Kapan terakhir kali Anda membaca koran? Dan, kalau pun Anda "masih" membaca koran, apakah Anda pernah membaca --atau bahkan sekadar memperhatikan-- halaman yang memuat kolom opini? Tidak perlu dijawab, karena jawabannya sudah pasti, dan semua orang sudah tahu. Romo Magnis perlu berterima kasih pada para penyebar tulisannya, karena gara-gara mereka, jadi lebih banyak orang yang membaca tulisan tersebut, sehingga pesannya jadi menjangkau jauh lebih banyak orang.
Saya yakin Romo tak pernah menyangka hal itu akan terjadi. Tulisan itu sendiri sejujurnya tak memuat gagasan baru. Bahkan mungkin bisa dibilang hanya menyajikan kesimpulan yang klise. Tapi, dengan bahasa yang bernada keras dan blak-blakan seperti itu, memang cukup mudah untuk memancing reaksi orang. Tentu saja tak semua orang tak setuju dengan pendapat Romo itu. Goenawan Mohamad misalnya, ikut menyebarkan tulisan tersebut seraya menyebutnya sebagai "pesan yang patut direnungkan" berkaitan dengan Pemilu yang sudah dekat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini bukan kejadian lazim. Artinya, sebuah tulisan opini di koran bisa menyebar sebegitu rupa, menjadi viral di media sosial dan berbagai platform digital adalah kejadian yang terbilang langka. Bayangkan, ketika seseorang mendapatkan tangkapan layar dari tulisan tersebut, berikut komentarnya, ia tak akan bisa menahan diri untuk tak ikut berkomentar, dan sekaligus ikut menyebarkannya. Kenapa orang-orang mau melakukan itu? Karena ketika sesuatu telah ramai dibicarakan, tak seorang pun ingin tinggal diam hanya sebagai penonton.
Di era keterhubungan digital, ketika setiap orang punya massa, follower, menjadi "opinion leader" di lingkaran masing-masing, diam menonton saja bukanlah hal yang menguntungkan. Kita harus selalu memastikan diri untuk ikut dalam setiap letupan gelembung yang tengah melayang-layang di udara, selalu terlihat ada di sana, menyodorkan suara kita, pendapat kita, reaksi kita, untuk menambah dan menguatkan eksistensi kita di tengah kerumunan. Ketika semua orang terhubung, bisa teriak, dan punya kesempatan yang sama untuk didengar, menjadi penonton adalah pilihan yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Viralnya tulisan opini Romo Magnis hanya satu contoh dari betapa mudahnya kita melakukan sesuatu, ikut bereaksi, karena dipicu oleh aksi yang sebelumnya sudah terjadi, mengundang dan memprovokasi kita untuk menjadi bagian darinya. Keputusan seperti itu kadang tidak ada hubungannya dengan mencari keuntungan tertentu --misalnya, dalam konteks pergaulan media sosial, untuk menjaga eksistensi tadi. Melainkan, lebih seringnya semata-mata karena memang kecenderungan manusia untuk selalu ingin dan ikut melakukan apa pun kecuali duduk diam berpangku tangan menjadi penonton dalam situasi yang sedemikian riuh.
Bias aksi seperti itu menjadi semakin kuat dalam situasi yang tidak jelas. Ketika sebuah kabar yang belum terkonfirmasi beredar, dan kita ragu, kita bukannya menahan diri melainkan justru ikut menyebarkannya sambil menyertakan pertanyaan: ini bener nggak sih? Tujuannya memang bagus, memperjelas informasi yang masih kabur, namun efeknya justru memviralkan sesuatu yang sebenarnya bisa memicu kesalahpahaman. Dalam setiap kejadian bencana misalnya, sebuah video yang merekam kepanikan warga mudah sekali menyebar, dan berpotensi menimbulkan kepanikan yang lebih luas, karena bias aksi semacam itu. Hal yang sama menjelaskan, kenapa berita-berita hoax dan kabar bohong begitu mudahnya menyebar.
Sekali lagi bayangkan, kalau yang menjadi sumber informasi atau orang yang pertama kali menyebarkannya adalah seorang ustaz, misalnya, yang dalam budaya masyarakat kita yang agamis memiliki otoritas yang tinggi, maka sebuah video atau tangkapan layar mengenai suatu pernyataan akan mudah sekali menyebar, tanpa perlu menunggu adanya kejelasan. Ketika seorang ustaz terkenal menuduh bahwa dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual terdapat upaya untuk melegalkan zina, maka tanpa perlu berpikir dua kali orang akan dengan heroik "terpanggil" untuk ikut menyebarkan "informasi" itu, demi melindungi umat. Ketika belakangan sang ustaz menyadari kekeliruannya, permintaan maaf sudah menjadi basi dan sia-sia --tuduhan sudah telanjur menyebar, dipercaya banyak orang, dan mustahil ditarik kembali.
Ketika sekelompok emak-emak yang berkampanye untuk capres tertentu menyebarkan "informasi" bahwa jika capres lain menang maka azan akan dilarang, kita pun sudah tahu apa yang terjadi kemudian, betapapun tak masuk akalnya "informasi" itu. Bias aksi bahkan muncul di lingkungan yang paling berpendidikan. Jadi bagaimana menjelaskan kecenderungan ini? Di luar soal isu agama yang tak pernah gagal menyentuh emosi massa, ada penjelasan lain untuk melihat gambar besarnya.
Dalam budaya berburu dan mengumpulkan pada zaman leluhur kita dulu, aksi mengalahkan refleksi. Reaksi yang cepat, kalau perlu secepat kilat, sangat penting, demi keselamatan, karena kehidupan yang sungguh keras. Dibutuhkan keputusan yang cepat tanpa perlu berpikir panjang, atau kau akan menjadi santapan harimau. Tidak ada waktu untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan, karena terlambat sedikit saja akibatnya bisa fatal.
Kita adalah keturunan orang-orang seperti itu. Terima kasih, Darwin untuk membuat kami menyadari hal ini! Orang-orang zaman dulu berprinsip "lebih cepat lebih baik". Lebih baik cepat melarikan diri. Lebih baik cepat melemparkan tombak atau menarik busur panah, ketimbang keduluan diterkam musuh. Tapi, apa perlu kita mengatakan bahwa dunia saat ini berbeda? Jelas, kini kita hidup dalam budaya dan lingkungan yang menuntut untuk selalu berpikir terlebih dahulu, mendahulukan pikiran ketimbang aksi --walau naluri kita mungkin mengatakan sebaliknya.
Kehidupan sekarang mestinya menghargai pemikiran lebih tinggi, namun faktanya bagi banyak orang diam tak bertindak dan hanya menjadi penonton adalah "kesalahan besar". Anda akan merasa ketinggalan informasi, atau dalam kasus tertentu dianggap tak bersimpati, dan dalam kasus-kasus lain dengan lingkup yang lebih besar, diam berarti ditindas, tak dihargai, kehilangan kehormatan, tidak eksis, atau tak mendapat promosi jabatan. Itulah sebabnya, kenapa ketika Anda hanya diam saja, waktu terasa lama dan membosankan. Itulah sebabnya, atas segala apa yang terjadi, kita selalu bersuara, pertama-tama karena hal itu kini memang dimungkinkan.
Di sisi lain, kita tak ingin dianggap tak punya sikap. Di media sosial, bias aksi telah melahirkan prasangka yang naif dan absurd. Ketika kita diam, tidak ikut bersuara atas sesuatu yang sedang ramai dibicarakan, kita akan dianggap tidak peduli. Ukuran dari kepedulian semata-mata dilihat dari aksi kita nge-tweet atau menuliskan status tertentu. Kita harus selalu "nimbrung". Keterlibatan dan kehadiran kita terus-menerus diminta, dipanggil-panggil, dituntut --yang pada akhirnya melahirkan ilusi bahwa kita, dengan suara dan pendapat kita, begitu pentingnya, bisa mengubah situasi, memberi perbedaan, dan membawa perubahan.
Secara umum, bias aksi di media sosial juga telah mengubah cara pandang kita terhadap suatu peristiwa. Semuanya diukur dari gaung dan kegaduhan, lalu ditarik ke dalam hipotesis-hipotesis yang disesuaikan dengan kepentingan masing-masing kelompok. Kenapa bencana A ramai dibicarakan, kenapa bencana B sepi komentar. Kenapa tragedi X mengundang banyak suara mengecam, kenapa tragedi Y tak ada yang bersuara. Ukurannya lagi-lagi hanya ditentukan oleh hiruk pikuk dan kesibukan di "timeline" masing-masing, tanpa ada upaya untuk melihat ke luar, ke cakrawala yang lebih luas, yang menampilkan berbagai pandangan yang berbeda.
Tentu saja, dalam beberapa atau banyak hal tertentu, kita mesti bersuara, kalau memang ada sesuatu yang mengusik nurani kita, atau kita rasa tak sesuai, atau kata hati kita mengatakan, nggak gitu juga keles!. Seperti orang-orang progresif yang marah dan memberikan "wawasan alternatif" atas opini Romo Magnis di atas. Namun, dalam beberapa atau banyak hal lain, kita mesti waspada dengan bias aksi. Ketika aksi terorisme terjadi di sebuah masjid di Selandia Baru, video yang merekam tindakan brutal itu dengan cepat menyebar. Mungkin tanpa kita sadari, kita ikut menyebarkannya, lebih karena kemarahan kita, ingin menunjukkan sikap kita yang mengutuk aksi itu. Tapi, akibatnya, kita membantu mewujudkan tujuan dari aksi para teroris itu, yakni menciptakan ketakutan, lewat tayangan video yang mengerikan.
Menjadi semakin tidak menentu, karena bias aksi kemudian juga terjadi dalam cara kita berkomentar. Pokoknya ngomong dulu, mikir belakangan, bahkan pikiran tak diperlukan lagi. Tanpa memahami duduk perkaranya, tanpa ada usaha untuk mencari tahu lebih dulu latar belakang suatu peristiwa, kita dengan mudah membuat analisis-analisis, melontarkan pendapat, dan menarik kesimpulan. Yang muncul akhirnya tak lebih dari ujaran-ujaran penuh prasangka, kebencian, dan sikap dendam. Runyamnya lagi, dalam situasi sekarang ini, semuanya lantas dikaitkan dan dibingkai dengan pilihan politik yang sudah tak bisa dipisahkan lagi dengan sentimen agama.
Dalam suasana yang ramai dan gaduh namun penuh ketidakpastian, dalam situasi yang baru, dalam kondisi yang mengguncang, diam dan menjadi penonton jauh lebih baik. Minimal, menahan diri, sebelum membuat keputusan untuk (ikut) ber(e)aksi. Membuat keputusan yang tepat setelah menunggu, menimbang, berpikir lebih jauh, dan merefleksikan berbagai kemungkinan, tidak akan membuat kita rugi apa-apa. Sebaliknya, justru bisa menyelamatkan --diri kita sendiri, orang lain, kelompok, masyarakat, organisasi, negara, bahkan kemanusiaan.
Jadi, walau mungkin tak menaikkan reputasi Anda, tak memberi nilai lebih bagi eksistensi, atau bahkan tak membuat Anda semakin populer, jika situasinya tidak jelas, kendalikan diri. Duduklah dengan tenang. Tunggu dan lihat dulu. Walaupun, di luar sana sebagian besar masyarakat --netizen yang mahabenar dan pakar segala pakar itu-- lebih memilih aksi cepat. Jangan tergoda. Diam dan menjadi penonton kadang-kadang, atau (kalau melihat perkembangan akhir-akhir ini) sering adalah pilihan yang paling masuk akal dan bijaksana.
Mumu Aloha wartawan, penulis, editor
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini