Pada abad ke-21, kita masih belum selesai dengan kemiskinan di perkampungan kota (slum). Di Jakarta, kehidupan mereka terpojok di dalam sungai Ciliwung yang sebenarnya terlarang dihuni manusia dan hanya boleh diperuntukkan bagi rumput atau hewan sebagai taman. Di kampung Bantaran Kali di sungai Ciliwung, mereka menyiasati hidup di ibu kota yang menjadi pusat peredaran uang dan pengambilan kebijakan politik.
Awalnya, antropolog Roanne van Voorst berusaha agar bisa tinggal di perkampungan warga di sungai Ciliwung yang sejak zaman pemerintah Hindia Belanda selalu dilanda banjir. Roanne hendak melakukan kajian doktoral antropologi lingkungan: bagaimana sikap tanggap (strategi) warga bantaran sungai dalam menyiasati banjir. Pada satu hari, setelah berminggu-minggu gagal secara administratif dan sosial, Roanne diajak Tikus (orang Bantaran Kali Ciliwung), "Mau ikut?"
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, yang didapati Roanne bukan tempat terbaik apalagi terindah di Jakarta. Justru dia bertemu orang-orang yang tinggal di perkampungan kumuh (slum) pinggir sungai yang paling miskin di Jakarta. Di kampung Bantaran Kali ini, ada Tikus: pengamen, "penjaga keamanan" berbayaran cepek, dan akhirnya jadi pengusaha fitness kelas kampung sebelum usahanya dibuldoser pemerintah.
Ada Pinter (perempuan) yang jadi "bankir". Di buku kasnya, dia menulis angka uang setoran yang dipilih sendiri si nasabah sekaligus tujuan tabungannya seperti: buku sekolah, portofon (walkie talkie), gameboy, ubin sebanyak satu meter persegi, atau televisi rusak. Ada Neneng yang menjadi pelacur terselubung. Juga Enin: sang peramu-penjual jamu sekaligus jadi "dokter" bagi warga kampung yang berkali-kali dikecewakan rumah sakit.
Siasat Hidup
Dari sekian tokoh utama dalam buku kajian antropologi (pembangunan) ini --hasil sampingan dari riset doktoral Roanne-- kita tahu bahwa mereka melakoni siasat hidup yang sedikit banyak terpinggirkan dalam sistem besar ekonomi kapitalistik kota Jakarta. Mereka tidak punya akses memadai terhadap modal perbankan, sistem tenaga kerja formal sesuai pendidikan-pengajaran modern, termasuk sering kecewa terhadap sistem pelayanan kesehatan.
Secara spasial-demografis, Jakarta adalah kota terpadat di Pulau Jawa yang hanya 7 persen dari total luas daratan Indonesia, tapi berpenduduk 60-70 persen (sekitar 145 juta) dari seluruh penduduk Indonesia. Pada 2014, Jakarta punya penduduk resmi 10.075,3 jiwa, dengan rasio 15.212 jiwa manusia untuk satu km2, tapi justru dihuni sekitar 28 juta orang lebih yang termasuk penduduk tak resmi bahkan ilegal seperti orang-orang di Bantaran Kali.
Dalam pertarungan ruang hidup di Jakarta, orang-orang Bantaran Kali Ciliwung tersingkir dalam adu kualifikasi keterampilan tenaga kerja, terpinggirkan dalam sistem keuangan kapitalistik, dan terpojok di pinggir sungai yang terlarang ditempati manusia sejak 2005 sampai 2030.
"Orang-orang [Bantaran Kali] itu tidak hidup di sepanjang sungai, tapi hidup di dalam sungai. Dan tidak menyisakan ruang sama sekali buat air sungai. Tidak heran kalau mereka selalu kebanjiran, itu salah mereka sendiri," kata seorang pejabat pemerintah DKI Jakarta. Sungai Ciliwung, yang mengaliri kampung Bantaran Kali, dulu selebar 50 meter sekarang jadi 5 meter.
Bagi orang-orang Bantaran Kali, banjir bukanlah masalah terbesar yang menakutkan mereka. Mereka orang "yang pinter", pakar menghadapi banjir, termasuk dengan strategi absurd: portofon. Demi alat pemantau banjir itu, Yusuf harus merelakan gaji kecil tiga bulan, biaya makan keluarga, uang pendidikan anaknya, tapi akhirnya dipecat gara-gara sibuk dengan portofon tiap hari dan malam. Tapi, di Bantaran Kali yang tanpa sistem peringatan dini resmi dari pemerintah Jakarta, warga Bantaran Kali terselamatkan dalam banjir terbesar yang pernah melanda Jakarta pada 2007.
Namun, ketakutan terbesar mereka bukanlah banjir. Pada 2001, para peneliti mencatat ada 437 kebakaran di Jakarta. Dan 80 persennya terjadi di perkampungan kumuh. Di perkampungan sangat padat dengan bangunan yang mudah terbakar, sambungan listrik yang buruk, dan tanpa jalan memadai untuk mobil pemadam kebakaran, kebakaran mampu menghempaskan mereka pada titik nol terendah ekonomi: menjadi manusia termiskin di Jakarta.
Roanne menyaksikan sendiri kehancuran absurd mengerikan itu: pada satu malam, hanya dalam beberapa jam, 15 rumah hangus. Yang mengejutkan pikiran logis Roanne: ada 489 orang kehilangan tempat tinggal, bukan 90 orang! Satu rumah bisa berpenghuni hingga 50 orang laki-laki muda. Mereka menyewa ruang tidur, hanya sekian jam semalam, sisanya untuk bekerja: jadi penjual rokok, penyemir sepatu, pemulung, pengamen, dan seterusnya. Selain itu, bagi sebagian yang lain terutama perempuan, rumah menjadi tempat kerja utama.
Yang heroik namun ironis, mereka tidak akan pindah ke tempat yang lebih aman dari api dan air. Mereka tidak akan pindah ke tempat yang lebih aman atau lebih baik. Pemerintah DKI Jakarta memang membuat kebijakan (perumahan) rumah susun. Namun, bagi orang-orang Bantaran Kali tetap saja kebijakan itu tidak pas sesuai dengan pemasukan-pengeluaran ekonomi mereka. Masih sangat terlalu tinggi uang sewanya, apalagi jika (sering!) sudah dikuasai preman.
Menggugat Ketidakadilan
Jakarta itu pusat perputaran sekitar separuh uang yang ada di Indonesia. Biro Pusat Statistik mencatat: pada 2017 terdapat 306 hotel, sedikitnya 1.955 pabrik besar dan sedang, 125 hipermarket, dan berbagai taman hiburan dan pusat perbelanjaan. Indonesia punya 22 manusia kaya raya (dua puluh dua!) dengan jumlah kekayaan mencapai miliaran dolar Amerika. Sementara, ada 28 juta orang Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari 2 dolar per hari, seperti orang-orang di Bantaran Kali.
Roanne berusaha tidak terjebak stereotip romantik atau patriotik dalam teori marjinalitas kaum miskin seperti yang pernah dipopulerkan antropolog Oscar Lewis dalam esai The Culture of Poverty (1966) atau teori ketergantungan yang menekankan struktur makro ekonomi-politik. Di Bantaran Kali, ada berbagai usaha sukses dengan cepat, tapi juga banyak yang tanpa perencanaan yang matang dan akhirnya bangkrut atau dibangkrutkan dengan buldoser. Kata Roanne dengan hati-hati, "Jika ada yang hendak ditampakkan jelas dalam buku ini: "kaum miskin" itu tidak ada. Yang ada hanyalah individu-individu yang miskin."
Terlepas dari kesimpulan yang sangat hati-hati, kita tahu dan sadar bahwa kisah Roanne dalam buku ini menggugat ketidakadilan di Indonesia dengan keras dan tajam. Buku ini adalah drama absurd abad ke-21 dalam lakon ketimpangan ekonomi di Indonesia.
M. Fauzi Sukri penulis buku Pembaca Serakah (2018)
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini