Egg Boy Membela Islam?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Sentilan Iqbal Aji Daryono

Egg Boy Membela Islam?

Selasa, 19 Mar 2019 17:20 WIB
Iqbal Aji Daryono
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono)
Jakarta - "Egg Boy mendunia karena aksinya membela Islam!" Kalimat itu terpajang di sebuah grup Facebook pendukung salah satu capres, yang diam-diam saya ikuti. Di lain halaman, muncul pula seorang perempuan setengah baya yang menulis dengan nada serupa. "Salut aku, Nak. Hebat dirimu membela Islam."

Saya melongo. Lalu saya pun nge-search lebih lanjut, dan menemukan puluhan ucapan senada, bahkan jauh lebih banyak lagi. Rata-rata dipajang sepaket dengan foto atau video Will Connolly, bocah Australia yang mendadak kondang karena "nyeplok" telur di kepala seorang senator rasis itu. Dan, saya pun tambah melongo.

***

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jujur sih, sebenarnya saya tidak melongo-melongo amat. Saya bilang begitu buat efek dramatis saja. Toh, kita sama-sama tahu bahwa pola-pola seperti itu selalu terjadi. Orang lebih suka mencerna peristiwa-peristiwa sosial secara sekilas, secara permukaan, secara gampangan. Kalau boleh saya bilang, itu bentuk paling praktis dari tekstualisme. Simbol-simbol dibaca begitu saja, tanpa didudukkan pada papan catur konteks yang semestinya.

Maka, Will Connolly "The Egg Boy" disebut membela Islam. Kenapa? Karena begini. Ada teroris penjunjung supremasi kulit putih dan pembenci Islam yang membunuhi puluhan muslim. Lalu, alih-alih bersimpati atas musibah itu, seorang senator rasis bernama Fraser Anning malah membuat pernyataan yang menyudutkan Islam dan para imigran muslim. Will marah kepada Fraser karena sikapnya itu, lantas menceplokkan telur sebagai tanda melawan pernyataan Fraser. Kesimpulannya, Will membela Islam.

Secara sekilas, memang benar demikian. Will memang membela Islam dan umat muslim yang sedang dizalimi. Namun, itu kesimpulan yang sangat terbatas. Berhenti di satu kesimpulan itu saja akan membuat kita tidak memahami posisi bocah itu yang sesungguhnya.

***

Mari kita runut sejarah imigrasi di Australia dulu. Pendudukan oleh pendatang Inggris yang mendesak habis orang-orang Aborigin dimulai sekitar dua abad silam. Mulai tahun 1901 hingga 1973 diberlakukan apa yang dikenal sebagai white Australia policy, yakni pelarangan imigrasi bagi pendatang non-kulit putih. Lalu, sejak 1973 hingga sekarang, siapa saja dari bangsa mana pun boleh masuk.

Meski secara resmi sudah bebas sejak 1973, ledakan jumlah imigran yang paling signifikan terjadi kurang dari dua dekade terakhir. Simak saja angkanya. Pada 1993, jumlah imigran yang datang ke Australia cuma 30 ribu orang. Sepuluh tahun kemudian, pendatang ke benua itu menjadi 118 ribu, dan pada 2015 menjadi 200 ribu orang.

Will Connolly berumur 17 tahun, alias kelahiran tahun 2002. Sedari bayi, dia sudah menatap keragaman di sekelilingnya. Masa kecilnya diwarnai riuhnya aneka wajah manusia dari berbagai bangsa. Dalam situasi demikian, pemerintah Australia pun mulai sangat serius memberikan pendidikan tentang multikulturalisme kepada warganya. Mulai dari kesadaran bahwa nenek moyang warga keturunan Inggris datang secara sangat buruk dengan membunuhi warga lokal Aborigin, hingga pembentukan kesadaran bersama sebagai salah satu negeri dengan penduduk paling beragam di dunia. Itulah fondasi terpenting untuk membangun stabilitas sosial dalam masyarakat yang sangat plural.

Saya sekeluarga pernah tinggal beberapa tahun di Perth, Australia Barat. Saya coba membandingkan antara pendidikan dasar seorang sahabat di Sydney pada tahun 1990-an dengan pendidikan anak saya sendiri di Perth, lima tahun silam.

Sahabat saya yang keturunan Irlandia dan bermarga O'Sullivan itu mendapatkan pendidikan dasar yang masih sangat Eropa-sentris. Menurut ceritanya, pahlawan yang selalu dipuja-puja di sekolah adalah Kapten James Cook, pelaut dan ilmuwan Inggris yang pertama kali "menemukan" Australia.

Ini beda dengan zaman anak saya. Pendidikan di SD negeri tempat anak saya belajar sudah penuh berisi penekanan terus-menerus atas kesadaran membangun harmoni dalam keragaman. Ada acara Harmony Day setiap 21 Maret untuk merayakan pluralitas masyarakat Australia. Di banyak sekolah lain, rutin digelar pula National Sorry Day setiap 26 Mei, untuk menunjukkan penyesalan atas masa lalu yang kelam karena kejahatan pendatang kulit putih atas warga lokal Aborigin (sayangnya, di sekolah anak saya hari spesial itu tidak pernah dirayakan).

Bukan cuma di sekolah-sekolah, tentu saja. Di lingkungan umum pun hal-hal semacam itu kian mentradisi. Australia Day setiap 26 Januari yang memperingati momen pendaratan kapal Inggris pertama, mulai dikritik secara sangat serius. Sebagai komprominya, pemerintah mengajak menjadikan hari itu sebagai hari perayaan keberagaman (meski tentu saja tidak segampang itu diterima publik).

Tak cuma itu. Pelibatan segenap warga dari berbagai bangsa dalam perayaan hari-hari nasional juga digalakkan, diliput dalam koran-koran lokal. Buku-buku tentang kampanye semangat pluralisme pun mudah didapatkan. Saya sempat membeli salah satu buku yang paling sering saya lihat, karya Donald Horne yang berjudul 10 Steps to A More Tolerant Australia. Di sampulnya ada slogan-slogan: "Down with Xenophobia"; "No Race Hate"; "The Right To Be Different"; dan "Muslims Are People Too".

***

Ilustrasi berpanjang-panjang itu saya berikan semata untuk memberikan gambaran: tentunya dalam atmosfer pendidikan seperti itulah seorang Will Connolly tumbuh. Ia menjalani pendidikan dasar kira-kira pada tahun 2009-2015. Ia menjadi seorang remaja yang utuh dalam nilai-nilai keragaman. Ia punya pancang-pancang dogma etis tentang pluralisme yang jauh lebih kuat daripada siapa pun dari generasi satu dekade di atasnya. Walhasil, ia pun memandang superioritas yang hanya berdasarkan warna kulit, juga fasisme dan rasisme, sebagai sikap-sikap yang menjijikkan.

Maka, ujung ceritanya kita tahu: Will menimpukkan telur itu di kepala Fraser. Ia melakukannya karena melihat Fraser keluar dari standar-standar etika ala Australia. Fraser melontarkan pernyataan yang menyakiti salah satu kelompok masyarakat (dalam hal ini muslim), dan sikap itu sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai yang tertanam kuat dalam diri Will.

Will Connolly bukan (hanya) membela Islam. Andai yang kemarin menjadi korban pembunuhan adalah masyarakat dari kelompok lain, Yahudi misalnya, atau masyarakat Kristen Serbia, kemudian oleh Fraser Anning mereka dikata-katai dengan kalimat serupa, saya yakin Will tetap akan menceplokkan telur itu di kepala sang senator rasis.

Will Connolly bukan (hanya) membela Islam. Ia membela semangat penghormatan atas keberagaman. Juga spirit kemanusiaan.

Karenanya, jika kita ingin memuji-muji Will Connolly, atau menjadikannya sebagai semacam tokoh panutan suri tauladan umat, semestinya kita membaca dan merenungkan pertanyaan yang sangat relevan dari sahabat saya Gugun Arief dari Blitar:

"Apakah kamu akan menjadi Egg Boy juga, jika seorang politisi di negaramu mengatakan hal-hal yang sangat buruk tentang salah satu kaum minoritas di negerimu?"

Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads