Kesalehan Politis, Nalar Korup, dan Bola Salju Romy
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Kesalehan Politis, Nalar Korup, dan Bola Salju Romy

Jumat, 29 Mar 2019 11:15 WIB
Irfan L. Sarhindi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kesalehan Politis, Nalar Korup, dan Bola Salju Romy
Romahurmuziy (Ilustrasi: Edi Wahyono)
Jakarta - Ditangkapnya Romahurmuziy, atau akrab dipanggil Gus Romy, ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) --belakangan mengundurkan diri-- terkait kasus jual-beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama membawa kita pada setidaknya dua persoalan. Pertama, nalar korup yang kerap muncul pada (para pengelola institusi dan/atau para pelaku komodifikasi simbol) agama.

Kedua, pada bagaimana demand yang tinggi pada religiusitas di dalam laku-lampah politik telah sampai pada kebutuhan untuk menjadi saleh secara politik sehingga bahkan ketika Setya Novanto "dibesuk" Najwa Shihab di penjara, mantan Ketua DPR tersebut harus menekankan curhatnya pada kebiasaan baru bangun pukul tiga pagi untuk tahajud dan baca al-Quran.

Mari kita mulai dengan korelasi antara kasus Romy dengan nalar korup. Tidak diragukan lagi, pengelolaan religiusitas dalam level makro mau tidak mau pasti melibatkan pengelolaan uang yang tidak sedikit. Sebagai contoh, religiusitas, dalam pendapat Glock dan Stark, mengandung unsur ideologis, ritual, pengalaman spiritual, pengetahuan, serta unsur etika sekular. Untuk memenuhi kebutuhan ritual saja, kita butuh membangun masjid, menyelenggarakan industri ibadah haji dan umrah, mengkomersialisasi industri hijab, perumahan, turisme halal, hingga sertifikasi halal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagian dikomersialisasi oleh pelaku industri swasta, sebagian lagi oleh pemerintah seperti Kementerian Agama, atau lembaga independen yang punya kewenangan mengeluarkan policy agama semisal MUI. Komersialisasi religiusitas tersebut pada akhirnya menempatkan demand pasar sebagai faktor penentu yang lebih kuat ketimbang ideal-keagamaan, sehingga "Islami" atau "religius"-nya produsen dan konsumen di pasar "simbol Islam" tidak selalu sama dengan terwujudnya kesalehan substanstif.

Ada jurang menganga antara kesalehan formalistik-simbolik yang diglorifikasi di kanal-kanal online secara artifisial dengan kesalehan integral dalam sikap, nalar berpikir, dan tingkah laku. Timbullah kemudian nalar korup, yaitu kecenderungan mengkhianati nilai-nilai substantif Islam sambil tetap mendagangkan Islam sebagai aksesori.

Menariknya, situasi tersebut bukan barang baru, bukan rahasia yang tidak banyak diketahui. Kementerian Agama, misalnya, telah lama dianggap sebagai salah satu "lahan basah". Anggapan itu menyusul tidak terkontrol dan terawasinya secara baik pengelolaan dana (abadi) umat sebagai dampak tak terpisahkan dari industri ibadah haji. Sebagai contoh, kita tidak pernah secara jelas tahu bagaimana dana tersebut dikelola --terlepas dari fakta bahwa dana tersebut diperkirakan mencapai Rp 3,1 triliun. Kita justru reaktif ketika Jokowi berniat meminjam uang tersebut untuk proyek pembangunan infrastruktur --seolah-olah dana itu dikelola secara tepat dan transparan selama ini.

Pada 2006, godaan dana abadi umat membawa Menteri Agama saat itu, Said Agil Husin al-Munawar ke dalam penjara untuk lima tahun. Ia dianggap merugikan negara sebesar Rp 719 miliar. Sedangkan Suryadharma Ali (SDA) korupsi dana penyelenggaraan haji sebesar Rp 1 triliun. Seperti Rommy, SDA juga adalah Ketua PPP. Tetapi, yang tidak transparan ternyata bukan hanya pengelolaan dana haji dan dana abadi umat, tetapi juga keuntungan dari pengelolaan sertifikasi halal oleh MUI.

LPPOM MUI merasa hanya perlu melaporkan kepada MUI Pusat kendati uang yang dikelola berasal dari masyarakat. Dengan monopoli kewenangan sertifikasi halal ditambah ketidaktransparanan pengelolaan, potensi terjadinya korupsi terbuka lebar. Sebagai contoh, seperti laporan Tempo.co, "Ada Petinggi MUI di Balik Patgulipat Label Halal" pada 2014, yang bercerita tentang "dana tambahan" yang harus dikeluarkan eksportir Australia agar daging yang dia jual di Indonesia mendapat label halal.

Ini belum termasuk korupsi pencetakan al-Quran yang melibatkan oknum di lingkungan Kementerian Agama pada 2011-2012 ditambah Banggar DPR atas nama Zulkarnaen Djabar. Menariknya, corrupted religiosity tersebut tidak menjadikan masyarakat anti-politisi yang (sok) Islami. Sebaliknya, kesalehan figur masih menjadi patokan utama dalam memilih, sehingga perdebatan soal Jokowi-Prabowo masih terjebak di topik semisal siapa yang jumatan siapa yang tidak hingga tantangan "duel" baca al-Quran di Aceh. Situasi tersebut, bagi saya melahirkan "kesalehan politis". Yaitu, kesalehan yang dimaksudkan sebagai aksesori demi memenangkan aspirasi politik para pemilih.

Hal tersebut bukan hal baru, tentu saja, tetapi concern para politisi untuk beraksesori agama dalam berkampanye, ketika secara keilmuan belum mumpuni dan dalam attitude belum terinstal akhlak Islami, pada akhirnya hanya memperlebar jurang kesalehan integratif-substantif dengan kesalehan-gincu yang politis. Akibatnya korupsi atas nilai-nilai Islam dilakukan justru oleh orang-orang yang merasa paling Islami, dan dengannya membuat Indonesia yang religius dianggap lebih pas disebut "overdosis" agama. Betapa dekatnya perkawinan antara Islam dan politik sehingga melahirkan politisasi berbasis komodifikasi agama.

Dan, sekali lagi nilai ideal agama takluk di hadapan kebutuhan pragmatis dan oportunis para politisi dalam menaklukkan dan memenangkan sentimen dan aspirasi masyarakat awam yang di satu sisi religius, di sisi lain tidak peka politik, tidak terlalu suka baca, tidak paham bagaimana media (sosial) bekerja, sehingga hoax atas nama agama dijadikan rujukan kebenaran. Logical fallacy muncul sebagai ekses tak terelakkan, yang pada akhirnya hanya memperkuat narasi korup dalam sikap keberagamaan kita.

Rommy telah membantah dakwaan dan menuduh Khofifah serta Kiai Asep sebagai pihak yang ikut memberi rekomendasi. Di sisi lain, KPK menemukan uang ratusan juta di laci meja Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Bagi pihak yang anti-NU, situasi ini menjadi kesempatan emas untuk menyerang dan menjatuhkan NU. Lalu, sebagian perdebatan diarahkan pada elektabilitas PPP secara khusus, dan Jokowi secara umum.

Namun demikian, dalam jangka panjang bola salju kasus Rommy sepertinya punya potensi untuk membuat orang semakin tidak percaya pada institusi agama. Ihwal apakah mereka akan beragama sambil meninggalkan institusi ataukah mereka akan sepenuhnya menjauh dari keterikatan dengan agama, perlu riset mendalam untuk menganalisisnya. Yang jelas, untuk sementara, masyarakat Muslim kita sepertinya punya kemampuan "adaptif" untuk bersikap "ya sudahlah tidak ada yang sempurna, biar Allah yang membalas" pada korupsi di lingkungan institusi keagamaan.

Irfan L. Sarhindi pengasuh Salamul Falah, alumnus University College London (mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads