Kinerja Jokowi Memberantas Korupsi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kang Hasan

Kinerja Jokowi Memberantas Korupsi

Senin, 01 Apr 2019 10:53 WIB
Hasanudin Abdurakhman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Ada satu segmen dalam debat calon presiden akhir pekan kemarin, di mana Prabowo mengkritik Jokowi dalam soal pemberantasan korupsi. Prabowo secara khusus mengkritik terjadinya jual beli jabatan di berbagai kementerian. Tentu saja secara tersirat ini memberi garis bawah pada kasus jual beli jabatan di Kementerian Agama, yang dimakelari oleh Ketua Umum PPP yang tempo hari terjerat oleh OTT KPK.

Jawaban Jokowi terasa sangat memutar jauh dari kritik Prabowo itu. Jokowi menjawab bahwa korupsi diberantas dengan menutup peluangnya. Ia menyodorkan konsep perizinan yang terbuka dan transparan, melayani dengan cepat. Dengan cara itu korupsi bisa dicegah. Secara khusus ia menyebut Online Single System (OSS), sistem perizinan yang diluncurkan tahun lalu.

OSS yang disebut Jokowi bagi saya masih terlalu prematur untuk diklaim sebagai prestasi kerja. Sistem ini baru berhasil diluncurkan, tapi belum bisa disebut berhasil melayani. Boro-boro disebut berhasil berkontribusi memberantas korupsi. Sistem ini masih saling tidak konsisten secara internal, sehingga sangat membingungkan dunia usaha.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terlepas dari soal itu, jawaban Jokowi tadi tidak relevan untuk menjawab kritik Prabowo. Betul bahwa membangun sistem yang memberantas korupsi itu mutlak. Tapi yang disebut Jokowi itu adalah korupsi birokrasi. Untuk memberantas korupsi jenis ini memang diperlukan sistem seperti yang dicontohkan. Walau dengan catatan pula bahwa membuat sistem saja tidak serta merta membuat korupsi itu berkurang.

Sedangkan yang dikritik oleh Prabowo adalah sisi lain dari korupsi, yaitu korupsi politik. Ini adalah korupsi yang melibatkan elite-elite politik, yang mereka sendiri tidak masuk dalam struktur birokrasi pemerintahan. Romahurmuziy (Romi) yang kemudian mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PPP itu adalah anggota DPR di Komisi III. Komisi ini tidak terkait langsung dengan Kementerian Agama. Tapi kenapa Romi bisa bergentayangan di Kementerian Agama?

Jawabannya adalah karena Romi satu partai dengan Menteri Agama. Polanya sama dengan korupsi yang dilakukan oleh Luthfi Hasan Ishaq, mantan Presiden PKS. Dia tidak berada dalam komisi yang mengurusi soal pertanian, tapi terlibat dalam korupsi terkait pertanian. Juga sama dengan pola korupsi di Kemenppora yang menjerat banyak elite Partai Demokrat. Kuncinya adalah, ketika seorang menteri dari partai masuk ke kementerian, ia seakan membawa gerbong partainya di situ. Orang-orang partai bergerilya di dalam, memanfaatkan segala peluang yang ada di situ untuk mengumpulkan uang.

Prabowo sedang menegaskan bahwa korupsi jenis itu masih merajalela di era pemerintahan Jokowi. Jokowi tentu saja tahu betul soal itu. Karena itu ia menghindar dengan jawaban tadi. Secara tersirat ia sebenarnya sedang mengakui bahwa korupsi politik seperti itu masih sedang terjadi di dalam pemerintahannya.

Apakah sistem yang dibangun dalam birokrasi dapat mengurangi korupsi politik? Secara teoretik bisa. Masalahnya, birokrasi saat ini juga tidak berlangsung mengikuti teori. Secara teoretik yang merupakan jabatan politik adalah menteri. Dirjen dan jajaran di bawahnya adalah jabatan birokratis yang seharusnya bebas dari kepentingan politik dan pengaruh partai.

Ketika pengaruh partai sudah masuk ke birokrasi, sistem bisa saja dibuat tidak bekerja, atau disalip di dalam birokrasi. Karena itu menurut saya, sistem yang disodorkan oleh Jokowi bukanlah jawaban atas persoalan korupsi politik. Apalagi bila menyangkut korupsi anggaran yang biasa melibatkan anggota DPR. Sistem semacam OSS tidak bisa menyentuhnya.

Lalu apa solusinya? Korupsi politik mestilah dihadapi secara politik pula. Presiden yang berkuasa harus menangani partai-partai koalisinya dengan prinsip antikorupsi yang sangat tegas. Yang terjadi selama ini adalah adanya permakluman diam-diam terhadap partai-partai anggota koalisi. Sikap ini yang harus ditinggalkan.

Wujud nyatanya bagaimana? Misalnya, kalau ada menteri dari suatu partai terlibat korupsi, ganti dengan orang lain yang bukan dari partai itu. Dengan begitu partai akan waspada secara kolektif.

Itu contoh saja. Masih banyak hal lain yang bisa dilakukan Presiden untuk mencegah korupsi politik. Presiden pasti tahu apa yang harus dilakukan. Masalahnya, dia mau atau tidak.

Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads