Menyegarkan Kualitas Demokrasi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menyegarkan Kualitas Demokrasi

Rabu, 27 Feb 2019 15:46 WIB
Donny WS
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: DW (News)
Jakarta -
Suatu hari ketika sedang merenungkan penyebab keruntuhan Romawi, Rousseau berkata: "Demokrasi itu ibarat buah. Penting untuk pencernaan, tetapi hanya lambung yang sehat yang mampu mencernanya." Sekarang kita bisa bertanya: lambung macam apa yang kita miliki sekarang ini?

Reformasi harus kita akui memang membawa banyak perubahan. Namun, demokrasi tampaknya mengalami kemunduran beberapa tahun belakangan. Bagaimana sebenarnya kondisi demokrasi kita hari ini?

Indonesia pernah menduduki peringkat baik dalam hal demokrasi pada kurun waktu 2005-2013. Lembaga penelitian independen Freedom House menyematkan predikat negara bebas (free) kepada Indonesia, sejajar dengan Australia, Finlandia, Kanada, dan negara maju lainnya. Sayangnya, peringkat itu merosot sejak 2014-2018, sehingga kini Indonesia hanya mendapat status "setengah bebas" (partly free). Artinya, dalam aspek hak politik dan kebebasan sipil, Indonesia mengalami penurunan dan butuh banyak perbaikan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fakta di atas memang tidak mengejutkan. Meskipun kebebasan berkeyakinan, berpendapat, dan berekspresi dijamin di negeri ini, faktanya diskriminasi terhadap kelompok minoritas pun masih terjadi seperti pada kelompok Tionghoa, Ahmadiyah, Syiah, dan LGBT. Selain itu, penyelesaian kasus HAM pra dan pasca-Reformasi tampaknya hanya akan menjadi bagian dari program Nawacita dan kalah populer dengan proyek-proyek kasat mata.

Kualitas demokrasi ditentukan juga oleh tingkat korupsi. Sayangnya, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tergolong masih buruk. Data Transparency International (2018) menunjukkan Indonesia masih menempati peringkat 89 dari 180 negara. Artinya, korupsi masih menjadi persoalan serius yang harus segera dibenahi, karena korupsi seperti kata Machiavelli bukan hanya merugikan negara, tetapi merusak "yang publik" atau kebaikan bersama (common good).

Jalan Pintas

Memasuki tahun politik, suasana demokrasi diperkeruh dengan suguhan drama politik yang dimainkan para aktor demokrasi. "Kampret" dan "cebong" adalah lakon utama dalam drama berjudul Pilpres 2019. Skenario yang dimainkan tak jauh dari cerita kebangkitan PKI, propaganda Rusia, menteri pencetak utang, invasi Tionghoa, politisasi ulama, politisasi agama, curang debat pilpres, dan cerita lainnya yang hanya membuat alur cerita berantakan tanpa makna.

Layaknya sinetron di televisi yang selalu mendapat rating tinggi, nyatanya drama politik ini memang mampu menggiring opini publik dan menjadi jalan pintas bagi para lakon untuk menggalang dukungan. Sayangnya, jalan pintas ini lebih sering menciptakan percakapan yang bernada kebencian, fitnah, dan hoaks di media massa maupun media sosial ketimbang perdebatan bernada inovasi yang mengasah nalar publik.

Politik bukan lagi pertarungan gagasan, ide, dan program kerja, melainkan adu pencitraan, janji, kebencian, dan kecemasan. Meminjam istilah Habermas, pergeseran ini merupakan pemiskinan politik (the impoverishment of politics).

Kata seorang filsuf asal Prancis, Paul Ricoeur, politik memiliki wajah ganda: politik rasional dan politik durjana. Ricoeur menyebutnya sebagai paradoks politik (the political paradox). Kini, politik yang durjana digunakan untuk meraih kekuasaan dengan jalan pintas demokrasi seperti yang disebutkan di atas. Politik jenis ini menyasar kelompok masyarakat literasi rendah dengan memanfaatkan ketakutan dan ketidaktahuan mereka.

Para pemilih yang belum rasional akan mudah tersihir dengan karisma dan retorika semata, sehingga mengabaikan ukuran-ukuran ideal seperti integritas, track record, program kerja, dan kompetensi.

Penyegaran

Seperti halnya memperbaiki kualitas sinetron di televisi yang membutuhkan kerja sama antara produser dan penonton, memperbaiki kualitas demokrasi pun membutuhkan kerja sama antara aktor politik dan pemilih. Di satu sisi, produser harus mau memperbaiki kualitas jalan cerita menjadi lebih realistis, bukannya menjual fantasi belaka.

Rating boleh saja menjadi tujuan utama, tapi jangan sampai mengabaikan etika dan fungsi pendidikan dalam industri hiburan. Di lain sisi, penonton juga harus mau membuka diri dan bahkan meminta hiburan yang lebih berkualitas.

Begitu juga dalam politik. Para aktor harus mampu menciptakan iklim politik yang kritis, namun tetap positif. Meraup suara tentu menjadi tujuan utama, tapi tidak perlu menghalalkan segala cara. Reformasi kepartaian sangat diperlukan mulai dari kaderisasi hingga transparansi. Partai politik yang seringkali menganut garis keturunan, sistem oligarki, kekuatan finansial, popularitas dalam sistem rekrutmen dan kaderisasi telah menutup jalan bagi mereka yang mempunyai kompetensi namun terhalang dengan tidak adanya modal-modal tersebut.

Dalam hal ini, partai harus mengubah pola rekrutmen dan kaderisasi dari yang sifatnya tertutup ke arah yang lebih transparan, terbuka, dan demokratis. Memberikan beasiswa politik bagi sosok berkualitas untuk mengikuti pemilihan DPR, walikota, bupati, atau gubernur bisa menjadi salah satu cara bagi partai untuk memperbaiki keadaan. Isu transparansi partai politik juga perlu disoroti, tak hanya dari sisi keuangan namun juga kinerja.

Maka untuk mengurangi biaya politik yang tinggi dan kekuatan oligarki partai, penguatan dana negara untuk partai politik perlu segera dilakukan. Tetapi, harus dipastikan sistem keuangan partai transparan, akuntabel, dan melalui proses audit yang tepat. Selain itu, di era digital dan pertumbuhan penggunaan internet yang pesat, seharusnya tidak sulit bagi partai politik untuk berubah lebih modern-demokratis dengan menciptakan platform yang memungkinkan rakyat menilai kinerja partai dan politisi yang dipilihnya, misalnya melalui aplikasi mobile, website interaktif, dan lain sebagainya.

Para pemilih juga tidak boleh bertindak pasif. Kalau para aktor politik perlu menciptakan iklim politik yang kritis dan positif, maka pemilih perlu menyebarkan politik akal sehat yang bisa melihat fenomena politik secara lebih rasional dengan mengedepankan data dan gagasan, bukan kebencian atau hoaks. Berpihak pada salah satu calon dalam pilpres tentu sah-sah saja. Namun, berpihak bukan berarti menjadi tidak rasional dan melakukan bias konfirmasi atau mencari fakta yang hanya mendukung kepercayaannya saja.

Mencoba menempatkan diri di sisi lawan bisa menjadi langkah kecil untuk mengecek kebenaran. Dengan begitu, kita bisa membentengi diri dari segala falsehood atau hoaks yang marak beredar serta menjaga kewarasan di tengah kebisingan politik. Peran media sangat dibutuhkan untuk menyajikan informasi yang seimbang dan komprehensif sebagai benteng pengetahuan masyarakat. Hal ini akan mendorong masyarakat memelihara politik harapan (politic of hope), dan meninggalkan politik ketakutan (politic of fear).

Selain itu, pemilih juga harus mempunyai tanggung jawab politik menjadi full citizen (warga negara penuh). Setiap pemilih ada baiknya bertindak aktif dan lebih meningkatkan pengawasan terhadap kekuasaan atau politisi yang dipilih.

Dalam memberantas korupsi dan meningkatkan kebebasan sipil, kita perlu memfungsikan rule of law dan good governance. Seperti kata Lubis (2018), negara tidak mungkin bisa memberantas korupsi kalau rule of law tidak jalan. Jika rule of law "macet", maka good governance juga tak akan berfungsi. Apabila kedua hal tersebut tidak berfungsi, maka kita membutuhkan pemimpin yang kuat: the rule of man.

Seperti kata Machiavelli, pemimpin kuat adalah seseorang yang mampu melampaui antara virtΓΉ dan fortuna. Seorang pemimpin yang berani mengambil keputusan tidak populer tanpa intervensi pihak mana pun. Ringkasnya, ke depannya kita membutuhkan pemimpin dengan peran lengkap: the rule of law dan the rule of man secara sekaligus.

Demokrasi bukanlah sistem yang ideal, tapi sementara ini merupakan yang terbaik. Seburuk-buruknya demokrasi, ia mempunyai mekanisme untuk memperbaiki diri. Terlepas dari banyaknya tantangan dan kendala yang dihadapi, masih ada harapan dan peluang untuk memperbaiki kondisi demokrasi kita. Kuncinya: kita tidak boleh pesimis dan putus asa. Seperti kata sastrawan Afganistan: "Para perompak bisa merusak dan membakar kebun bunga, tapi ia tidak bisa mencegah datangnya musim semi."

Jadi, tidak ada kata terlambat bagi kita untuk ikut merawat dan menanamkan bunga-bunga baru sampai musim semi itu tiba. Hanya dengan cara ini demokrasi bisa menjadi lebih beradab.

Donny WS alumnus Universitas Al Azhar Indonesia

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads