Salah satu infrastruktur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi adalah infrastruktur transportasi, antara lain pembangunan jalan tol. Mahalnya pembangunan infrastruktur seperti jalan tol dan sulitnya pengadaan tanah membuat pemerintah perlu melakukan terobosan di sektor keuangan yang terkait dengan pembiayaan pengadaan lahan atau tanah untuk infrastruktur.
Untuk melakukan terobosan di sektor pembiayaan pengadaan tanah diperlukan payung hukum yang jelas. Oleh karenanya, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 5/PMK.06/2019 Tentang Perubahan Atas PMK No. 21/PMK.06/2017 Tentang Tata Cara Pendanaan Pengadaan Tanah Bagi Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Pengelolaan Aset Hasil Pengadaan Tanah Oleh Lembaga Manajemen Aset Negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peta Jalan dan Hambatan
Pembangunan infrastruktur di era kepemimpinan Presiden Jokowi memang luar biasa percepatannya. Pembangunan jalan Tol Trans Jawa dan Trans Sumatera "dikebut" dengan menggunakan dana talangan pengadaan lahan yang bersumber dari APBN melalui Badan Layanan Umum (BLU) yang bernama Lembaga Manajemen Aset Negara atau LMAN. Masalahnya, proyek yang dapat dibiayai melalui skema LMAN hanya untuk proyek yang masuk dalam kategori PSN dan sudah dilakukan MoU antara BUJT dengan LMAN. Jika tidak ditetapkan sebagai PSN dan belum ada MoU, maka BUJT tidak dapat menggunakan skema LMAN.
Kebijakan yang mengatur bahwa suatu proyek masuk kategori PSN adalah Peraturan Presiden No. 58 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Sebagian ruas jalan Tol Trans Jawa (TTJ) yang panjangnya lebih dari 730 Km sudah masuk dalam skema LMAN dan saat ini sudah beroperasi penuh sejak akhir 2018. Pekerjaan ala Bandung Bondowoso ini dikerjakan 24 jam untuk memenuhi target yang diberikan oleh Presiden.
Dengan skema LMAN pekerjaan pembangunan infrastruktur menjadi lebih cepat karena dana untuk pembelian lahan tersedia. Sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, semua persoalan administrasi pertanahan dikerjakan oleh Kementerian ATR/BPN. Selanjutnya BUJT dapat memulai pembangunan jalan tol dengan menggunakan dana investasi yang berasal dari pinjaman komersial perbankan.
Permasalahan muncul ketika dana talangan untuk pembebasan lahan yang dikelola oleh LMAN belum dianggarkan di tahun anggaran berjalan atau karena ada penambahan kebutuhan lahan yang tidak dicantumkan pada MoU antara LMAN dengan BUJT, maka BUJT harus menalangi dana pembebasan tanah terlebih dahulu demi mengejar batas waktu penyelesaian pekerjaan PSN. Di sinilah permasalahan bermula dan dapat mengancam likuiditas BUJT jika dana talangan tidak segera dapat dibayarkan oleh LMAN ke BUJT sesuai jadwal. Untuk membuat tagihan dana talangan ke LMAN, BUJT harus melampirkan beberapa dokumen, yaitu (1) akte atas hak tanah, (2) kwitansi pembayaran, dan (3) Surat Pelepasan Hak.
Jika dana talangan lambat dikembalikan oleh LMAN ke BUJT, maka kerugian akibat cost of money menjadi tanggungan BUJT. Bunga pinjaman komersial ke bank atau lembaga keuangan atas dana investasi konstruksi jalan tol juga harus ditanggung BUJT. Begitu pula jika BUJT mencari dana dari obligasi atau instrumen keuangan lainnya. Sehingga kerugian BUJT menjadi berlipat-lipat.
Artinya BUJT harus menanggung bunga pinjaman komersial perbankan rata-rata 10%, sementara Kementerian Keuangan menggunakan standar BI rate untuk pinjaman BUMN sekitar 5%. Mengapa muncul selisih 5%? Seharusnya bunga pinjaman komersial dan BI rate untuk pinjaman oleh BUMN sama. Lalu perbedaan tersebut siapa yang menanggung?
Rumitnya proses penagihan ke LMAN pada akhirnya merugikan BUJT karena harus menanggung cost of money. Untuk penagihan, BUJT harus mengajukan tagihan ke LMAN kemudian LMAN memeriksa (audit) dan lanjut diverifikasi oleh BPKP. Setelah semua beres di BPKP, berkas tagihan dikembalikan ke LMAN untuk proses pencairan dana ke BUJT bersangkutan. Masalahnya, LMAN bukannya segera mentransfer ke BUJT, tetapi kembali memeriksa hasil kajian BPKP. Kalau beres semua, baru LMAN mengirimkan pembayaran ke BUJT. Proses ini memakan waktu berbulan bulan dan membuat cost of money yang harus ditanggung oleh BUJT terus membesar.
Di sini terlihat bahwa selain masalah birokrasi yang menghambat proses pencairan dana talangan, masalah kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang cekatan di LMAN maupun di BPKP perlu lebih diperhatikan oleh Kementerian Keuangan, mengingat kencang dan masifnya pembangunan infrastruktur yang membutuhkan dana talangan.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, selama tiga tahun telah menganggarkan dana talangan kepada LMAN sekitar Rp 59 triliun yang terbagi menjadi Rp 16 triliun (2016), Rp 25 triliun (2017) dan Rp 18 triliun (2018). Dana LMAN ini tidak dapat dibayarkan di luar tahun anggaran dan jika tersisa karena tidak terpakai, maka dana tersebut tidak dikembalikan ke negara tetapi menjadi kekayaan LMAN. Selama 2016 - 2018 dana talangan yang sudah dibayarkan ke BUJT sekitar Rp 47 triliun, sisanya sekitar Rp 12 triliun belum diketahui akan diapakan oleh LMAN.
Langkah yang Harus Diambil
Pemerintah harus segera membenahi SDM di LMAN dan BPKP. LMAN merupakan BLU yang baru dibentuk dan berisikan orang-orang muda yang berdedikasi tinggi, sehingga mereka cenderung terlalu teliti dan berkepanjangan dalam memeriksa sebuah tagihan. Mereka melakukan pemeriksaan sambil belajar meneliti latar belakang PSN yang dikerjakan, akibatnya dapat memperlambat proses pembangunan secara keseluruhan. Di sisi lain BPKP merupakan lembaga audit negara yang sangat kompeten, namun untuk menangani pembangunan PSN yang masif jumlahnya, patut diduga BPKP kewalahan karena kekurangan SDM.
Selanjutnya perlu ada terobosan yang dapat mempercepat proses pencairan dana LMAN. Sehingga pekerjaan pembangunan infrastruktur, khususnya jalan tol, tidak saja menjadi lebih efisien dan cepat tetapi juga menghasilkan tata kelola yang baik. Penggunaan bank BUMN untuk kredit infrastruktur juga perlu aturan yang jelas, jangan hanya bank BUMN tertentu saja.
Untuk besaran bunga pinjaman BUJT kepada Bank BUMN sebaiknya diatur lebih prudent supaya tidak ada perbedaan yang merugikan dan dicurigai ada sesuatu permainan di kemudian hari. Seharusnya sesama BUMN (BUJT dan bank) ada sinergi yang saling menguntungkan.
Agus Pambagio pemerhati kebijakan pubik dan perlindungan konsumen
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini