Petugas pun "mengalah", dan beringsut kembali ke posisinya di ambang pintu bus. Dalam berbagai "variasi" kejadian yang kurang-lebih sama, kita kerap menjumpai situasi seperti itu. Orang selalu punya pembenaran untuk setiap tindakan yang dilakukannya guna melanggar sebuah aturan. Kita terbiasa melanggar aturan-aturan yang "ringan", dengan pikiran, "Ah, tidak apa-apa." Dalam kasus larangan makan dan minum di dalam bus itu misalnya, tentu saja jelas, poinnya bukan sekadar bahwa hal itu untuk mencegah Anda mengotori tempat umum. Pertimbangkan juga bahwa aroma makanan, dan tindakan makan itu sendiri bisa mengganggu kenyamanan orang lain. Ini soal bagaimana kita menjaga ruang publik untuk kepentingan bersama.
Terlepas dari apapun, aturan adalah aturan; ia dibuat tidak sebagai iseng-iseng melainkan untuk ditaati. Bila hidup adalah proses pembelajaran, maka selama ini, disadari atau tidak, kita juga selalu belajar untuk melanggar aturan. Dari hal-hal "kecil" seperti membuang sampah sembarangan atau bertelepon keras-keras di tempat umum dan mendengarkan musik atau menonton video di HP tanpa menggunakan headset, sampai ke hal-hal "besar" seperti mengambil yang bukan hak kita, misalnya meminjam barang orang lain tanpa izin atau bahkan tidak mengembalikannya alias mencuri, atau merusak fasilitas umum. Semua berawal dari "ah, tidak apa-apa".
Para orangtua membiarkan anaknya yang belum memenuhi syarat batas umur untuk mengendarai motor atau mobil, dengan pikiran, "Ah, tidak apa-apa." Juga, memberi mereka gadget canggih tanpa dibarengi dengan kontrol, pengawasan, atau pendidikan yang memadai. Dalam lingkup yang lebih luas dalam kehidupan bersama, kita menyeberang jalan tidak pada tempatnya, merokok di tempat umum, menyerobot lampu merah, berkendara motor tanpa helm, melawan arus, atau naik ke trotoar, dan menyetir sambil menelepon. "Ah, tidak apa-apa." "Ah, tidak ada polisi." Kita mencurangi orang lain, menjegal rekan kerja kita, menelikung teman sendiri...semua berawal dari "ah, tidak apa-apa". Yang penting tidak ketahuan. "Bersih, tidak berceceran."
Lama-lama, semua pelanggaran dan penyelewengan itu menjadi kebiasaan. Dalam peraturan lalu lintas di Jakarta misalnya, jalur satu arah nyaris tak berfungsi. Jumlah pemotor yang melawan arus kadang (atau bahkan sering) lebih banyak dibanding yang melaju sesuai aturan. Jika ditegur, mereka bisa lebih galak dan selalu punya pembenaran. Lebih dari itu, hal tersebut sangat berbahaya, bisa mencelakakan orang lain. Tapi, kebanyakan orang (yang melanggar itu) berpikir, "Ah, tidak apa-apa." Itulah yang terjadi terutama di wilayah-wilayah pinggiran, sampai suatu ketika pernah kejadian, di sebuah kawasan di selatan Jakarta, sebuah angkot yang melawan arus menabrak motor sampai pengendaranya tewas. Sejak itu, di titik tersebut selalu dijaga petugas. Padahal, seandainya semua mentaati aturan, hal itu tak perlu terjadi, atau bisa dihindari.
Dalam masyarakat yang cenderung "belajar" dan "membiasakan diri" untuk senantiasa menyiasati atau melanggar aturan, kecelakaan atau kejadian yang tak diinginkan hanya soal waktu. Ada yang namanya Hukum Heinrich. Heinrich, yang kala itu bekerja sebagai asisten pengawas di sebuah perusahaan asuransi di Amerika Serikat, meneliti data beragam kecelakaan kerja dan menemukan fakta menarik. Bahwa, secara statistik, pada setiap kecelakaan yang menyebabkan satu orang luka parah, sebelumnya telah ada 29 orang yang mengalami luka ringan, dan 300 orang yang nyaris terluka.
Hukum Heinrich kemudian dilambangkan sebagai "Hukum 1:29:300", dan menjadi teori yang sangat penting dalam pencegahan kecelakaan industri dan manajemen risiko. Menurut hukum ini, suatu kecelakaan besar tidak terjadi begitu saja, tetapi sebelumnya sudah ada 29 kecelakaan kecil, dan sekitar 300 indikasi nyaris celaka. Namun, seperti selalu kita saksikan atau bahkan mungkin kita lakukan sendiri, dalam kehidupan nyata hukum ini justru diterima secara terbaik.
"Tenang, aku sudah sering kok mengalami hal itu, tidak apa-apa, semua baik-baik saja, santai saja."
"Tenang, hanya kecelakaan kecil, sudah biasa."
Lalu, di saat lengah dan bersikap menggampangkan seperti itu, sebuah bencana besar yang tak terelakkan terjadi.
Kita percaya atau tidak, Hukum Heinrich bekerja dalam kehidupan kita. Ini adalah hukum alam, atau orang beriman menyebutnya sunnatullah --hanya kebetulan saja penemunya adalah seorang bernama Heinrich. Dan, ini tidak hanya berlaku dalam urusan yang berkaitan dengan keselamatan kerja atau berlalu lintas di jalan raya. Melainkan juga berlaku dalam kehidupan, karier, persahabatan, asmara, bisnis, hingga politik. Kecenderungan kita untuk melanggar aturan-aturan "kecil" yang terkesan (atau memang kita anggap) "sepele", atau melakukan penyelewengan yang merugikan orang lain, menjadikan perasaan kita tumpul, tak punya simpati dan kepedulian pada sesama, karena selalu beranggapan bahwa "tidak (akan) terjadi apa-apa". Karena memang begitulah yang terjadi "selama ini".
Kita pulang ke rumah dengan selamat, walaupun tadi di jalan menerobos lampu merah, atau menyetir dengan ugal-ugalan. Kita "ketagihan" selingkuh karena pertama, kedua, ketiga....tidak pernah ketahuan. Kita korupsi karena "sejauh ini" aman-aman saja, tidak terkena operasi tangkap tangan KPK. Setelah semua pelanggaran itu menjadi kebiasaan, kita pun terlena, dan tanpa kita sadari, apa yang sejauh ini "tidak apa-apa" atau "tidak menjadi masalah" diam-diam sedang "menghitung mundur" --dari 300 ke 29 ke 1 alias berjalan menuju titik kritis. Ketika musibah besar terjadi, ketika akhirnya tertangkap basah, ketika hal buruk tak bisa diubah lagi, yang tersisa hanyalah luka dan penyesalan, kau dan hidupmu yang kacau, rasa malu yang tak tertanggungkan dan nama baik yang jatuh, kerugian dan kehilangan yang menyesakkan, bukan hanya bagi diri sendiri, tapi juga orang lain bahkan mungkin kehidupan bersama dalam lingkup yang luas --kerusakan dan kehancuran masyarakat.
Jika hari ini kau selamat, jika ada kesalahan yang terlewat, jika terhindar dari kejadian buruk, jangan girang dulu. Itu bukanlah keberuntungan, melainkan bisa jadi kemalangan yang hanya tertunda. Kita boleh saja berpikir positif dan optimistis, dan jelas itu memang baik. Sepanjang, pikiran positif dan sikap optimis itu kita terapkan untuk situasi dan fungsi yang tepat. Dalam beberapa hal, situasinya tidak selalu --dan mungkin tidak akan pernah-- baik-baik saja. Kata Jack Ma: Hari ini kejam, esok semakin kejam. Kata-kata itu memang pesan untuk tidak menyerah (dalam berusaha). Tapi, bisa kita terapkan dalam praktik yang luas untuk menjalani hidup ini dengan kepekaan untuk senantiasa tidak melanggar aturan, dan menjaga keselamatan bersama.
Kita boleh saja percaya ungkapan, "yang tak membunuhmu hari ini, akan membuatmu kuat", yang sering dikutip (dari Nietzsche) oleh tokoh-tokoh dalam film komedi romantis maupun petualangan superhero ala Hollywood. Tapi, hidup kita tak mengikuti skenario yang selalu berakhir bahagia. Faktanya, yang tak membunuhmu hari ini, akan terus mengincarmu, membayangi langkahmu, mengintai gerak-gerikmu, dan membunuhmu lain waktu. Sekali lagi, ini bukan soal berpikir positif dan menatap masa depan secara optimistis. Ini bukan tentang egomu, melainkan inilah toleransi yang sesungguhnya, yakni bagaimana meneguhkan --kembali dan terus-menerus-- kewargaan kita dalam ruang-ruang publik dan kehidupan yang harus dirawat dengan kepekaan, simpati, dan kepedulian pada sesama, demi kebaikan bersama. Agar kita semua (melanjutkan Jack Ma) "mendapat kesempatan untuk melihat matahari terbit esok lusa." Taati peraturan. Ikuti norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku. Jangan selingkuh. Jangan korupsi. Lupakan film Hollywood, ingat Hukum Heinrich.
Mumu Aloha wartawan, penulis, editor
(mmu/mmu)