Teman kami hendak menghadiri hajatan saudaranya di Sidareja, dekat Cilacap, Jawa Tengah dan ia mengajak kami untuk turut serta. Dengan tawaran, sementara dia memenuhi agendanya, kami bisa menghabiskan waktu di Pangandaran, yang tak jauh dari tempat tujuan tersebut. Sebuah tawaran yang menarik, untuk mencuri waktu sesaat di sela bulan-bulan awal tahun 2019 yang hiruk-pikuk oleh urusan politik dukung-mendukung pilpres, dengan berlibur ke pantai. Dia jadi tidak cengok sendirian selama menyetir kurang lebih delapan jam, dan kami mendapat tumpangan untuk bersenang-senang pada akhir pekan.
Itulah gunanya pertemanan, memberikan keuntungan pada kedua belah pihak, tanpa ada yang terbebani ataupun merasa berutang budi. Sama-sama enak, kalau kata (judul film) Sersan Prambors zaman dulu. Atau, kalau kata pepatah lama, sekali merengkuh dayung dua-tiga pulau terlampaui. Maka, begitulah, bertiga kami meluncur, membelah dingin pagi, diiringi lagu-lagu riang dari Spotify, obrolan, dan tawa tiada henti, menjelma tiga tokoh dalam sebuah film road movie.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kesenjangan umur tentunya sedikit-banyak (lebih sering banyak sih hehehe) berdampak pada perbedaan pola pikir, cara pandang, dan berbagai kecenderungan lainnya. Ditambah lagi, kami juga berasal dari profesi yang berbeda-beda. Saya --sebagaimana diketahui (ehm!)-- adalah editor, kritikus, dan budayawan terkenal *benerin syal*. Teman saya yang menyetir adalah seorang profesional mapan papan atas di sebuah perusahaan farmasi asing yang jika disebutkan di sini Anda semua pasti tahu.
Sedangkan, teman kami satu lagi adalah filmmaker (muda berbakat) yang sedang meniti karier dan berusaha menembus industri perfilman nasional lewat karya-karya film pendek (beberapa masuk kompetisi dan berbagai ajang pemutaran) dan webseries. Ia juga menjadi kontributor di sebuah majalah online gaya hidup urban. Tulisan-tulisannya (utamanya ulasan film) selalu menarik perhatian karena gayanya yang khas dari generasi baru. Seorang profesor terkenal (dari Generasi Baby Boomers) yang menekuni budaya pop sampai pernah dibuat ternganga-nganga (sambil ikut mem-viral-kan tulisannya), bahwa ternyata ada "ragam tulisan" seperti itu, yang tak pernah dia jumpai dari generasinya.
Kami dipertemukan oleh minat yang sama pada film dan seni-budaya secara umum lewat jejaring blog Multiply (yang sekarang sudah almarhum). Kota megapolitan dengan kehidupan urban serupa Jakarta, yang melahirkan manusia-manusia yang jauh dari keluarga di tanah kelahiran, tercerabut dari akarnya, dan terasing bahkan dengan dirinya sendiri, kesepian, menciptakan pertemuan-pertemuan "aneh" semacam itu, yang pada akhirnya membentuk pertemanan yang unik, hakiki, dan mungkin abadi. Ini berbeda dengan teman di kantor atau teman satu profesi atau teman yang terbentuk dari hubungan kerja.
Saya punya teman --yang lain lagi, tidak ikut dalam perjalanan (kali) ini-- yang tidak menyebut "teman (se)kantor" sebagai "teman", melainkan "co-worker". Terkesan dingin dan tak berperasaan memang, tapi bila kita mau jujur dan lebih membuka diri, sebenarnya itulah kenyataannya. Tentu saja, pengecualian selalu ada. Tapi, intinya, dalam pertemanan di ruang kota di mana masing-masing kita cenderung "tak punya nama", yang diperlukan adalah ketulusan, jiwa-jiwa yang bersih dari pamrih dan motif-motif kepentingan.
Jadi, sampai di mana tadi? Oh ya...membelah gunung. Ini semua gara-gara dua teman saya yang begitu menghamba pada teknologi. Berkali-kali saya bilang, tinggal lurus saja, tinggal ikuti petunjuk-petunjuk yang terpampang di sepanjang jalan. Tapi, kedua teman saya lebih percaya pada Google Maps. Memang akhirnya terbukti, perjalanan jadi lebih singkat. Dan, hikmah lainnya, kami jadi melewati jalur-jalur yang tidak biasa, dengan pemandangan yang menakjubkan. Meskipun sebenarnya perjalanan kami jadi agak memutar, melewati wilayah Brebes, Cilacap, dan memasuki Pangandaran dari arah timur alias masuk ke Jawa Tengah dulu. Padahal, Pangandaran ada di Jawa Barat.
Dengan berbagai hitung-hitungan "untung" dan "rugi" itu, kesimpulannya saya kalah. "Makanya, baby boomers diam aja deh, duduk manis, serahkan pada milenial!" seru teman saya sadis. Seandainya ini terjadi dalam film, saya pasti sudah berteriak, minta mobil berhenti, lalu keluar dengan membanting pintu sambil dengan kasar menarik ransel dan berlari ke arah hutan pinus yang terhampar di sisi jalan. Tapi, faktanya, kami justru tertawa-tawa bahagia, menikmati jalanan yang berliku, menanjak, menikung tajam, dan....sunyi senyap --sambil membayangkan, "Wah, kalau lewat sini malam hari, enggak deh!"
Pada saat yang lain, salah satu di antara kami akan berteriak, "Lihat, pemandangannya seperti di Ubud!" Lalu, yang lain menyahut, "Jangan ada yang minta berhenti ya...kita foto-foto di Pangandaran saja!" Lalu, kami tertawa lagi. Ada saat ketika suasana kembali sunyi. Lagu di Spotify terus mengalun, tapi ketika tidak ada obrolan, rasanya lagu itu hanya menambah kesunyian saja. Inilah bagian yang selalu saya sukai dari sebuah perjalanan, lebih-lebih jika dilakukan dengan teman-teman terdekat.
Kami jadi bisa memikirkan kembali banyak hal, dari bagaimana kami dipertemukan hingga kemudian membentuk persekutuan yang "ganjil", namun memberi banyak kemungkinan pada terbukanya berbagai cara untuk saling mengisi, dan memberi makna pada kehidupan yang fana ini.
Selain saling ledek tanpa menyakiti, membicarakan orang lain dari dunia yang beririsan, bertukar cerita tentang pengalaman profesional masing-masing, hingga berdiskusi panas soal perkembangan dan dinamika politik serta masa depan negara, perjalanan selalu melahirkan dialog dari hati ke hati, yang kadang tidak terjadi dalam obrolan ketika duduk-duduk di kafe pada Minggu sore. Perjalanan bukan semata-mata soal tujuan, melainkan menikmati seluruh proses mencapai tujuan itu, dan sering justru itulah bagian terpentingnya. Tujuan adalah kepastian, tapi proses untuk mencapainya adalah tahap-tahap penuh kejutan, berlimpah aspek yang dinamis, yang kadang di luar bayangan, dan menuntut penyikapan tertentu untuk menerimanya.
Ketika berhenti untuk sarapan, ketika menentukan tempat yang sama-sama disetujui untuk makan siang, ketika mampir di sebuah toko oleh-oleh sebelum pulang...semua itu memiliki "drama"-nya masing-masing yang menambah keakraban, mempertebal rasa persaudaraan, dan memperkaya pengalaman mental untuk menghadapi kenyataan-kenyataan hidup. Ada sisi-sisi lain dari diri kita yang selama ini tersembunyi, mendadak tersingkap. Perjalanan membuat kita kembali mengenali diri masing-masing, dan memahami satu sama lain. Siapa kamu, siapa aku, dan mengapa kita di sini bersama-sama.
Selama hampir 1400 tahun kita meyakini bahwa Bumi tempat kita hidup --setelah terlempar dari Surga karena berbuat dosa-- adalah pusat alam semesta. Tapi, ternyata tidak. Baru belakangan ini saja, dalam hitungan ratusan tahun terakhir, kita menemukan kenyataan bahwa kita tidak berada di pusat alam semesta; kita justru hidup --seperti kemudian diungkapkan dalam bahasa yang indah oleh fisikawan dan ahli astronomi Carl Sagan-- di suatu "planet di bintang biasa-biasa saja yang tersesat dalam galaksi di suatu pojok terlupakan alam semesta yang berisi lebih banyak galaksi daripada manusia."
Kita hidup di sebuah tepian, dan hanya bisa membayangkan alam semesta yang membentang jauh melebihi apa yang dapat dipandang mata, bahkan dengan teleskop. Jagad raya terbentang tanpa akhir dan hampir kosong; Matahari, planet-planet, dan bintang bergerak dalam diam, tak peduli kepada kita. Kita tertelan luasnya ruang yang tak kita ketahui, dan tak mengetahui kita. Kita takut dengan kesunyian abadi di jagad raya tanpa batas ini. Kita ngilu setiap kali membayangkannya.
Kita dulu juga pernah berpikir bahwa kita adalah makhluk unik yang berbeda dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan, tetapi akhirnya sebuah kabar besar dan mengejutkan datang. Kita akhirnya tahu bahwa kita adalah keturunan dari leluhur yang sama dengan semua makhluk di sekitar kita. Kita hanyalah bagian dari alam semesta, bagian yang sangat kecil sekali. Dalam kiasan yang dirumuskan oleh fisikawan teoretis Italia Carlo Rovelli, kita seperti anak tunggal yang ketika tumbuh besar menyadari bahwa dunia tidak berputar di sekeliling dirinya, sebagaimana yang dia pikir sewaktu kecil. Kita berkaca pada pihak lain, pada alam sekitar, dan melalui hal-hal lain itulah kita mempelajari dan memahami siapa diri kita.
Pertemanan kecil ini, perjalanan ini, membuat saya memikirkan kembali semua itu, realitas kompleks yang membangun kita semua --suka duka kita, rasa syukur kita, masa lalu yang menghantui, masa depan yang mencemaskan, dan kebahagiaan yang kita impikan. Realitas itu dibangun dari hubungan dengan orang lain, dari emosi yang diilhami oleh lagu-lagu yang kita dengarkan di sepanjang jalan, obrolan di tepi kolam renang di hotel tempat menginap semalam, dari jejak langkah yang kita torehkan bersama-sama di atas pasir pantai yang lembut, di pagi yang murung setengah mendung, setelah berfoto-foto di bawah payung, sebelum kembali menempuh perjalanan untuk pulang, mengakhiri sebuah akhir pekan yang biasa di antara sekian akhir pekan yang telah lewat dan akan datang.
Kita tak akan bertahan lama. Sepupu-sepupu terdekat kita bahkan sudah punah. Tinggalkan kotamu. Pergilah dengan teman-teman. Tempuhlah perjalanan menembus hutan. Tertawalah tanpa henti.
Mumu Aloha wartawan, penulis, editor
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini