MUI, Pilpres, dan Politik Munajat

Kolom

MUI, Pilpres, dan Politik Munajat

Muhammad As'ad - detikNews
Senin, 25 Feb 2019 16:00 WIB
Malam Munajat 212 di Monas (Foto: Agung Pambudhy)
Jakarta -
Pada Kamis (21/2) lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) wilayah DKI Jakarta mengadakan kegiatan Munajat 212 yang diikuti tidak hanya tokoh agama, tetapi juga tokoh politik. Menariknya, dalam kegiatan ini tokoh politik yang hadir sebagian besar adalah tokoh politik dari satu kubu calon presiden (capres). Sedangkan, di kubu capres yang lain tidak ada yang hadir. Ditambah lagi teriakan pengisi acara untuk mendukung satu capres semakin memunculkan kecurigaan bahwa acara ini bukanlah kegiatan agama, melainkan politik.

Tidak hanya itu, Munajat 212 menjadi percakapan viral di antara para netizen terutama ketika salah satu pengisi acara dalam kegiatan tersebut, Neno Warisman, membacakan puisi yang cukup kontroversial. Salah satu isinya seakan-akan mendesak Yang Maha Kuasa untuk memenangkan presiden pilihannya dan jika tidak, maka tidak akan ada lagi orang yang akan menyembah-Nya.

Banyaknya tokoh politik pendukung salah satu capres dan juga puisi yang seakan-akan hanya mendoakan satu capres semakin melegitimasi tuduhan netizen bahwa Munajat 212 bukanlah kegiatan agama, melainkan kegiatan politik. MUI Pusat sebagaimana diberitakan detikcom (23/2) memperingatkan MUI DKI untuk tidak berpolitik, dan menilai Munajat 212 sudah diinfiltrasi oleh kepentingan politik. MUI DKI menolak tuduhan ini, dan mengatakan bahwa acara tersebut tidaklah berkaitan dengan politik tertentu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pergeseran

Hajatan pilpres kali ini sepertinya menunjukkan pergeseran politik di tubuh MUI. Perbedaan posisi antara MUI DKI dan MUI Pusat dalam kegiatan Munajat 212 sepertinya juga akan terjadi dalam dukungan dua institusi ini dalam pilpres April nanti. Apalagi Ketua MUI non aktif, KH. Ma'ruf Amin menjadi calon wakil presiden salah satu kontestan. Sedangkan, Jakarta yang gubernurnya notabene adalah pendukung capres lain, sangat mungkin MUI Jakarta akan berbuat yang sama meski tidak secara eksplisit melakukannya.

Untuk menganalisis perubahan tersebut kita harus sedikit melihat kembali ke sejarah dan bagaimana peran MUI di setiap rezim politik di negara kita.

MUI diresmikan oleh Soeharto pada 1975 dengan salah satu tujuannya sebagai representasi umat Islam dalam program antaragama yang digalakkan oleh Orde Baru (Orba). Ketua pertama MUI, Buya Hamka, mempunyai hubungan kurang harmonis secara politik dengan rezim Orba. Salah satunya ketika MUI mengeluarkan fatwa pada Maret 1981 yang melarang umat Islam berpartisipasi pada acara Natal. Melihat fatwa ini, pemerintah Orba marah dan meminta fatwa tersebut dicabut.

Hamka menolak dan memilih untuk untuk mengundurkan diri pada Mei 1981. Penolakan Hamka dan pengunduran dirinya sebagai ketua menunjukkan bahwa MUI pada masa awal berdirinya netral bahkan cenderung berseberangan dengan pemerintah. Kondisi ini berbanding terbalik setelah masa kepengurusan Hamka, di mana MUI bisa dibilang menjadi cap stempel pemerintah. Terutama jika kita melihat keputusan MUI pada setiap pemilu.

Beberapa dokumen yang saya temukan dalam Majalah Mimbar Ulama yang diterbitkan MUI, dari Pemilu 1982, 1987, 1992 hingga 1997, semuanya memberikan dukungan kepada Soeharto untuk melanjutkan pemerintahannya. Hal ini membuktikan bahwa institusi MUI pada rentang 1982-1997 menjadi corong kebijakan pemerintah. Fakta ini juga diungkapkan oleh MB Hooker (1997) dan Atho Mudzhar (1993) dalam dua tulisan mereka masing-masing yang mengatakan bahwa MUI pada zaman Orde Baru adalah untuk mendukung dan menjustifikasi kebijakan-kebijakan pemerintah.

Posisi MUI mulai berubah setelah masa Reformasi. Jika dibandingkan pemilu zaman Orde Baru di mana MUI lebih mendukung pemerintahan Soeharto, pada pemilu pertama era Reformasi, yakni tahun 1999, MUI memperlihatkan keberpihakannya kepada partai Islam dengan mengimbau kepada umat Islam untuk mencoblos partai politik yang berjuang kepada untuk kepentingan umat (Nur Ichwan, 2005). Pernyataan ini tentu saja secara eksplisit mengindikasikan keberpihakan MUI kepada partai Islam dan berharap umat Islam untuk memilihnya ketika datang di bilik suara.

Keberpihakan MUI kepada partai Islam sepertinya disebabkan pada awal dekade 1990-an hingga masa Reformasi, ada pergeseran politik di tubuh pemerintahan terutama Presiden Soeharto mendekat kepada kelompok Islam. Beberapa pengamat politik mengatakan bahwa masa itu disebut sebagai periode di mana Soeharto beralih ke kelompok Islam (the Islamic turn). Ketika masa Reformasi, euforia ini tetap berlanjut terutama munculnya partai-partai Islam seperti PAN, PBB, PKB, PK, dan PNU.

Bagaimana dengan Pemilu 2004, 2009, dan 2014? Pada masa pemilu ini, MUI relatif lebih netral dibandingkan dengan pemilu masa Orde Baru dan pemilu pertama pada era Reformasi (1999). Tidak ada lagi memberikan dukungan secara langsung kepada presiden incumbent seperti pada pemilu era 1980-an dan 1990-an ataupun dukungan kepada partai Islam seperti pada Pemilu 1999. Yang terjadi pada Pemilu 2004, 2009, dan 2014, MUI memberikan imbauan netral agar para pemilih datang ke bilik suara dan memberikan hak pilihnya sesuai dengan pilihan hatinya masing-masing.

Pada 2009 MUI bahkan mengeluarkan fatwa haramnya golput dengan tujuan agar partisipasi masyarakat pada pemilu terus meningkat. Hal ini diulangi juga pada 2014 di mana MUI mengeluarkan imbauan yang sama untuk tidak golput. KPU mengklaim bahwa pada Pemilu 2014 partisipasi pemilih meningkat.

Pada Pemilu 2019, sepertinya akan terjadi pergesaran politik dalam tubuh MUI. Jika selama ini MUI di pusat dan daerah selalu satu suara, baik dalam keputusan politik maupun imbauan keagamaan, maka pemilu tahun ini akan sangat berbeda. Sangat mungkin akan ada perbedaan politik antara satu MUI di level kabupaten/kota atau propinsi dengan MUI Pusat. Hal ini berkaitan dengan preferensi politik masing masing daerah.

Wilayah yang terkenal menjadi basis pemilih salah satu pasangan calon, atau pemimpin daerahnya adalah pendukung salah satu calon, maka ada kemungkinan MUI di daerah tersebut akan mendukung pasangan calon tersebut. DKI Jakarta adalah contoh paling mudah. Sebagai daerah yang gubernurnya didukung oleh partai dan capres tertentu, maka dalam acara Munajat 212 yang diadakan MUI, sangat kentara bahwa kegiatan tersebut sebagai ajang unjuk gigi pendukung calah satu capres, yang notabene juga dukung oleh Gubernur DKI.

Sedangkan, MUI Pusat di mana ketua non aktifnya adalah pasangan lain, melalui wakil ketua umumnya, Zainul Tauhid Sa'adi mengkritik keputusan MUI DKI Jakarta yang menggelar acara Munajat 212 yang diklaim oleh MUI Pusat menjadi acara politik. Hal ini menunjukkan perbedaan politik yang bisa berujung pada perpecahan antara kepengurusan MUI di masing masing daerah/wilayah dengan MUI Pusat.

Contoh lain bisa kita lihat di Sumatera Barat. Pada Juli 2018, MUI Sumbar menolak ide tentang Islam Nusantara. Konsep ini ditelurkan oleh Nahdlatul Ulama, organisasi yang dipimpin oleh Cawapres KH Ma'ruf Amin. MUI Pusat yang juga dipimpin oleh Ma'ruf Amin dalam posisi mendukung Islam Nusantara. Jika kita melihat hasil Pilpres 2014 di Sumbar, di mana Prabowo menang telak di provinsi ini, bisa jadi MUI Sumbar dalam posisi politik untuk mendukung pasangan calon ini.

Hal ini juga bisa dilihat dari sikap Jokowi yang mendukung secara terang benderang terhadap konsep Islam Nusantara. Jadi sikap MUI Sumbar yang menolak Islam Nusantara berbanding lurus dengan sikap politiknya terhadap salah satu pasangan Capres-Cawapres 2019.

Sebagai organisasi keagamaan yang menjadi seluruh payung ormas Islam di Indonesia, harusnya MUI netral dan berdiri di atas semua golongan. MUI di pusat maupun di daerah tidak boleh menjadi alat politik salah satu pasangan capres-cawapres sehingga mengakibatkan kebingungan dan terpecahnya umat Islam di Indonesia.

Untuk menghindari hal tersebut, MUI Pusat dan MUI di daerah harus satu suara, yaitu netral dalam politik. Hal ini bisa dilakukan dengan membuat Rapat Kerja Nasional MUI dan mendeklarasikan diri bahwa baik MUI Pusat dan MUI daerah bersikap netral dan tidak dalam posisi untuk mendukung salah satu capres. Jika ini bisa dilakukan, MUI akan tetap dihormati dan selalu menjadi panutan umat Islam di Indonesia.

Muhammad As'ad dosen Universitas Hasyim Asy'ari, Pondok Pesantren Tebuireng Jombang

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads