Dalam beberapa tahun terakhir, kaum muda atau acap disebut kaum milenial sering menjadi komoditas tersendiri dalam dunia politik Indonesia. Kelompok ini digadang-gadang menjadi potensi pemilih yang besar setiap pesta demokrasi hendak dihelat. Landasan analisis terhadap kaum milenial biasanya didasarkan pada kelompok umur tertentu (17-35 tahun) dan banyak dikaji oleh pengamat politik karena memiliki karakteristik yang unik sebagai objek maupun subjek politik. Tentu saja kajian para pengamat amat berguna bagi para aktor politik serta partai untuk menentukan strategi yang tepat agar dapat mendulang suara dari kelompok ini.
Salah satu aktor dan partai yang mengambil "brand" anak muda atau milenial adalah Tsamara Amany dan partainya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Keduanya memang relatif muda dalam kancah perpolitikan Indonesia --Tsamara baru menginjak usia 23 tahun dan PSI sendiri baru berdiri sejak 2014. Selain modal usia, berbagai strategi dan kampanye politik sering mereka tunjukkan bagi kalangan muda. Namun, apakah Tsamara dan PSI benar-benar mewadahi dan mampu merepresentasikan politik kaum muda dan milenial? Dapatkah keduanya menciptakan sedikit perubahan bagi wajah perpolitikan Indonesia?
Pertanyaan tersebut rasanya juga bukan sesuatu yang baru. Ariel Heryanto misalnya sudah mempertanyakan bahkan menjawab dengan nada yang skeptis lewat tulisannya yang membahas tentang Tsamara serta PSI. Atau, tulisan Abdul Mughis Mudhofir di laman Indoprogress yang lebih pesimistis pada PSI sebagai partai anak muda yang mampu menciptakan perubahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, soal basis sosial milenial --kelas menengah-- yang cair serta ketiadaan upaya membangun basis sosial yang benar-benar serius. Hal ini akan berujung pada sulitnya pengorganisasian kelompok milenial sebagai kekuatan yang dapat memegang kendali lembaga politik seperti partai atau bahkan pemerintahan. Kedua, bahwa PSI juga kemungkinan akan kalah secara pengalaman untuk bersaing merebut suara dari kaum muda dan milenial dengan partai-partai lama yang tidak akan tinggal diam.
Lalu, apakah ada hal lain yang membuat PSI tampaknya tidak dapat membuat banyak perubahan? Abdul Mughis meragukan perubahan dari PSI berdasarkan kenyataan bahwa di-"balik layar", seperti partai-partai lain pada umumnya, PSI disokong oleh konglomerat lama. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal tidak banyak perubahan dari munculnya PSI dalam peta perpolitikan di Indonesia yang lebih dikontrol oleh oligarki.
Bagaimana dengan Tsamara Amany yang sering muncul sebagai duta atau tokoh politik kaum muda dari PSI? Tsamara adalah sosok yang muncul sebagai konsekuensi dari politik Indonesia yang menjadikan seorang tokoh atau sosok individu sebagai cara mendulang perhatian dan suara publik. Tingkat kepercayaan yang lemah serta mesin yang tidak berjalan secara ideal dari partai politik di Indonesia membuat seorang sosok dianggap lebih mampu dan efektif untuk merangkul simpati dan kepercayaan publik.
Pencitraan dan kosmetik dari orang-orang di belakang tokoh politik seperti jasa konsultan maupun relawan adalah senjata terbesar di balik layar masifnya politik ketokohan hari ini. Tentu saja tidak semua tokoh politik yang eksis hari ini lahir dari proses pencitraan dan riasan para konsultan. Beberapa ada yang menjadi tokoh politik berdasarkan prestasi pribadinya pada jabatan maupun pengalaman lain yang sebelumnya telah digenggam. Jokowi, Ridwan Kamil, Basuki Tjahja Purnama (Ahok), TGB Muhammad Zainul Majdi adalah beberapa tokoh yang berhasil dalam kancah perpolitikan nasional karena prestasi dan pengalamannya.
Tsamara sendiri pertama kali menjadi buah bibir dalam dunia politik sejak polemik dan perdebatannya dengan Fadli Zon di media sosial menjadi viral. Berbekal teknik komunikasi politik dan pemanfaatan media sosial, nama Tsamara sukses menjadi tokoh politik dengan label "milenial". Belakangan Tsamara juga aktif berkampanye secara door to door, mengadakan perkumpulan dengan para relawan "Muda itu Kita", atau membuat bentuk kegiatan lain yang menarik kaum milenial untuk terlibat. Namun, apakah itu dapat disebut sebagai prestasi atau kerja tim perias di belakang Tsamara?
Apapun itu, Tsamara sudah melakukan yang terbaik dan kini mulai mendulang hasil dari strateginya. Dalam hasil survei Charta Politika yang dilansir detikcom, Tsamara menempati urutan kelima dari daftar caleg yang akan maju dalam Pemilu 2019. Daerah pemilihannya (Dapil), DKI Jakarta II yang terbagi menjadi wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Luar Negeri memiliki kuota 7 kursi perwakilan DPR. Artinya, berdasarkan survei tersebut, peluang Tsamara cukup besar untuk terpilih sebagai wakil rakyat di Senayan.
Sayangnya, peluang tersebut akan sia-sia jika ternyata partai Tsamara, PSI, gagal melewati ambang batas parlemen (parliamentary threshold) minimal sebanyak 4% suara nasional. Selama ini, survei nasional untuk PSI hanya berkisar 1-1,5%. Ini sedikit menjelaskan argumentasi mengenai ketokohan Tsamara yang lebih unggul ketimbang PSI sebagai partai politik.
Masalah yang mungkin akan muncul dari politik ketokohan Tsamara adalah tren dari para tokoh politik yang besar karena prestasinya, yaitu pragmatisme dalam melihat partai maupun organisasi massa. Beberapa tokoh politik lain yang saya sebut di atas selain Tsamara memiliki track record berpaling dari partai yang sebelumnya digunakan sebagai kendaraan mereka menuju kekuasaan.
Sindrom tokoh lebih besar daripada partai adalah kasus yang sering terjadi dan berakar pada lemahnya kaderisasi serta minimnya proses ideologisasi dalam partai politik di Indonesia. Tantangan inilah yang dihadapi oleh PSI dan Tsamara untuk sedikitnya keluar dari mainstream tersebut, dan agar tidak terjebak pada politik ketokohan. Meskipun saya sedikitnya percaya bahwa hari ini Tsamara sudah telanjur lebih dikenal ketimbang partainya.
Luqman Abdul Hakim Ketua Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Kota Jakarta











































