Debat calon presiden dan wakil presiden putaran kedua akan berlangsung nanti malam. Debat kali ini bertemakan soal energi dan pangan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta infrastruktur.
Jika melihat debat yang pertama, beberapa pihak khususnya yang berasal dari kalangan aktivis lingkungan pesimistis bahwa akan ada substansi debat yang memberi angin segar bagi upaya penyelesaian berbagai permasalahan lingkungan di Indonesia. Jika hanya berkutat pada persoalan infrastruktur, perdebatan akan panas oleh kedua kubu yang sedari awal memang antusias menyampaikan segala misi investasi di belakangnya.
Namun, menjelang debat putaran kedua ini, belum ada satu pun kubu yang menunjukkan dialog yang berpihak pada persoalan lingkungan. Sudah dapat dipastikan akan banyak sekali persoalan krusial yang luput dari pembahasan. Oleh sebab itu saya ingin merangkum beberapa persoalan krusial yang ada, namun mungkin tidak akan pernah dibahas dalam debat capres nanti.
1. Perubahan Iklim
Banyak sekali momentum global terutama yang berkaitan dengan kebijakan politis dan ekonomi memberikan perubahan yang signifikan terhadap perubahan ekologi yang salah satunya berkontribusi besar dalam perubahan iklim. Terutama bagi Indonesia yang masuk dalam 10 besar importir energi fosil di dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan, sampai Januari tahun ini realisasi pendapatan negara dari sektor perdagangan migas sudah sampai realisasi PNBP Migas 2018 sebesar Rp 196 triliun. Jumlah tersebut 157 persen lebih tinggi dari target yang ditetapkan dalam APBN 2018 sebesar Rp 125 triliun.
Bicara perubahan iklim tidak mungkin meniadakan sektor migas. Kita tahu sendiri betapa merusaknya industri migas pada bumi. Belum lagi persoalan-persoalan lainnya. Akan jadi sebuah kejutan besar jika tiba-tiba salah satu capres menyatakan komitmennya untuk menghambat perubahan iklim.
2. Land Grabbing
Salah satu capres mengungkapkan komitmennya untuk mengganti energi fosil dengan energi biofluel non sawit yang dirasa lebih "ramah". Para pendukung langsung kegirangan sembari mengungkapkan betapa "hijau"-nya calon presiden mereka. Namun, sesungguhnya jika dilihat lebih lekat pada isu lingkungan, biofuel akan sama berbahayanya dengan sawit.
Tentu saja jika ingin membuat Indonesia menjadi eksportir energi biofuel terbesar, maka akan membutuhkan pembukaan lahan yang cukup besar. Seperti yang sudah-sudah, akan selalu terjadi gesekan sosial antara negara dan kelas bawah, land grabbing tak bisa dielakkan, akan semakin banyak rakyat yang bertarung mempertahankan tanahnya.
Hal ini berdasarkan laporan tahunan Konsorsium Pembangunan Agraria (KPA) yang mencatat selama 2018 sedikitnya ada 410 konflik agraria yang mencakup wilayah seluas 807.177,613 hektar. Sektor perkebunan menduduki peringkat pertama. Konflik agraria di sektor perkebunan pada 2018 ada 144 kasus (35 persen) atau yang tertinggi. Dari 144 konflik agraria itu, 83 kasus atau 60 persen terjadi di perkebunan kelapa sawit.
3. Kematian Anak di Lubang Tambang
Di Kalimantan Timur saja sudah terjadi 32 kematian anak di lubang tambang. Angka ini mencapai ratusan di seluruh Indonesia. Hal ini berdasarkan laporan Jaringan Advokad Tambang (Jatam) yang mengungkapkan bahwa di negara ini ada sekitar 3.300 lebih lubang tambang yang dibiarkan menganga, dan sangat dekat dengan rumah tangga. Selama pemilik tambang masih berasal dari lingkaran penguasa, tentu kematian puluhan anak ini tidak akan dilihat sebagai kekerasan tidak langsung dari kejahatan tambang.
4. Kriminalisasi dan Penyerangan Aktivis
November lalu, sepulang mendatangi ke-32 korban tewas di lubang tambang di Tenggarong, Kantor Jatam Kaltim diserang. Salah satunya adalah kamar saya yang dirusak dan diacak-acak barang-barang di dalamnya. Lalu, baru-baru ini juga telah terjadi pembakaran rumah direktur Walhi NTB yang diduga berkaitan dengan persoalan tambang yang sedang ia tangani.
Sepanjang 2018 saja berdasarkan catatan WALHI telah terjadi 163 kasus kriminalisasi pejuang lingkungan yang berasal dari 13 provinsi. Salah satunya tentu Budi Pego, yang harus berhadapan dengan tambang yang dimiliki oleh orang-orang di dalam lingkar kekuasaan kedua kubu.
5. Swasembada Pangan Lokal
Argumentasi yang selama ini muncul perihal impor beras adala, minimnya lahan dan produksi petani, serta fakta bahwa impor beras jauh lebih murah daripada swasembada beras. Sesungguhnya ada banyak produk pangan lokal yang jauh lebih murah dan subsisten telah lama terpinggirkan dan distigmakan tidak bergizi.
National Geographic mencatat, sekitar 21 persen dari total cadangan air tawar atau sekitar 1.350 miliar kubik air di dunia digunakan hanya untuk mengairi padi. Selain itu dalam menghasilkan beras seberat 1 kilogram dibutuhkan 3.400 liter air. Kira kira berapa liter cadangan air tawar yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia --baik yang dengan senang hati mengonsumsi beras, atau "dipaksa" untuk mengubah makanan pokok mereka?
Sesungguhnya lima persoalan di atas hanyalah bagian kecil dari banyaknya persoalan krusial dan mendesak yang dihadapi masyarakat dalam tataran akar rumput. Jauhnya akses terhadap politik dan kuasa menjadikan persoalan yang krusial dan berdampak langsung pada masyarakat tidak akan menjadi topik yang renyah dibahas. Kepentingan masyarakat akan selalu terpinggirkan sebagaimana mereka telah jauh termarginalkan dan dianggap sebagai data dan angka semata.
Mariyam Jameelah peneliti di Resister Indonesia, konselor di Women Crisis Center Dian Mutiara Malang