OTT Romy dan Komitmen Capres Soal Korupsi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Mimbar Mahasiswa

OTT Romy dan Komitmen Capres Soal Korupsi

Rabu, 20 Mar 2019 11:50 WIB
Fransiskus Adryanto Pratama
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
KPK tunjukkan barang bukti OTT Romahurmuziy (Foto: Agung Pambudhy)
Jakarta - Beberapa hari lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), kali ini terhadap seorang ketua umum partai, Romahurmuziy atau yang akrab disapa Romy. Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu ditangkap KPK atas dugaan jual beli jabatan pemerintah.

Penangkapan Romahurmuziy menambah daftar korupsi di lingkungan birokrasi yang njelimet. Lingkungan birokrasi yang merupakan sentrum efektivitas suatu pemerintah akan terseok-seok apabila kulturnya memungkinkan jual beli jabatan, dan itulah yang kerap terjadi.

Jual beli jabatan adalah salah satu masalah akut yang ada dalam lingkungan birokrasi hari ini. Modus jual beli jabatan kerap berkelindan dengan anggota DPR, pejabat, maupun kepala daerah. Sistem birokrasi yang kaku membawa pada kesewenang-wenangan. Kesewenang-wenangan itu berbanding lurus dengan sikap tamak dalam pengisian jabatan penting di birokrasi. OTT terhadap Romahurmuzy adalah gambaran sistem birokrasi kita yang masih membuka peluang bagi koruptor.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Komitmen Capres-Cawapres

Debat capres dan cawapres pada putaran pertama, banyak yang menilai debat tanpa perdebatan. Khusus dalam komitmen pemberantasan korupsi, paslon presiden dan wakil presiden sepertinya kurang menukik mengelaborasi persoalan korupsi secara fundamental.

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), maka dengan cara luar biasa pula (extraordinary need) memberantasnya. Dalam debat pertama kala itu, pasangan Prabowo-Sandi menjawab pertanyaan moderator soal birokrasi yang bebas dari korupsi. Prabowo mengutarakan soal pendapatan birokrat yang minim dan ingin naik kelas agar tidak tergiur dengan rayuan yang menjerumuskan mereka untuk melakukan korupsi.

Sementara Jokowi-M'aruf Amin lebih mengedepankan perampingan birokrasi dengan sistem merit, sesuai dengan integritas dan kompetensi. Serta pengawasan internal dan eksternal yang kuat seperti, masyarakat, media, dan komisi ASN.

Untuk itu, kita melihat ada dua pandangan berbeda dari masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden terhadap persoalan korupsi dan reformasi birokrasi kita. Pandangan tersebut adalah kunci bagaimana komitmen paslon dalam pemberantasan korupsi, dan menjadi pegangan saat mereka memimpin Indonesia lima tahun ke depan.

Dengan kata lain, komitmen paslon menjadi diskursus publik yang menarik dan menjadi sampel atau preferensi publik. Publik maupun aktivis antikorupsi akan melihat kedalamannya, sebagai preferensi yang faktual lalu menentukan. Dan, komitmen ini menyasar pada swing voters atau undecided voters yang cukup rasional untuk menilai, siapa yang loyal dan konsentrasi terhadap masalah pemberantasan korupsi.

Reformasi Birokrasi

Birokrasi yang bersih memiliki peran yang strategis dalam perubahan suatu negara. Dan, birokrasi sangat sentral dalam kehidupan bermasyarakat kita. Karena strategis, acap kali birokrasi tak terlepaskan dari sistem politik pemerintahan. Dengan kata lain, dengan mudah birokrasi sebagai instrumen pelaksana ditarik ke dalam pusaran kepentingan politik kekuasaan. Sehingga, birokrasi dijadikan alat politik semata --kewenangannya direduksi oleh kepentingan politik praktis pemerintah.

Cita-cita mewujudkan birokrasi bersih perlu dibumikan dalam diri birokrat kita. Birokrasi rasa feodalistik adalah cikal bakal terjadinya korupsi dalam tubuh birokrasi. Bagaimana bawahan mempertangungjawabkan hasil kerja hanya untuk menyenangkan atasannya. Kalau tidak sesuai dengan perintah atasan, maka besar kemungkinan bawahan akan dimutasi sesuai selera atasan.

Politik adalah usaha mencapai tatanan masyarakat yang baik dan berkeadilan (Miriam Budiardjo, 2008). Artinya, jabatan politik sebagai instrumen menghasilkan kebijakan sesuai kebutuhan warga negara. Padahal, politik haruslah berada pada spektrum jalan tunggal menuju kesejahteraan bersama. Jika terjadi fungsi ganda, maka pemandulan fungsi politik terjadi turbulensi dan muncul patologis yang mengancam kehidupan demokrasi dan birokrasi.

Reformasi birokrasi sangat penting digaungkan oleh paslon, terutama dalam hal pemberantasan korupsi. Baik paslon nomor urut 01 maupun paslon nomor urut 02. Tetapi, kita belum melihat keduanya mendalam membahas reformasi birokrasi kedap korupsi. Yakni, bagaimana paslon melawan paternalisme dalam tubuh birokrasi. Di mana dalam hal ini, pola kedekatan antara atasan dan bawahan, antara perasaan suka dan dan tidak suka, sangat kental dalam kehidupan birokrasi.

Bagaimana mengubah pola paternalisme ini menjadi suatu bentuk pendelegasian birokrasi, di mana bawahan tetap loyal terhadap atasan tanpa memperhatikan efek baik dan buruk untuk kepentingan masyarakat. Birokrasi juga harus menerima perubahan yang terjadi baik dalam birokrasi maupun di luar birokrasi. Birokrat harus mampu mencerna perubahan baik pengetahuan maupun teknologi. Dalam mengelola birokrasi dengan wawasan pengetahuan akan menjadikan birokrasi yang bersih dan berintegritas tinggi. Dalam penguasaan teknologi, birokrat harus mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.

Dengan kata lain, birokrat yang menguasai pengetahuan dan teknologi akan membawa birokrasi yang bersih dan menunjang pelayanan publik secara baik dan tepat sasaran. Ini selaras dengan mentalitas birokrat menyambut perubahan yang ada. Sehingga, birokrasi secara efektif memetakan seluruh aparatnya untuk memiliki orientasi perubahan bagi kemaslahatan masyarakat.

Mewujudkan birokrasi yang bersih merupakan cita-cita besar yang diharapkan publik. Masyarakat menunggu adanya visi dan misi yang fundamental dari pasangan calon presiden dan wakil presiden. Inilah tantangan terbesar lingkungan birokrasi kita. Menurut Osborne dan Plastrik (1997), perubahan pada awalnya sangat sulit dilakukan karena berhadapan dengan kultur kekuasaan birokrasi yang telah lama terbentuk.

Melihat secara komprehensif tata kelola birokrasi adalah hal mutlak yang harus diketahui oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dan, membedah secara fundamental tata kelola birokrasi, sehingga terhindar dari tumpang tindih konflik kepentingan. Karena birokrasi sangat sentralistik kekuasaannya, maka perlu ada terobosan yang membumi agar birokrasi terhindar dari kepentingan politik kekuasaan dan korupsi.

Ryan Pratama mahasiswa Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Politik (IISIP) Jakarta

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.

Hide Ads