Dari sisi isi, surat tersangka korupsi sekaligus mantan ketua umum partai politik itu sama sekali tidak istimewa. Sebagaimana yang lazim dilisankan oleh para koruptor lainnya, isi surat Romahurmuziy (Romy) juga bernada defensif. Siasat defensif yang ia mainkan adalah ironi viktimisasi, yakni bagaimana seorang yang disangka melakukan kejahatan berupaya bersalin rupa menjadi korban. Ekspresi Romy untuk menggeser persepsi khalayak itu adalah sebutan bahwa ia "dijebak" dan harus mengalami nasib apes--sembari menabalkan dirinya--selaku "pemimpin" yang berkarakter "nasionalis relijius moderat".
Sisi unik pada surat Romy itu justru terletak pada butir ketujuh. Disebut unik karena surat Romy itu bertajuk Surat Terbuka untuk Indonesia, namun butir ketujuh justru bermuatan amat-sangat pribadi. Berbeda dengan butir pertama hingga keenam yang masuk akal ketika direpresentasikan dengan objek "Indonesia". Romy yang semula menghadirkan dirinya sebagai sosok yang tengah memperjuangkan apa yang ia yakini sebagai--sebutlah--hajat keindonesiaan, begitu menulis butir ketujuh ia banting setir sebagai seorang individu bagian dari lingkungan sosial terkecil, terinti, bernama keluarga.
Studi menyimpulkan bahwa pada fase-fase awal sejak memasuki proses hukum (pidana), tema yang paling mengganggu ketenteraman batin tersangka adalah masalah keluarga. Karena itulah, kendati berada pada bagian paling akhir, namun konteks pribadi terkait Romy sebagai adik, anak, dan suami di butir ketujuh suratnya itu justru sangat mungkin merupakan bagian paling otentik tentang diri Romy saat itu. Artinya, meski ditujukan untuk Indonesia, namun sejatinya pesan paling esensial dalam rangkaian alinea di suratnya itu ditujukan untuk anak dan istrinya.
Pada butir pertama hingga keenam Romy terkesan terus-menerus mempahlawankan dirinya. Ia juga, dalam keadaan limbung, seolah menegap-negapkan posisi berdirinya. Kontras, Romy--sadar maupun tidak--secara lebih jujur memperlihatkan sisi manusiawinya selaku orang yang terguncang diciduk oleh lembaga superpower sekaliber KPK.
Ambil misal, pengakuan bahwa situasi yang membelitnya amat-sangat berat, ia kiaskan lewat kata "badai". Segala bayangan yang menghantui pasca-penangkapan, terwakili oleh kemungkinan "bully". Perasaan kecil hati coba ia berikan penawar dengan "aku yakin" dan kalimat terlalu percaya diri yang justru samar-samar terkesan mengiba-iba, yaitu "terima kasih untuk terus mempercayaiku" serta "[yakinlah] bahwa apa yang sesungguhnya terjadi tidaklah seperti yang tampak di media."
Demikian pula, suasana batin nan gundah karena kehilangan orang-orang yang dikasihi, diputar balik menjadi 'kehangatan' yang dituangkan ke dalam "peluk cium". Lebih khusus lagi, betapa Romy merindukan buah hatinya tampak nyata sebagaimana tercermin pada narasi cium untuk ananda yang muncul dua kali di surat itu.
Sekali lagi, alinea-alinea itu, walau berada di bagian bawah surat, boleh jadi adalah Romy yang sesungguhnya. Kesedihan itu tidak bisa menunggu lebih lama untuk diungkapkan langsung ke para tertuju, yakni anak dan istrinya. Kepiluan itu meraung-raung hingga menekan ulu hati, dan hanya ada satu jalan untuk menyampaikannya selekas mungkin ke buah hati dan belahan jiwa. Yakni, memaketkan surat terbuka dengan menjadikan media massa sebagai kurirnya.
Betapa pun hati mendongkol setengah mati, namun akal sehat menuntut siapa pun untuk tidak abai pada anak Romy. Benar, Romy adalah orang yang berada dalam masalah yang sangat buruk. Ketika persidangan masih jauh di ufuk, mekanisme sanksi sosial telah bertubi-tubi diempaskan ke Romy. Apabila kelak hakim memvonis Romy bersalah, beralasan kuat jika publik menuntutnya dihukum berat. Kedudukannya selaku wakil rakyat sekaligus orang nomor satu di mesin kaderisasi pemimpin, tambahan lagi dia mengetuai partai berbasis agama (dan agama adalah mercusuar moral paling hakiki!), merupakan alasannya.
Apalagi andai Romy bersikukuh tetap tidak mengakui perbuatan yang dituduhkan KPK, wajar jika masyarakat khawatir bahwa itu merupakan pertanda Romy berpotensi mengulangi perbuatannya. Namun, segala label atas diri Romy tidak sepatutnya salah sasaran dengan mengenai darah dagingnya. Sikap ini terbenarkan oleh hasil riset, yakni anak-anak yang orangtuanya dipenjara secara umum diketahui mengalami masalah perilaku dan emosional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tinggal lagi satu agenda bagi Romy. Salah satu keputusan tersulit adalah menentukan apa yang sebaiknya ia ceritakan kepada anaknya. Itu sepenuhnya keputusan Romy. Tapi sudah menjadi pengetahuan luas bahwa anak akan mampu menyesuaikan diri secara lebih baik ketika orangtua berterus terang tentang situasi yang telah berlangsung dan titian hidup yang akan dilalui nanti.
Reza Indragiri Amriel alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne











































