Jika setiap hari tak kurang dari 700 ton sampah ditimbun di TPST Piyungan, maka dalam sebulan ada 21 ribu ton. Nah, bayangkan jika bukit-bukit sampah dengan total volume sebanyak itu tidak terangkut dan berceceran di sekujur Jogja, Bantul, dan Sleman. Apa yang akan terjadi?
Sabar, jangan ngamuk dulu. Itu cuma imajinasi. Bukan sejenis imajinasi untuk menghancurkan Jogja, atau untuk menjadikan DIY sebagai peraih predikat Provinsi Terbau se-Indonesia. Ini semata-mata tentang proses belajar bangsa manusia, yang kadangkala memang harus dijalankan lewat mekanisme sadis bernama malapetaka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya paparkan dulu ceritanya, agar yang belum mengikuti soal ini jadi sedikit tahu. Begini. Beberapa hari yang lalu, ada masalah di TPST Piyungan. Manajemen sampah kacau balau, lalu warga sekitar marah. Intinya begitu. Dengan kemarahan itu, warga yang ternyata posisi politiknya tak kalah perkasa dibanding Pak Luhut itu menjalankan satu langkah ringan tapi berdampak mengerikan: mereka memasang palang, menutup akses menuju TPST.
Akibatnya gampang diduga. Tak ada truk sampah yang bisa masuk. Akibat lebih lanjut, truk-truk itu pun tak mau mengambili tumpukan sampah pada banyak sekali lokasi di tiga area, yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Sleman. Buat apa diambil, kalau tak bisa dibuang ke TPST? Akibat lebih jauh lagi, hanya dalam hitungan hari, sampah-sampah pun menggunung terabaikan di sekujur tiga wilayah itu, terutama di pasar-pasar.
Saya sempat menjumpai salah satu lokasi penumpukan sampah, yaitu di Pasar Lempuyangan. Saat itu masih sekitar hari kedua. Di hari itu saja, sampah bukan cuma menggunung, melainkan sudah meluber longsor berhamburan hingga ke jalanan. Ditambah dengan guyuran hujan yang begitu deras pada hari-hari ini, sempurnalah sudah semuanya, becek dan bau menjadi satu paket yang kompak bersatu padu.
Setelah lima hari yang seiring dengan proses negosiasi, akhirnya akses menuju TPST dibuka kembali. Itu memang kabar baik. Namun, kebaikan dari kabar itu hanya di soal manajemen sampah Provinsi DIY saja. Ia belum lagi menjadi kebaikan yang menghantam langsung ke inti kesadaran manusia. Sementara, hantaman langsung semacam itu cuma akan terjadi jika problem sampah itu sungguh-sungguh terlihat di depan mata kepala semua orang hingga ke level individu, membawa kengerian dan depresi kolektif, dan saya yakin itu semua akan terjadi jika 21 ribu ton sampah berserakan di sekujur Jogja.
Inilah inti kesadaran yang saya maksudkan: apa yang tampak sudah selesai di depan mata kita, sebenarnya sama sekali belum selesai.
***
Selama puluhan tahun, pendidikan tentang sampah di sekolah-sekolah umum dan di tengah publik mengajarkan sesuatu yang sangat egosentris. "Buanglah Sampah pada Tempatnya"; "Dilarang Membuang Sampah Sembarangan"; "Jangan Buang Sampah di Sini"; atau maksimal "Ya Allah, Cabutlah Nyawa Siapa pun yang Membuang Sampah di Tempat Ini".
Papan-papan peringatan, atau boleh disebut papan-papan edukasi publik seperti itu, dipasang seiring dengan materi pendidikan nilai-nilai di sekolah-sekolah. Semuanya mengajarkan satu hal yang baik, yaitu betapa pentingnya menjaga kebersihan. Target-target yang dikejar bersama-sama adalah menjadikan lingkungan tampak bersih, indah, cantik, dan nyaman. Desa bersih, kota bersih, lalu Piala Adipura datang sebagai pengakuan terpuncak atas penampilan yang bersih-bersih.
Persoalannya, pendidikan publik yang digencarkan itu seolah hanya mendefinisikan "lingkungan" sebatas sebagai ruang yang terjangkau pandangan mata kita. Maka kita pun bergembira dengan kota kita yang bersih. Sementara itu, kita lupa sama sekali bahwa kebersihan lingkungan kota kita membawa konsekuensi semakin kotornya lingkungan lain, yakni lingkungan tempat pembuangan sampah dan sekitarnya.
Kebersihan kota kita bukan kebersihan yang hakiki. Ia semu belaka. Ia hanyalah orientasi atas bersihnya rumah kita yang berbanding lurus dengan kotornya rumah orang lain. Ia bentuk kemenangan satu lingkup lingkungan yang mengalahkan lingkup lingkungan yang lain, manifestasi kezaliman satu lingkungan kepada lingkungan yang lain.
Bukankah itu wujud sangat nyata dari egosentrisme?
Dengan pendidikan kebersihan lingkungan yang egosentris, kita tak pernah beranjak menuju kesadaran bahwa nyemplung-nya sekantong sampah ke dalam bak sampah itu bukan akhir cerita. Padahal, masih ada rentetan cerita lain yang membingkai sampah itu, cerita yang bahkan jauh lebih panjang lagi daripada fase sebelum ia nyemplung ke bak sampah.
Nah, cerita yang panjang itu rasanya tidak akan pernah benar-benar disadari, jika tidak ada bukit-bukit sampah yang ambrol tumpah ruah ke jalan-jalan, hingga membuat manusia ternganga sambil menggumam tak percaya, "Duh Gusti, betulkah sampah dari rumahku ada di sana?"
Lalu, sampai di mana dunia pendidikan kita, terutama pendidikan di sekolah-sekolah, menyikapi realitas itu?
***
Sudah saatnya kalimat seruan standar "Buanglah Sampah pada Tempatnya" itu dihapus dan diganti. Ia tidak cukup lagi sebagai penyikapan atas realitas. Bahkan, sejak model kalimat seruan semacam itu dirumuskan pertama kali dulu kala, ia sebenarnya juga bukan respons yang cukup atas realitas. "Buanglah Sampah pada Tempatnya" adalah konsep hidup yang bukan cuma egosentris, melainkan juga tipe pemikiran yang sangat cekak. Sekali lagi, kalimat semacam itu mengandaikan bahwa apa yang selesai di depan mata kita berarti sudah selesai pula dalam segenap proses keseluruhannya.
Alih-alih untuk membuang sampah pada tempatnya, model kampanye yang selayaknya segera dimulai adalah seruan untuk "tidak menciptakan sampah". Tentu itu terdengar mustahil dalam pola manusia berkonsumsi saat ini. Tapi, mungkinkah mindset menuju ke sana kita awali?
Dulu hingga hari ini, orang yang jorok adalah orang yang membuang sampah sembarangan. Nah, bagaimana caranya agar world view demikian berubah pelan-pelan menjadi: orang yang jorok adalah orang yang menghasilkan sampah? Jika itu bisa diraih, kita akan semakin membangun tekanan sosial bukan hanya untuk tertib dalam membuang sampah, melainkan juga tertib dalam meminimalkan produksi sampah, bahkan takut menciptakan sampah.
Bila pandangan dunia seperti itu dapat dibentuk, konsep sampah bisa diperluas lagi. Bukan hanya sampah plastik, sampah kemasan produk-produk konsumsi, ataupun limbah industri. Ia bisa dimaknai dalam konteks yang lebih luas: sampah informasi, sampah kata-kata, hingga... hmmm... sampah moral?
Ah, tiba-tiba saya kok malah jadi khawatir, jangan-jangan tawaran sudut pandang saya ini tak lebih daripada sampah pikiran belaka.
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini