Ada kata populer yang kini berganti dalam masyarakat Muslim Indonesia terkait dengan transformasi perubahan seseorang untuk menjadi lebih baik dan religius, secara individu dan sosial pascarezim Orde Baru. Sebelumnya kata tobat adalah penanda perubahan dan kesadaran seseorang untuk menyesali dosa yang telah dilakukan dan kemudian berniat untuk memperbaikinya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (2019), tobat juga diartikan sebagai "kembali kepada agama (jalan, hal) yang benar". Namun, dalam praktik keseharian dan publik, ungkapan tobat kini berganti dengan kata hijrah.
Saya tidak tahu persis, siapa orang yang pertama dalam mempopulerkan kata ini dengan maksud khusus sehingga menggantikan kata tobat yang terlebih dahulu menjadi aktivitas kata keseharian. Namun, konteks sosial tampaknya bisa menjawab hal tersebut. Dalam konteks sejarah, hijrah sebenarnya menjelaskan mengenai proses perpindahan Nabi Muhammad dan para pengikutnya dari Madinah ke Mekkah untuk menghindari kekerasan dan persekusi yang yang dilakukan oleh elite dan penguasa Arab di Mekkah pada tahun 662 M.
Peristiwa tersebut kemudian diperluas maknanya bagi kelompok Islamis dan gerakannya, sekaligus menjadi wacana dalam politik Islam, yaitu meninggalkan tindakan yang tidak Islami kemudian menjadi lebih Islami (Nisa, 2018). Lebih khusus, oleh para pemikir fundamentalis Islam dan para pengikutnya, yaitu Sayyid Abu al-Aʿla Mawdudi (1903-1979) dan the Jamaʿat-i Islami di Pakistan dan Sayyid Quṭub (1906-1966) melalui organisasi Ikhwanul Muslim di Mesir, menjadikan kata itu lebih ideologis (Yusuf, 2009).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, Islamisasi ini bukanlah sesuatu yang baru, melainkan keberulangan sejarah. Meskipun tidak menggunakan kata hijrah, kebangkitan kelas menengah baru Muslim sudah terjadi sejak pertengahan dekade 1970-an, seiring dengan adanya akses pendidikan modern bagi apra santri awal tahun 1950-an. Pada tahun 1970-an, mereka yang mengenyam pendidikan modern menuai hasilnya, di mana mereka memasuki dunia kerja dan bisnis serta mengalami kesuksesan.
Lebih jauh, salah satu gejala kebangkitan semangat keberagamaan ini bisa dilihat dari kehadiran Masjid Salman, ITB di mana banyak mahasiswa dan mahasiswi yang awalnya tidak tertarik kepada agama Islam kemudian serius untuk mempelajarinya. Hal ini kemudian diperkuat pada era 1990-an seiring dengan mendekatnya rezim Soeharto kepada faksi Islam, setelah pincangnya dukungan faksi militer akibat ketidakadilan pembagian sumber-sumber ekonomi, yang lebih banyak berpihak kepada anak-anaknya.
Di sini, proses Islamisasi di segala lini hampir terjadi, baik itu dalam dunia perbukuan, busana Muslim, bahkan acara-acara pemerintahan. Adanya tambahan nama Muhammad di depan kata Soeharto, dan anaknya Tutut menggunakan jilbab, serta pendirian ICMI adalah indikasi lain kuatnya rezim tersebut sedang berpihak kepada Islam (Hefner, 2000).
Namun, titik pembeda proses Islamisasi era rezim Orde Baru dan pasca-kejatuhannya adalah pada aspek ekspresi publiknya. Sebelumnya, orang lebih menjadi agamis karena ingin berniat belajar agama dan mencari ilmu. Sedangkan, saat ini tidak hanya berhenti kepada proses pencarian ilmu mengenai Islam dan menjadi lebih taat, melainkan juga adanya pengentalan identitas yang seakan menjadi bagian dari ideologi (Bagir, 2019).
Sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, ideologi transnasional Islam yang dibawa oleh organisasi Islam yang tumbuh pascarezim Orde Baru turut memperkuat hal tersebut, beririsan dengan globalisasi dengan kehadiran internet melalui media sosial dan geopolitik internasional. Akibatnya, kata hijrah di sini bukan sekadar penanda transformasi kesalehan individu, melainkan juga kelompok. Perkawinan antara aktor politik dan kelompok konservatif Islam dalam politik elektoral turut membentuk polarisasi ini, sebagaimana terlihat dalam demonstrasi berseri seperti 212 dan 411 untuk menuntut memenjarakan Ahok dalam momentum Pilkada DKI Jakarta.
Kata hijrah yang berdimensi pengentalan identitas dan ideologi ini memang bisa memperkuat keimanan seseorang. Namun, di sisi lain, jika ini dijadikan semacam penanda bentuk kesalehan baru dan mengancam orang yang tidak dianggap seperti mereka, hal itu justru bisa menjadi bentuk penolakan dan resistensi ketika ada intervensi sosial dan kolektif. Titik arus balik terhadap hijrah ini mulai terlihat dengan adanya tiga selebriti yang meninggalkan semangat hijrahnya dan kembali lagi hidup seperti sebelumnya.
Alasan saya menyebut selebriti karena mereka menjadi penanda utama di ruang publik sekaligus menjadi panutan banyak orang mengingat identitas diri mereka sebagai publik figur. Pertama, Rina Nose. Sudah hampir setahun ia mengenakan hijab. Tidak hanya berpakaian tertutup, ia juga menghapus semua foto-foto dalam akun Instagram yang tidak mengenakan hijab. Namun, dalam acara D Academy Asia 3, 9 November 2017, penampilannya membikin kaget publik Indonesia yang sudah tidak lagi mengenakan hijab. Kritik, amarah, dan nyinyir ditujukan kepadanya selama lebih dari satu bulan di media sosial sekaligus juga acara gosip televisi di Indonesia.
Kedua, kembalinya Caesar 'YKS' untuk berjoget. Tiga tahun sebelumnya, ia meninggalkan profesi artis berjoged yang melambungkan namanya di salah satu acara televisi swasta. Hal itu dilakukan setelah ia menikah dan kemudian melakukan hijrah. Kembalinya ke dunia hiburan mendapatkan kritik keras, meskipun ia terus melanjutkan profesi itu hingga sekarang.
Ketiga, Salmafina, mikro-selebriti. Dengan niat menjalankan Islam dan semangat berhijrah secara penuh, ia kemudian menikah muda dengan Taqi Malik, Mahasiswa S1 Universitas Al-Azhar, Mesir dan seorang hafiz. Pernikahan mereka berdua tidak hanya menjadi contoh, melainkan pujian bagaimana anak muda menghindari zina. Namun, setelah terjadi perselisihan selama lebih dari tiga bulan, pernikahan mereka berujung ceria. Pada 17 Februari 2019, ia kemudian melepaskan hijabnya. Sama seperti artis sebelumnya, kritik dan cibiran dilekatkan olehnya.
Memang, ada alasan personal mengapa mereka kemudian meninggalkan hijrah yang sebelumnya mereka tekuni. Namun, ada satu hal yang bisa menjelaskan mengapa terjadi proses arus balik yang begitu cepat; mendalami agama Islam dengan melakukan transformasi besar-besaran dalam kehidupannya. Tentu saja dalam proses ini ada ayat-ayat Alquran dan hadis yang diberikan dengan interpretasi tunggal, memaksa mereka dengan tiba-tiba meninggalkan kehidupan sebelumnya.
Sementara itu, tahapan mental sekaligus tangguhan ekonomi tempat mereka bersandar tiba-tiba menjadi rapuh dan dipikirkan, dengan semata-mata hanya menyandarkan diri kepada Sang Khaliq. Jika ini kemudian tidak bisa dikuatkan saat berhijrah, mereka berbalik arah menjadi seperti sebelumnya. Selain itu, adanya intervensi publik atas cara berislam yang bener karena mereka telah berhijrah menjadi ruang pengawasan tersendiri seiring dengan kemunculan media sosial.
Melihat ini, siapapun akan mengalami kemuakan dengan adanya pengawasan semacam ini, mengakibatkan orang-orang yang berhijrah kemudian memuntahkan apa yang sebelumnya mereka pelajari dan melekat di dalam dirinya. Pada titik ini, kata hijrah dalam pengentalan identitas sekaligus ideologi yang menjadi penanda kesalehan seseorang di ruang publik perlu direfleksikan ulang untuk membawa kebaikan kepada setiap umat Islam, bukan hanya individu ataupun kelompok.
(mmu/mmu)