Tidak ada yang salah dengan politik kewargaan (political citizenship) Indonesia. UUD 1945 menjamin hak untuk memilih dan menduduki jabatan publik dalam pemilihan umum (pemilu) bagi setiap warga yang memenuhi syarat. Namun, komitmen itu tidak menjamin seluruh warga menggunakan hak politiknya (golput).
Salah satu bentuk pengabaian hak politik tampak dari tren penurunan angka partisipasi dalam pemilu. Pada pemilu demokratis pertama (1955), 91,4 persen warga menggunakan hak pilihnya. Angka partisipasi tersebut naik hingga 92,6 persen pada pemilu demokratis kedua (1999). Selanjutnya, tingkat penggunaan hak pilih warga terus menurun hingga 75,1 persen (Pileg 2014) dan 68,4 persen (Pilpres 2014).
Penjelasan paling sederhana terhadap kecenderungan naiknya keengganan warga menggunakan hak pilihnya, yaitu sebagai bentuk protes terhadap situasi politik dan kinerja pemerintahan. Dalam kondisi politik yang demokratis, ekspresi protes politik warga seperti itu merupakan kewajaran. Di satu sisi demokrasi menjamin hak politik, di sisi lainnya demokrasi menghadirkan kebebasan ekspresi politik, termasuk golput (protest voting).
Justifikasi Moralitas
Di luar ekspresi jaminan kebebasan, golput terkait dengan pembahasan etika politik. Sebagai agen politik, warga yang memiliki hak pilih terikat dengan etika sebagai justifikasi moralitas atas tindakan politiknya. Maka, tindakan abstain dalam pemilu bukanlah tanpa konsekuensi etika politik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan kata lain, keputusan golput dalam pemilu lebih mengedepankan kepentingan politik pribadi. Tindakan golput tidak bermanfaat bagi individu. Keputusan abstain tidak bisa membendung proses dan hasil pemilu demokratis. Berapapun angka partisipasi pemilih tidak membatalkan hasil pemilu.
Kedua, perilaku golput secara etika politik menunjukkan keterjebakan pemilih dalam situasi konflik kepentingan. Subjektivitas individu lebih mendominasi keputusan golput. Maka, keputusan tidak memilih mereduksi kesempatan warga secara umum untuk menyampaikan pendapat terhadap kandidat. Tepatnya menegasi agregasi kepentingan atas masa depan kepemimpinan nasional, apakah melanjutkan kinerja politik petahana atau mendukung tawaran perubahan dari penantang.
Biaya pemilu yang mahal juga menjustifikasi perilaku tak etis golput karena bertentangan dengan besarnya dana publik yang dibelanjakan. Untuk setiap individu pemilik hak suara dalam Pemilu Serentak 2019, APBN membelanjakan Rp 128.612. Nilai nominal tersebut masih lebih besar dari rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk biaya pendidikan, kesehatan, dan pakaian, alas kaki, dan tutup kepala yang menghabiskan Rp 125.465 pada 2017.
Ketiga, perilaku golput tidak bisa diterima secara etis politik karena mengindikasikan tindakan "cuci tangan" pemilik suara. Rasa khawatir berlebihan para pemilih terhadap ketidakpastian masa depan pemerintahan dan negara pascapemilu memicu praktik itu. Mereka meyakini tidak bersalah ketika pemimpin dan pemerintahan terpilih gagal menghadirkan kemajuan, karena memutuskan golput.
Pilihan aman dari rasa tidak bersalah itulah yang bertentangan dengan etika politik kewargaan. Jaminan hak memilih dalam konstitusi dasar tidak mensyaratkan pilihan benar atau salah. Yang terpenting, setiap warga yang memenuhi syarat telah mendapat jaminan material dan konstitusional untuk menyalurkan hak pilihnya.
Implikasi bagi Demokrasi
Teori demokrasi menilai perilaku golput telah menegasi demokrasi sebagai instrumen mewujudkan kemanfaatan bersama (common good). Demokrasi berdampak baik bagi sistem politik dan pemerintahan karena kemampuannya menghadirkan kebebasan, partisipasi, keadilan, dan perdamaian. Dalam praktik di banyak negara, demokrasi lahir dari kiprah kolektif seluruh warga negara. Aksi bersama dan partisipasi aktif seluruh warga menjadikan demokrasi bekerja.
Demokrasi mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang berfungsi efektif mencapai jaminan kebebasan, situasi nirkekerasan, dan kesetaraan bagi warga. Merujuk hasil pengukuran Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) dalam kurun delapan tahun terakhir (2009-2017), aspek hak-hak politik warga meningkat dari kategori buruk (54,6) pada 2009 ke kategori sedang (66,63) pada 2017.
Perbaikan terjadi pula pada aspek lembaga demokrasi, meskipun tetap pada capaian kategori perkembangan sedang. Pada 2009, kinerja aspek lembaga demokrasi mencapai 67,72 poin. Delapan tahun kemudian (2017), skor aspek lembaga demokrasi meningkat hingga 9,77 poin.
Satu catatan mesti diberikan pada capaian aspek kebebasan sipil yang menurun hingga 8,22 poin dalam kurun 2009-2017. Meskipun belum sempurna, capaian-capaian tersebut menunjukkan demokrasi relatif berfungsi menghadirkan dampak politik kewargaan dan bekerjanya institusi demokrasi (parpol, birokrasi, dan lembaga peradilan).
Capaian kemajuan demokrasi bukanlah hasil pekerjaan sederhana dan singkat. Demokrasi merupakan hasil kinerja sekaligus orientasi pembangunan politik jangka panjang. Oleh karena itu, aksi tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu merupakan bentuk pengingkaran bagi demokrasi, termasuk bagi kelompok-kelompok yang berkontribusi menumbangkan rezim non-demokratis melalui aksi kolektif yang berani.
Efek jangka panjang perilaku absen memilih menurunkan kepercayaan terhadap demokrasi. Selain itu, pengabaian hak pilih mendorong perilaku oportunisme politik. Saat para pendukung pilihan abstain teguh dengan keputusannya, mereka pun sedang menikmati manfaat hak politik, kebebasan sipil, dan kinerja lembaga demokrasi. Oleh karena itu, gagasan wajib memilih dalam pemilu layak untuk segera didiskusikan.
Wawan Sobari dosen Ilmu Politik, Ketua Program Studi Magister Ilmu Sosial FISIP Universitas Brawijaya