Brutalnya Jual Beli Jabatan Birokrasi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Brutalnya Jual Beli Jabatan Birokrasi

Rabu, 20 Mar 2019 14:00 WIB
Andhi Kurniawan
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kakanwil Kemenag Jatim ditahan KPK (Foto: Agung Pambudhy)
Jakarta -

Politisasi birokrasi menjadi fenomena yang kerap ditemui di hampir semua negara di dunia. Menurut Argyriades (1996) penempatan dan penugasan PNS dalam suatu jabatan publik menjadi sumber yang potensial bagi intervensi politik. Lebih jauh, Dror menganalogikan hubungan antara pegawai negeri dan politisi seperti "roti dan tikus". Aroma roti yang wangi membuat tikus melakukan aktivitasnya dengan kasak-kusuk untuk dapat menikmati roti tersebut (roti menggambarkan birokrat dan tikus menggambarkan politisi).

Politisasi birokrat sering kali menimbulkan kurangnya integritas, responsivitas, dan kompetensi dari para birokrat di negeri kita. Kasus Operasi Tangkap Tangan KPK terhadap Ketua Umum PPP Romahurmuziy yang diduga terlibat dalam pengaturan pengisian jabatan Kakanwil Kemenag Jawa Timur dan Kakan Kemenag Gresik bukanlah kasus pertama yang terjadi dalam hal jual beli jabatan di birokrasi. Sejak tahun 2017-2018 setidaknya KPK telah mengungkap empat kasus korupsi jual beli jabatan di birokrasi. Keempat kasus tersebut melibatkan kepala daerah yang notabene adalah seorang politisi, yakni Bupati Cirebon (nonaktif) Sunjaya Purwadisastra, mantan Bupati Jombang Nyono S Wihandoko, mantan Bupati Nganjuk Taufiqurahman, dan mantan Bupati Klaten Sri Hartini.

Namun yang unik pada kasus Romahurmuziy ini adalah merupakan kasus praktik jual beli jabatan pertama yang melibatkan unsur di luar birokrasi, yakni status Romahurmuziy yang menjadi Ketua Umum Partai di mana Menteri Agama bernaung di dalamnya. Hal ini berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya, yakni kasus jual beli jabatan di daerah yang dilakukan oleh para bupati yang notabene berada di dalam lingkaran birokrasi sebagai kepala daerah. Menarik untuk dicermati bahwasanya saat ini intervensi politik terhadap birokrasi sudah sangat brutal, tidak lagi dilakukan oleh top leader di birokrasi yang memang diisi oleh politisi, namun juga dilakukan oleh lembaga politik (partai) yang dapat mengintervensi hingga pada pengisian jabatan di pemerintahan.

Kebrutalan praktik jual beli jabatan di birokrasi sebenarnya sudah diantisipasi melalui regulasi yang ada yakni UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan PP No. 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Aturan-aturan tersebut telah mengamanatkan bahwa manajemen PNS harus berdasarkan sistem merit yang profesional, terbuka, dan kompetitif, sehingga diharapkan akan didapatkan aparatur yang berintegritas, profesional, dan melayani masyarakat. Pelaksanaan manajemen PNS melalui sistem merit pun telah diawali melalui seleksi terbuka pada pengisian jabatan pimpinan tinggi (Eselon I dan II) yang selalu diawasi oleh Komisi ASN dalam setiap rangkaian prosesnya.

Sesuai Pasal 32 UU No. 5 tahun 2014 Komisi ASN yang diisi oleh para ahli di bidang pemerintahan dan birokrasi telah mengatur secara detail kewenangan komisi tersebut untuk mengawasi setiap tahapan proses pengisian jabatan pimpinan tinggi mulai dari pembentukan panitia seleksi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi, pengusulan nama calon, penetapan hingga pelantikan pejabat pimpinan tinggi. Sehingga harusnya dalam pengisian pejabat pimpinan tinggi di seluruh Kementerian/Lembaga/Daerah telah melalui pengawasan yang ketat oleh Komisi ASN.

Berdasarkan Siaran Pers Komisi ASN Nomor 09/PA/03/2019 tanggal 18 Maret 2019, Komisi ASN telah mengingatkan Menteri Agama bahwa meminta agar dua nama yang mengikuti proses seleksi calon Kakanwil Kemenag Jawa Timur untuk tidak diloloskan karena pernah melakukan indisipliner PNS. Namun sayangnya, Menteri Agama tidak mempertimbangkan rekomendasi dari Komisi ASN dan tetap melantik Haris Hasanudin (salah satu nama yang tidak direkomendasikan Komisi ASN) sebagai Kakanwil Kemenag Jawa Timur.

Kasus ini menjadi sebuah catatan hitam betapa lemahnya penegakan aturan/regulasi yang ada dibandingkan kepentingan politik yang lebih dominan menguasai dan mengintervensi tataran birokrasi pemerintahan. Regulasi di negara kita telah mengatur secara detail proses yang ada di birokrasi dan meminimalisasi sekecil mungkin adanya peluang penyelewengan, namun ulah sebagian oknum politisi dan birokratlah yang merusak sistem yang ada membuat kualitas birokrasi kita menjadi rendah. Kepentingan politik praktis yang menghantui dunia birokrasi menjadi preseden buruk dalam menciptakan aparatur yang bersih, berintegritas, dan profesional.

Seyogianya kepentingan politik berhenti pada tataran regulasi pembuatan kebijakan-kebijakan di ranah legislatif dan birokrasi pemerintahan bekerja pada tataran pelaksana kebijakan di ranah eksekutif. Sehingga tidak lagi terjadi bias kewenangan dan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) yang ada secara brutal, seperti yang terjadi pada Kementerian Agama.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Andhi Kurniawan staf pada Pusat Kajian Manajemen ASN Lembaga Administrasi Negara

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads