, diperlukan penggorengan memakai kayu bakar, khususnya memproduksi teh hitam.
Menurut Sugijanto Padmo (2004), ongkos yang dikeluarkan untuk membangun setiap pabrik dan gedung rata-rata f.500. Nilai uang segitu tidak menjadi soal bagi Paku Buwana X (1893-1939) karena kondang sebagai raja terkaya ketimbang para pendahulunya. Jumlah kekayaan kerajaan tercatat dalam arsip laporan Banda Lumeksa yang didapat dari pajak, persewaan, dan sumber lainnya.
Selepas pabrik teh rampung dibuat, Serat Biwadha Nata menyebutkan Paku Buwana X bersama prameswari meresmikannya. Tentunya, acara peresmian ini menyiratkan pesan terhadap pembesar dan penguasa Mangkunegaran sebagai rival politiknya. Bahwa pihak Kasunanan bersiap menubruk peluang ekonomi dari budaya ngeteh yang semerbak di Hindia Belanda dan melonjaknya permintaan komoditas teh ekspor.
Kalau sudah diniati mencebur di arena bisnis, siapa pula yang mau merugi? Penggede istana sebagai bandar (bos) memastikan keadaan tanaman teh merupakan cerminan dari berbagai keadaan. Misalnya, kondisi lahan, pemeliharaan tanaman, pemupukan, hingga pemberantasan hama dan penyakit. Aktivitas yang dilakoni seperti pemetikan daun hijau dan pengolahan hasil mempengaruhi kualitas teh yang dipanen kudu dicermati dan betul-betul dikawal. Pandangan umum, kian bagus pohon teh, bertambah banyak daun hijau yang dibuahkan.
Tak jarang pengusaha perkebunan teh profesional melibatkan tenaga kerja Tionghoa. Secara historis, negeri Cina memang akrab dengan dunia teh. Bahkan, Inspektur Budi Daya Teh di Hindia Belanda bernama Jacobson tahun 1833 mendatangkan biji teh dari telatah Cina. Tuan kulit putih ini melakoni percobaan penanaman teh di 14 lokasi di Jawa, dan hasilnya lumayan.
Belum terlacak titik-titik sebaran hasil panen teh yang digarap Kerajaan Kasunanan. Namun bila mengacu pada praktik perkebunan kaum Eropa pertengahan abad XIX, jalur pengiriman teh diketahui dari pabrik menuju pelabuhan Semarang, Batavia, lalu Amsterdam dan London. Teh diwadahi keranjang berbahan bambu. Setiap satu pon (setengah kilogram) teh kering berasal dari pemetikan daun teh hijau pada 14 rumpun tanaman teh.
Sekelumit cerita yang saya bentangkan di atas adalah bukti raja pribumi punya andil dalam mengembangkan usaha perkebunan teh di Jawa. Artinya, narasi tentang budidaya teh bukan hanya melulu didominasi komunitas Eropa. Sekalipun disapu gelombang revolusi sosial selepas proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dan menyisakan kepiluan keluarga bangsawan Surakarta, wirausaha kerajaan tradisional ini patut dikenang.
Dewasa ini, bisa ditengok segenap warga Boyolali di dataran tinggi masih merengkuh perkebunan teh. Besar kemungkinan tradisi berkebun teh menjalar dalam tubuh leluhur mereka dari era kerajaan.
Ya, selagi kita bertekun budidaya teh, bangsa Indonesia tak perlu impor. Justru ada kemandirian di sini. Soal rasa, teh negeri ini juga tak kalah enak. Kahanan tersebut menimbulkan kebanggaan serta ketenangan jiwa. Tanpa impor, makin nikmat kala kita memesan wedang teh kebo njerum (kerbau berendam di air), yaitu teh dengan gula batu yang dibiarkan menggeletak tanpa diusik oleh sendok.
Heri Priyatmoko dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, penulis buku Sejarah Wisata Kuliner Solo
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini