Semakin mendekati pilpres, atmosfer politik Indonesia semakin memanas. Perang program dan adu janji semakin sengit. Baik kedua calon sama-sama bersaing pada kontes politik paling wahid.
Dalam beberapa hari ini hangat diperbincangkan tentang program yang ditawarkan dari salah satu calon. Program tersebut adalah pemberian kartu Pra-Kerja. Diketahui, kartu ini akan berfungsi sebagai pemberi insentif bagi penganggur yang baru lulus sekolah menengah atas dan kejuruan.
Tentu saja, pro-kontra program kartu Pra-Kerja timbul di tengah-tengah masyarakat. Tanpa memandang siapapun yang akan menang, tepatkah kebijakan pemberian insentif kepada penganggur jika nanti benar-benar diterapkan?
Waktu Luang vs Bekerja
Menurut teori ketenagakerjaan George J. Borjas dalam bukunya Labor Economics, manusia di dalam hidupnya memilih dua pilihan dasar, yakni waktu luang (leisure time) dan waktu kerja (work time). Manusia memiliki opsi untuk banyak mengorbankan salah satu waktunya untuk mendapatkan hidup yang ideal.
Apabila ingin hidup santai, ya harus mengorbankan waktu bekerjanya. Sebaliknya bila ingin hidup lebih banyak bekerja, ya harus mengorbankan waktu luangnya. Jelas, idealnya tidak ada manusia yang tidak mau hidup dengan bersantai ria saja.
Namun, dengan mengorbankan waktu bekerja maka dia juga harus siap menerima konsekuensi turunnya tingkat konsumsi barang dan jasa. Tentu, daya konsumsi hanya bisa diperoleh dari pendapatan hasil waktu bekerja.
Pemberian gaji kepada penganggur tidak lagi memberikan zero starting point konsumsi bagi yang menikmati waktu luang dengan maksimal. Bila tingkat konsumsi dirasa cukup oleh para penganggur (tanpa harus bekerja), inilah yang akan membuat penganggur untuk semakin "malas" mencari pekerjaan. Efek luasnya, tingkat pengangguran nasional akan melesat naik.
Tidak sampai di situ. Apabila terdapat banyak pekerja yang memiliki upah di bawah insentif kartu Pra-Kerja, tanpa segan-segan mereka akan melepas pekerjaannya. Simpelnya, untuk apa kita capai-capai bekerja jika menganggur bisa mendatangkan uang yang lebih banyak dibanding upah kerja yang didapat? Ditambah, leisure time yang diperoleh menjadi lebih lama. Kasus ini dapat ditemukan riil pada pekerjaan kasar yang memiliki upah yang kecil.
Kasus di AS
Semenjak 1935, Amerika Serikat (AS) pernah memiliki kebijakan serupa seperti kartu Pra-Sejahtera. Aid to Families with Dependent Children (AFDC) merupakan kebijakan pemberian bantuan permanen berupa insentif bagi anak-anak yang yatim piatu, ditinggal ayah atau ibunya, orangtuanya lumpuh, dan orangtuanya pengangguran.
Kebijakan ini berjalan dengan baik dengan mendatangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat AS. Tetapi, pada 1990-an kebijakan kesejahteraan ini lambat laun mendatangkan dampak buruk bagi negara tersebut. Dampak negatif yang ditimbulkan yaitu terjadi peningkatan pada tingkat pengangguran, kecenderungan penduduk untuk malas bekerja, dan meningkatnya kelahiran di luar ikatan pernikahan.
Barulah pada 1996 dimulai reformasi kebijakan kesejahteraan di AS. AFDS dihapuskan dan digantikan dengan Temporary Assistance For Needy Families (TANF). Kebijakan ini mirip dengan sebelumnya, hanya saja diberikan batas waktu 60 bulan. Ditambah, setiap negara bagian diberikan otoritas untuk mengatur program TANF nya sendiri.
Namun tetap saja kebijakan semacam ini mendatangkan dampak yang tak baik. Para penganggur sangat senang dengan insentif yang besar dari Program TANF. Program ini tidak memotivasi mereka untuk mencari pekerjaan, tapi justru menginginkan mendapatkan bantuan lagi. Setelah 60 bulan, bantuan akan terhenti. Di saat itu, penganggur memanfaatkan sistem dengan mengajukan bantuan lagi di negara bagian yang berbeda. Kasus ini dikenal di AS sebagai praktek welfare-flipping.
Selain itu, ada juga kasus penganggur yang memanfaatkan posisi tempat tinggal yang berdekatan dengan batas antardua negara bagian. Mereka akan mendaftar program TANF di dua negara bagian berbeda sehingga memungkinkan untuk mendapatkan insentif ganda. Kasus semacam ini dikenal dengan sebutan double-dipping (Snarr, Friesner, dan Burkey, 2011).
Benahi Kurikulum
Dari teori ketenagakerjaan dan contoh riil yang telah dijelaskan, pemberian insentif bagi para penganggur mendatangkan kemalasan penduduk untuk bekerja. Dengan begitu, seyogianya program yang ditawarkan oleh capres cenderung dapat mendorong pembukaan lapangan kerja yang padat karya dan mendorong perekonomian masyarakat. Dengan begitu, penganggur yang siap bekerja akan mudah terserap sehingga melahirkan tenaga kerja yang produktif.
Misalkan, akhir-akhir ini tenaga kerja di sektor pertanian menurun cepat. Menurut BPS, pada Agustus 2018 terjadi penurunan persentase tenaga kerja di sektor pertanian hingga 0,89 persen. Ini merupakan penurunan terlaju yang dialami Indonesia dibandingkan sektor lainnya.
Andaikan disiapkan program penyerapan tenaga kerja pertanian yang mumpuni diharapkan akan mencegah merosotnya jumlah tenaga kerja pertanian. Dengan disediakan lahan pertanian yang didukung dengan teknologi pertanian yang canggih, menjadikan keuntungan ekonomi di sektor pertanian tidak akan kalah dengan sektor lain. Berkaca dari Belanda, walaupun lahan pertaniannya jauh lebih sempit dibanding Indonesia tapi mampu menjadi negara pengekspor komoditas agraria terbesar ke-2 di dunia (CBS Netherlands, 2017).
Lalu, daripada mencari anggaran untuk membuat program baru berupa insentif bagi penganggur yang baru lulus, lebih baik menggunakan anggaran yang ada seperti pendidikan untuk membenahi kurikulum.
Seperti yang diungkapkan Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal dalam detikFinance (5/3/2019), yang dibutuhkan oleh siswa SMK agar mudah mendapatkan pekerjaan ialah mengganti kurikulum yang sudah ada dengan kurikulum yang telah disesuaikan dengan kebutuhan industri.
Dengan begitu, kurikulum SMK akan mengutamakan praktik dibandingkan dengan teori. Siswa SMK diajak menceburkan diri pada pekerjaan-pekerjaan sesuai permintaan pasar tenaga kerja, semisal teknik industri, besi dan baja, otomotif, hotel, dan sebagainya.
Ketika lulus, mereka akan benar-benar siap dengan bekal pengalaman dan pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Tentunya, hal-hal tersebut akan memudahkan mereka dalam mencari pekerjaan.
Dedy Susanto, SST staf Seksi Statistik Ketahanan Sosial BPS Provinsi Papua
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT