Bisingnya Politik Kita
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Mimbar Mahasiswa

Bisingnya Politik Kita

Rabu, 27 Feb 2019 14:30 WIB
Moch Sholeh Pratama
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Bisingnya Politik Kita
Foto: Andi Nurroni
Jakarta - Saat politik kita tengah berada pada situasi yang sangat genting dan bising, baiknya kita kembali membaca kemudian merenungkan apa yang pernah diucapkan oleh Bung Karno. "Perjuanganku lebih mudah melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan bangsamu sendiri".

Dahulu kita mungkin tidak akan membayangkan kemungkinan perkataan tersebut. Namun, jika kita melihat dengan jernih realitas politik hari ini, maka kemungkinan besar benar adanya. Bisa saja Bung Karno telah melihat tanda-tanda bagaimana ada tabiat yang tidak biasa dalam masyarakat politik kita.

Aktivitas politik kita dewasa ini sangatlah jauh dari jati diri kebangsaan Indonesia yang menjunjung tinggi kesantunan, kedamaian, dan persatuan. Justru kebencian, fitnah, dan amarah dalam rupa sumpah serapah yang terus dihamburkan di ruang publik oleh elite politik dan kolega.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nafsu untuk menjaga basis massa pendukung agar tetap loyal tampaknya telah membuat buta dan tuli para elite, bahwa massa di luar dua arus besar pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden serta partai koalisi, masih terdapat "massa kritis" yang semakin muak dengan teater politik yang disuguhkan.

Apalagi, proses kontestasi pemilihan umum tahun ini sepertinya telah dihargai sebanding dengan hidup dan mati. Hal ini dibuktikan dengan terus menguatnya fanatisme buta dan kebencian politik yang menyertai. Perjanjian damai yang disepakati oleh para calon kontestan di hadapan penyelenggara pemilihan umum dalam praktiknya lebih sering dilanggar daripada dipatuhi. Sentimentalitas politik berbasis rasialis menunjukkan tren yang terus menguat di tengah masyarakat politik kita.

Politik yang Sakit

Pengekangan ekspresi dan partisipasi dalam politik yang terjadi pada masa Orde Baru kini telah lenyap. Ekspresi politik dapat disalurkan lewat media, juga dalam bentuk macam apa saja, dan partisipasi politik terus melonjak tinggi berkat sistem yang menunjang --terlepas dari apapun bentuk maupun pengertian dari ekspresi dan partisipasi tersebut, entah itu merusak atau membangun.

Di balik fakta itu, sekilas, sesungguhnya terdapat kebaikan yang patut disyukuri. Apatisme yang selama ini menjadi hantu dalam setiap gelaran pemilihan umum kini diganti dengan dengan semangat yang menggebu-nggebu. Sayangnya, semangat positif tersebut masih tersangkut pada fakta bahwa partisipasi politik yang tinggi tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas pemilihan umum itu sendiri.

Harapan masyarakat terhadap aktivitas politik yang sehat sepertinya akan sulit terwujud dalam waktu dekat. Alih-alih memperbaiki dan menyembuhkan kondisi, yang terjadi justru dikembangbiakkannya secara massal praktik aktivitas politik yang cacat. Terbukti tatkala para lakon politik yang terus berupaya menghidupkan aura permusuhan di tengah-tengah masyarakat untuk menjaga basis suara dukungan.

Sebab itulah, pada akhirnya ruang publik terbelah menjadi dua kelompok dominan dengan sikap yang seolah-olah telah final, antara memuja-muji kepada calon idola atau sumpah serapah untuk kandidat seberang.

Penyakit yang tengah menjangkiti politik kita hari ini tidak boleh terus dibiarkan dan dimaklumi sebagai realitas politik. Sudah cukup, tindakan saling lapor, saling membuka aib, saling menghina, dan saling memprovokasi saudara sendiri. Sampai yang paling disesalkan adalah ketika ada penolakan pemakaman jenazah di tanah kelahirannya karena berbeda pilihan politik.

Benar-benar politik kita hari ini sangatlah terasa bising di telinga karena yang terdengar dan bertebaran adalah ujaran kebencian, kemarahan, dan fitnah.

Menguatkan Arus Ketiga

Mengacu pada hasil-hasil survei politik yang telah dipublikasikan, beberapa dari kita pasti masih ada yang mau untuk bersepakat dan taat terhadap komitmen untuk menciptakan situasi dan kondisi pemilihan umum yang damai.

Kita yang dimaksud di sini adalah orang-orang di luar dua kubu besar gerbong politik. "Massa kritis" ini bagaikan pendar cahaya yang menjadi sumber optimisme, bahwa masyarakat akan lekas sembuh dari sakitnya: fanatisme buta, kemarahan, dan kebencian. Sebab, mustahil menaruh harapan kepada "mereka" yang sudah terpapar fanatisme buta dengan seperangkat amunisi prasangkanya.

Ketiadaan teladan dalam arena politik nasional hari ini ditengarai menjadi akar permasalahan atas kemelut yang terjadi. Publik masih kesulitan untuk menemukan teladan ideologis dan teladan elite yang memiliki pandangan tidak sekadar menang-kalah dalam pemilihan umum. Sosok yang mampu menanggalkan beratnya egoisme politik.

Sesungguhnya, sosok teladan maupun pelopor perdamaian di arena politik berpotensi besar lahir di antara "massa kritis" ini. Yakni, mereka yang belum --bahkan tidak (boleh)-- terseret arus: mahasiswa, akademisi kampus, dan pegawai negeri sipil. Ketiganya adalah penjaga kesehatan masyarakat politik yang sesungguhnya.

Baik mahasiswa, akademisi kampus, dan pegawai negeri sipil saat ini sangat perlu untuk mencipta-kuatkan arus ketiga dalam kontestasi pemilihan umum. Menjadi arus idealis yang memoderasi dua arus dominan yang sudah terlebih dahulu diciptakan oleh oligarki politik.

Arus tersebut berkewajiban menahan gejolak konflik politik sambil menumbuhkan dukungan dan apresiasi politik sebagai bagian dari kedewasaan politik. Mengkampanyekan hal-hal positif dan produktif di tengah perdebatan kontraproduktif sebagai ikhtiar menumbuhkan kesadaran, bahwa kedamaian berkehidupan bersama jauh lebih berharga dari apapun, termasuk kekuasaan politik.

Moch Sholeh Pratama Ketua BEM FIB Universitas Airlangga Surabaya, mahasiswa Departemen Ilmu Sejarah

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads