Hal ini pun terjustifikasi salah satunya oleh Line Indonesia melalui Line Today yang baru-baru ini merilis hasil survei yang diikuti oleh 33.265 responden. Hasilnya, 80 persen pemilih mengaku tak mengenal para calon legislatifnya. Survei ini tentu jadi alarm bagi semua pihak yang masih ingin melihat pileg kita dapat melahirkan wakil rakyat yang berkualitas.
Fenomena ini setidaknya berakar dari dua persoalan utama yang selalu berulang di setiap pagelaran pileg, yakni minimnya informasi mengenai para calon dan rendahnya kesadaran publik akan pentingnya peran wakil rakyat di parlemen.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum lama ini mengungkap bahwa 2.049 dari 8.037 calon legislatif DPR menolak membeberkan data pribadinya ke publik. Jika direkapitulasi, Demokrat, Hanura, PKPI, Garuda, dan Nasdem merupakan partai dengan jumlah ketidaktersediaan profil caleg di atas 50 persen. Adapun partai yang calegnya cukup terbuka adalah Golkar, Berkarya, PPP, PAN, dan Perindo dengan ketidaktersediaan profil caleg di bawah 6 pesen.
Banyaknya caleg yang enggan membuka data dirinya patut disayangkan di tengah era keterbukaan informasi. Padahal, data tersebut sangat penting bagi pemilih untuk mengenal lebih dekat para calon, seperti perihal tempat tanggal lahir, riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, pengalaman organisasi, penghargaan, motivasi, program yang ditawarkan, hingga target yang hendak dicapai jika terpilih.
Menanggapi hal tersebut, KPU beralasan bahwa pihaknya terbentur UU Keterbukaan Informasi Publik, sehingga sulit memaksa para caleg untuk membuka data dirinya. Dalam aturan itu disebutkan bahwa setiap warga negara memiliki hak konstitusional untuk tidak mempublikasikan data diri mereka.
Terlepas dari persoalan caleg yang menutup diri, jika kita merujuk pada website resmi KPU, informasi yang tersedia bagi caleg yang ada pun tidak cukup lengkap sebagai bahan pertimbangan yang komprehensif. Pada bagian motivasi, program, dan target, seringkali tidak diisi oleh para caleg. Padahal data tersebut sangat vital sebagai pertimbangan utama pemilih selain data-data yang sifatnya umum.
Selain masalah keterbukaan informasi, kurang pro-aktifnya pemilih untuk mengenali sosok calon wakilnya di parlemen menjadi persoalan tersendiri. Budaya malas mencari tahu berkelindan dengan kesalahan paradigma publik yang memandang pileg tidak lebih penting atau tidak sama pentingnya dengan pilpres. Kesalahan paradigma ini lebih disebabkan oleh kurangnya pengetahuan akan konsep trias politika yang membagi kekuasaan negara dalam 3 lembaga, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Bagi masyarakat awam, DPR, DPRD, dan DPD dianggap tak punya pengaruh yang signifikan dalam menjalankan pembangunan. Padahal, lembaga tersebut berperan penting dalam menjalankan fungsi legislasi, fungsi representatif, dan fungsi kontrol.
Kesalahan persepsi itu juga diperparah oleh sistem pemilu serentak yang membuat pileg kalah pamor ketimbang pilpres. Bahkan, gaung pileg kali ini nyaris tenggelam oleh hingar bingar pilpres yang menyita perhatian publik. Dampaknya, publik cenderung menganggap pilpres sebagai pemilu mayor, sedangkan pileg dianggap minor.
Kesadaran Semua Pihak
Fenomena "caleg dalam karung" yang marak terjadi sejatinya bisa direduksi jika semua pihak sadar bahwa pemilu yang berkualitas harus berasaskan pada transparansi informasi. Bagi KPU, tersedianya opsi membuka atau tidak membuka data pribadi caleg kiranya kurang tepat. Pasalnya, menurut UU No 14 tahun 2008, KPU, Bawaslu, dan partai politik adalah badan publik yang wajib tunduk dan melaksanakan prinsip-prinsip keterbukaan informasi publik dalam setiap kebijakannya.
KPU semestinya bisa membuat terobosan tanpa harus melanggar UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Administrasi Kependudukan, dan privasi. KPU bisa saja mewajibkan para caleg untuk melaporkan biodata secara lengkap. Adapun data seperti tanggal lahir dan nomor induk kependudukan tidak perlu dipublikasikan di website KPU karena memang rawan disalahgunakan.
Untuk mendukung upaya transparansi KPU ini, partai politik seharusnya juga ikut mendorong kadernya untuk lebih transparan. Sebab, selain merugikan calon pemilih, sikap ketidakterbukaan dari para caleg justru kontraproduktif dengan upaya partai politik untuk meraih simpati pemilih sebanyak-banyaknya. Bagaimana bisa simpati bila kenal saja tidak?
Begitu pun dengan para caleg yang seharusnya sadar jika terpilih nantinya, mereka akan bekerja di instansi yang bersentuhan langsung dengan ranah publik. Sebagai pemilih, rakyat punya hak mutlak untuk memperoleh informasi tentang data caleg yang akan dipilihnya. Jika hak ini terhalangi oleh sikap ketidakterbukaan para caleg, tentu ini jadi sebuah anomali bagi para caleg yang ingin dipilih publik, namun justru menutup diri dari publik. Dengan kata lain, keengganan untuk membuka data diri bisa saja diartikan sebagai upaya untuk mengelabui pemilih.
Di samping soal transparansi, seorang caleg juga dituntut untuk mampu menyadarkan publik akan kapabilitas mereka dalam mengatasi berbagai problematika sosial. Sebab, stigma yang selama ini muncul pada caleg cukup negatif dan menimbulkan antipati, yakni rajin bertemu warga saat kampanye, namun mendadak hilang saat sudah terpilih.
Terakhir, sebagai pemilih sudah waktunya kita untuk pro-aktif menggali informasi sebanyak mungkin tentang caleg yang ada. Jika informasi dari media massa, media sosial, maupun atribut kampanye lainnya dirasa belum cukup informatif, tak adalah salahnya bila kita berinisiatif mengunjungi beberapa laman daring yang bisa dijadikan rujukan untuk mengetahui profil caleg, seperti di infopemilu.kpu.go.id, pintarmemilih.id, calegpedia.id, dan rekamjejak.net.
Pada titik ini, sikap pasif pemilih untuk mengenal lebih dekat wakil rakyatnya akan menjadi suatu pelemahan demokrasi. Pasalnya, memilih calon wakil rakyat tanpa pertimbangan matang sama artinya dengan setuju untuk menyerahkan pengelolaan negara di pundak anggota dewan yang tak jelas kompetensinya.
Harapannya, rakyat bisa lebih kritis dan berhati-hati lagi dalam memilih caleg di pemilu mendatang. Pilihlah caleg yang benar-benar kita kenal profil dan rekam jejaknya. Jangan sampai kita memilih "caleg dalam karung" yang berpotensi melahirkan wakil rakyat yang nihil integritas.
Selamat menyambut pesta demokrasi dan jadilah pemilih cerdas!
Luthfi Baskoroadi, S.IP analis media dan politik Indonesia Indicator
(mmu/mmu)