Dalam pelacakan sederhana saya (dalam terminologi Thompson HS disebut "data emosional"), hasil SNMPTN kali ini sudah lebih baik daripada hasil SNMPTN sebelum-sebelumnya. Jika SNMPTN sebelum-sebelumnya ibarat main lotre sehingga kita sama sekali tak bisa menebak siapa yang lulus dan siapa yang tidak, tahun ini mereka yang lulus cenderung sudah bisa ditebak. Artinya, panitia penerimaan mahasiswa baru melalui jalur undangan tahun ini sudah maksimal mengolah data. Ini tentu sebuah langkah maju. Pasalnya, tahun-tahun sebelumnya, mahasiswa jalur undangan cenderung dipandang sebelah mata.
Alasannya, mereka yang lulus jalur undangan biasanya merupakan hasil kongkalikong antara siswa dan guru. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa selama ini, adegan cuci rapor menjelang SNMPTN rutin dilakukan. Nilai siswa dikatrol setinggi-tingginya. Yang lebih miris, adegan cuci rapor ini cenderung dilakukan dengan motif ekonomi. Semakin banyak uang, semakin mentereng nilai. Kualitas akademis dan bakat siswa diabaikan. Dampaknya, dari studi pelacakan di lapangan, menurut Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI), hasil rekrutan mahasiswa melalui jalur undangan "kurang layak".
Diperkecil
Namun, tahun ini "kekuranglayakan" itu sudah diantisipasi dan diminimalisasi Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) dengan membatasi siswa yang berhak ikut jalur undangan. Hanya siswa yang unggul yang diizinkan bisa ikut bersaing. Walau demikian, kecurangan-kecurangan kecil masih saja terjadi. Adegan katrol nilai masih ada meski tak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Dampaknya, LTMPT pasti belum akurat untuk menjajaki potensi siswa dari jalur undangan. Pertimbangannya sederhana: alat ukur tidak identik karena memang, nilai 9 di sebuah sekolah tentu berbeda dengan nilai 9 di sekolah lain, meski akreditasi kedua sekolah itu sama saja.
Karena itu, ke depan LTMPT sebagai lembaga permanen untuk merekrut mahasiswa perlu mempertimbangkan hal berikut. Bahwa jurusan yang dibuka untuk undangan sebaiknya dibatasi saja hanya untuk jurusan yang mengandalkan bakat alami, atau kita sebut saja jalur non-akademis. Ini sangat masuk akal karena memang jalur undangan adalah khusus untuk siswa berprestasi. Jalur prestasi tentu harus ditunjukkan dengan prestasi. Dalam hal ini, nilai rapor tak perlu dibuat menjadi patokan. Nilai rapor bukan prestasi. Sebab, nilai rapor tadi sudah penuh dengan adegan mark up nilai.
Karena itu, jurusan yang mengandalkan akademis sebaiknya kuotanya diperkecil saja. Mengukur kemampuan akademis tentu tak bisa dengan mengandalkan rapor semata, apalagi meski sama-sama nilai 9, kualitasnya tetap beda seperti dipaparkan di atas. Walau demikian, bukan berarti jalur akademis tak bisa dilacak lebih konret supaya kualitas rekrutan mahasiswanya lebih pas. Bisa saja dan itu tergolong mudah, bahkan lebih terukur. Ini bisa dilacak dengan membuat salah satu indikatornya dari beberapa kali seseorang calon mahasiswa memenangi olimpiade-olimpiade atau portofolio.
Piagam penghargaan itu menjadi bukti konkret bahwa dia pantas untuk diterima. Sayangnya, tidak semua siswa pernah mengikuti olimpiade. Itulah sebabnya, untuk jurusan-jurusan yang mengandalkan akademis, kuotanya di jalur undangan diperkecil saja. Biarkan kuotanya diperbesar untuk jalur tertulis. Artinya, SNMPTN sebaiknya dikhususkan untuk jurusan yang bisa dinilai dari non-akademis yang lebih mengutamakan kemampuan tubuh, misalnya olahraga dan seni. Pertimbangannya sangat sederhana: sebaik apa pun akademis seseorang jika tubuhnya kurang berbakat olahraga, maka semuanya sia-sia. Demikian juga sebaliknya.
Selain hal di atas, LTMPT juga kiranya perlu mengamankan portalnya. Tak ada yang benar-benar aman saat ini. Media sebesar Facebook saja pernah down. Portal LTMPT juga sempat down pada awal peluncurannya. Bahkan, portal LTMPT malah di-hack pada hari pengumuman SNMPTN. "Pengumuman kan jam 16.00, diajukan jam 13.00, eh, tiba-tiba ada yang bisa buka jam 05.00 pagi, dalam hal ini, kami dalam teknologi sudah siapkan semua, security sudah dibangun dengan baik, karena yang melakukan hack ini lagi dilacak siapa yang meng-hack itu," ujar Menristek Dikti M Nasir saat konferensi pers Hasil SNMPTN 2019 di Jakarta, Jumat (22/3/2019).
Di Balik Kecanggihan
Kenyataan di atas semakin membuktikan bahwa portal LTMPT tak benar-benar aman. Banyak tangan jahil yang akan selalu siap dan sigap untuk mengintipnya. Ini sangat masuk akal karena masuk PTN merupakan gengsi tersendiri. Itulah sebabnya dari dulu selalu ada mafia dan joki untuk membantu siswa masuk PTN dengan bayaran supertinggi dan menggiurkan: hingga ratusan juta rupiah meski belum tentu lulus. Juga, logis jika seseorang membayar seorang peretas ratusan juta rupiah asal soal bisa dicuri, apalagi kalau hasil akhir bisa dimodifikasi dengan mengetikkan nama tertentu.
Untuk itulah, LTMPT tak bisa lengah. Zaman semakin canggih. Keamanan boleh saja semakin tinggi. Namun, pada saat yang sama, di tengah zaman yang semakin canggih, kejahatan juga ikut mengadaptasikan diri untuk semakin canggih. Dengan kata lain, meski keamanan portal supercanggih, selalu ada saja oknum yang semakin canggih untuk meretas. Malah, kejahatan selalu jauh lebih cepat untuk lebih canggih dibandingkan kebaikan. Itulah sebabnya portal LTMPT harus dijaga superketat dan kunci keamanannya selalu ditukar rutin.
Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah agar laman LTMPT tidak menyulitkan. Tahun ini, laman LTMPT cenderung menyulitkan. Di awal pendaftaran SNMPTN, portal sangat lemah sehingga banyak siswa sampai harus lembur tiap malam untuk mendaftar. Sayangnya, meski sudah lembur dengan taruhan keesokan harinya tak bisa belajar maksimal, pendaftaran nyatanya tak tuntas juga sehingga harus lembur lagi keesokan harinya. LTMPT bahkan dua kali memperpanjang jadwal pendaftaran SNMPTN. Semoga hal itu tak terjadi lagi di tahun-tahun mendatang.
Riduan Situmorang guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Dolok Sanggul, pengajar di Prosus Inten Medan
(mmu/mmu)