Agar Petani Bisa Hidup Layak
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Agar Petani Bisa Hidup Layak

Selasa, 26 Feb 2019 15:28 WIB
Agus Nugroho
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Agar Petani Bisa Hidup Layak
Petani di desa Undaan, Kudus, Jawa Tengah (Foto: Akrom Hazami)
Jakarta -

Pascadebat calon presiden (capres) putaran kedua, masyarakat melihat bagaimana komitmen kedua capres untuk mengembangkan sektor pertanian. Sebagai sebuah negara agraris, kontribusi pertanian terhadap ketersediaan pangan sangatlah besar. Namun begitu, kinerja sektor pertanian masihlah belum optimal sehingga Indonesia harus mengimpor produk pangan. Kondisi tersebut yang menjadi fokus masing-masing capres, bagaimana meningkatkan produksi dan mengurangi impor pangan.

Kedua capres dengan lugas mengungkapkan gagasan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun, ada satu hal yang dilupakan kedua capres yakni bagaimana menyejahterakan petani.

Pendekatan produksi yang diterapkan Indonesia selama ini hanya berpihak pada konsumen, sedangkan nasib petani seperti diabaikan. Nilai Tukar Petani subsektor tanaman pangan menunjukkan usaha tani tanaman pangan tidak prospektif, yang membuat petani hidup di bawah standar kelayakan. Kebijakan makro pada aspek produksi juga tidak menunjukkan dampak yang signifikan pada kesejahteraan petani.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Program subsidi pupuk memang mampu meningkatkan produksi pangan, namun petani ternyata tidak mampu untuk menentukan harga di pasar. Kondisi ini menyebabkan petani memperoleh bagian harga yang terkecil dari proses pemasaran.

Dengan begitu, pendekatan produksi yang selama ini diterapkan perlu ditambah lagi dengan pendekatan harga. Pendekatan ini nantinya akan memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi sehingga Indonesia mampu mencapai kecukupan pangan. Namun, pendekatan harga harus didesain ulang agar tidak seperti saat ini yakni melalui konsep Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah.

Konsep HPP belum mampu membuat petani pangan sejahtera karena Bulog tidak mampu menyerap seluruh gabah petani. Akibatnya petani harus menjual produk ke pasar dengan harga rendah.

Pendekatan harga yang akan diterapkan pada masa depan sebaiknya berfokus pada kemandirian petani sehingga tidak memberatkan keuangan negara. Untuk mewujudkannya, perlu dilakukan pemberdayaan lembaga petani dan penerapan informasi pemasaran produk pertanian yang andal.

Konsep pemberdayaan petani selama ini fokus pada aspek produksi yang akhirnya mengkerdilkan fungsi kelembagaan pertanian. Akibatnya, fungsi kelompok tani saat ini hanya sebagai fasilitator distribusi pupuk bersubsidi. Padahal kelompok tani sangat potensial untuk menjadi lembaga pengolahan dan pemasaran hasil ataupun bermitra dengan lembaga sejenis.

Kelompok tani dapat bertransformasi menjadi koperasi atau pasar lelang. Konsep ini sudah diterapkan petani cabai di lahan pasir pantai Kulon Progo, Yogyakarta. Pasar lelang yang dibentuk kelompok tani di wilayah tersebut mampu berperan dalam proses pembentukan harga yang menguntungkan petani dan meningkatkan efisiensi biaya logistik karena mengurangi panjang rantai pemasaran.

Contoh lain adalah petani di Jepang membentuk koperasi (nokyo) yang mampu meningkatkan status sosial, ekonomi, dan politik masyarakat tani. Untuk mencapai konsep ini, maka semua stakeholders perlu memfokuskan diri pada modernisasi kelembagaan pertanian. Lembaga ini didesain dengan pendampingan berorientasi pada ekonomi modern.

Kegiatan pendampingan harus diperluas pada pengolahan produk, administrasi usaha, kewirausahaan kelompok, perizinan dan kemitraan usaha serta negosiasi pasar. Jenis kegiatan seperti inilah yang membuat petani mampu menghadapi pelaku pasar yang lain sehingga memperoleh harga yang layak.

Langkah kedua mengenai sistem informasi pemasaran pertanian yang andal seharusnya dapat segera direalisasikan dengan melihat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang cepat. Sistem informasi pasar yang berkembang di dunia pertanian saat ini bersifat kuno, yakni hanya mendengar keterangan dari petani sekitar. Sistem informasi konvensional kenyataannya tidak dapat diandalkan petani karena ketidakakuratan informasi maupun keterlambatan petani menerima informasi.

Petani membutuhkan informasi pasar mengenai kebutuhan konsumen dan harga jual produk. Berbagai aplikasi e-commerce dapat direplikasi untuk pemasaran produk pertanian. Namun, konsep ini juga harus diikuti dengan peningkatan keterampilan petani dalam menggunakan alat dan media informasi dan komunikasi.

Usia sebagian besar petani yang sudah lanjut dan tingkat pendidikan yang rendah menjadi kendala utama bagi petani untuk mengakses teknologi modern. Untuk itu, peserta program tersebut sewajarnya diutamakan pada pemuda tani di pedesaan yang memiliki sifat adaptif terhadap perkembangan teknologi. Para pemuda ini kemudian diwajibkan untuk mensosialisasikan pengetahuan tersebut kepada petani lain sehingga proses alih teknologi berlangsung secara cepat dan tepat.

Selain dari sisi produsen, harga yang layak bagi petani dapat tercipta dengan dukungan konsumen. Pendidikan konsumen untuk mengutamakan produk lokal perlu terus ditingkatkan. Indonesia dapat melihat Jepang yang masyarakatnya lebih memilih beras produksi sendiri walaupun harganya lebih mahal daripada beras impor dari Thailand.

Tentu saja proses tersebut tidak harus menunggu rakyat Indonesia semakmur Jepang, namun dapat dimulai dari pemanfaatan produk pertanian untuk kebutuhan sehari-hari. Semoga tulisan ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk mengutamakan harga yang layak bagi produk pertanian sehingga membuat petani sejahtera.

Agus Dwi Nugroho, SP, M.Sc peneliti di Pusat Kajian Kedaulatan Pertanian (PAKTA) Fakultas Pertanian UGM

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads