Kartu-kartu seperti disebut di atas jelas memang sudah dan akan membebani negara. Tetapi, seberapa pun beratnya beban, jika benar-benar bermanfaat bagi rakyat, apa salahnya? Nah, asas kemanfaatan itulah yang dalam kaitannya dengan kartu pra-kerja patut kita pertanyakan. Selama jumlah penduduk terus mengalami peningkatan, jumlah pengangguran segar tentu terus meningkat pula dari tahun ke tahun. Pengangguran segar itu akan bertambah setiap musim kelulusan --sekolah dasar, sekolah lanjutan, perguruan tinggi.
Pertanyaannya kemudian, berapa nilai atau rupiah yang dapat dicairkan oleh setiap individu lulusan sekolah dasar, lulusan sekolah lanjutan, dan para diploma/sarjana/pascasarjana? Kapan nilai rupiah yang ada pada kartu-kartu itu dapat diunduh --setiap bulan, setiap semester, atau setiap tahun? Seberapa besar nilainya, apakah sekadar dapat digunakan untuk bertahan hidup selama belum mendapatkan pekerjaan tetap, atau dapat digunakan untuk memulai membangun usaha kecil-kecilan?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masih terkait dengan asas manfaat ini, harap diketahui bahwa sebagian besar warga di wilayah paling pelosok pedesaan pun kini sudah sedemikian konsumtif pola hidup mereka. Di desa saya yang 90% warganya tercatat sebagai petani, untuk memasak sayur mereka mendapatkan bawang, cabai, bayam, terung, buncis, kacang panjang, dari penjual sayur keliling. Anak-anak sekolah tidak membeli jajanan tradisional, melainkan aneka camilan yang dipasok oleh industri besar di kota-kota. Untuk tamu dan terutama pada acara hajatan, orang tidak lagi minum air dari sumber di sekitar desa, melainkan air mineral dalam kemasan botol atau gelas plastik. Pola hidup konsumtif masyarakat pedesaan juga dapat dilihat dari selokan-selokan yang biasanya dijejali sampah plastik, termasuk pembalut dan popok instan.
Dengan kacamata pemerintah, dulu, para penerima BLT itu dipandang sebagai sekelompok warga miskin yang untuk makan (beli beras) saja susah. Jadi, pemberian bantuan berupa uang tunai itu dilakukan sebagai semacam tindakan tanggap darurat. Bukankah orang lapar harus segera diberi makan? Tetapi, apa yang terjadi di dalam praktiknya ternyata sering jauh melenceng dari dugaan. Ibu-ibu mengajak anak-anak mereka ke kantor pos untuk mencairkan dana BLT, naik angkudes menempuh jarak puluhan kilometer ke ibukota kecamatan. Setelah terima uang, mereka mampir toko swalayan membeli jajanan buat anak-anak, dan item termahal yang mereka beli ternyata adalah pulsa atau paket data selular. Nah, lo!
Ada seorang anak putus sekolah dari keluarga tetangga, usianya belum genap 20 tahun. Ia sudah berhenti bersekolah ketika menginjak bangku Kelas 8 (Kelas 2 SMP). Gara-garanya, motor butut yang biasa ia pakai ke sekolah harus terjual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Seharusnya anak ini tidak perlu berhenti bersekolah hanya gara-gara kehilangan motor. Pada masa sebelumnya (10-20 tahun lalu), ratusan anak sekolah dasar di desa ini bisa tekun berjalan kaki setiap hari menempuh jarak dua kali lebih jauh.
Apa yang kemudian dilakukan oleh si anak yang putus sekolah itu? Nyaris tidak ada. Kedua orangtuanya harus banting tulang setiap hari. Beban hidup pun bertambah berat dengan adiknya yang masih Kelas 2 Sekolah Dasar dan seorang lagi yang masih balita. Alih-alih membantu orangtuanya bekerja, mencuci atau sekadar mencari kayu bakar, bahkan si putus sekolah ini sering membuat keributan, misalnya berebut ponsel dengan adiknya. Lebih parah lagi kalau dicatat pengeluaran hariannya, si putus sekolah yang mulai doyan mabuk itu biaya makan sehari-harinya bisa hanya separo atau malahan hanya sepertiga dari pengeluaran totalnya. Ia perokok berat, sesekali suka mabuk, dan suka mengamuk pada orangtuanya kalau tidak diberi uang ketika kehabisan pulsa.
Model-model seperti itu adalah pemandangan lumrah di desa-desa. Anak-anak zaman sekarang, sejak sekolah menjadi semakin berat, ada tambahan les ini-itu, ada jam mengaji, dan lain-lain, mereka benar-benar tercerabut dari akar tradisi mereka. Mereka tidak lagi mau peduli dengan urusan orangtua. Seolah-olah, tugas pokok mereka adalah bersekolah. Ketika terpaksa putus sekolah, seorang anak akan terjebak di lingkungan yang menjadikannya semata-mata makhluk konsumtif.
Kita memang masih harus menunggu seperti apa nanti praktiknya. Tetapi, akan sangat mengkhawatirkan jika kartu pra-kerja secara teknis tidak ubahnya dengan BLT khusus bagi para pengangguran segar. Itu akan jauh berbeda dengan, misalnya, jika kartu pra-kerja itu dapat dipakai untuk membebaskan seorang pemiliknya untuk mengikuti pelatihan-pelatihan keterampilan, mengikuti kelas-kelas kewirausahaan, menonton film layar lebar untuk judul-judul terpilih, memasuki kawasan wisata, membebaskannya dari kewajiban membayar pajak untuk produk pertunjukan (misalnya: teater) yang dibuat, dan lain-lain.
Pendek kata, akan lebih baik apabila kartu pra-kerja itu hanya dapat "dicairkan" dengan "kesempatan" untuk pengembangan atau peningkatan kapasitas pemegangnya, dan tidak dapat diunduh dalam bentuk uang tunai.
Bonari Nabonenar menulis dengan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, tinggal di Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur
(mmu/mmu)