Meringkus "Gerungisme"

Kolom

Meringkus "Gerungisme"

Qusthan Firdaus - detikNews
Jumat, 15 Feb 2019 11:00 WIB
Rocky Gerung (Foto: Rachman Haryanto)
Jakarta - Pada awal Februari 2019, beberapa kolega pegiat filsafat menyebar pernyataan sikap dan seruan terhadap apa yang mereka sebut sebagai "pemiskinan dan pembusukan filsafat di ruang publik" maupun "akal sakit Rocky Gerung".

Sayangnya, keduanya muncul hampir berbarengan dengan pemeriksaan polisi terhadap Rocky Gerung. Seolah beramai-ramai melempar tangga pada pribadi yang sedang tergelincir, jika bukan mengeroyok. Padahal, dalam duel sekalipun hampir tidak ada justifikasi untuk membunuh lawan yang sedang tergelincir.

Lebih terpelajar bila para kolega pegiat filsafat mengupayakan seminar publik untuk menguji sebagian atau keseluruhan bangunan argumentasi dari Rocky Gerung. Pun hal ini dapat dilakukan melalui media massa melalui kolom opini atau televisi, jika memang mampu mengimbangi retorika dan pemikirannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebuah pemikiran, sistem atau praktik yang distingtif dapat disebut sebagai "isme". Ekspresi "no Rocky, no party" atau pengidolaan di Youtube merupakan beberapa faktor distingtif dari "Gerungisme". Di sini, sidang pembaca perlu membedakan antara persona dengan pikiran. Gerungisme merupakan penubuhan dari pikiran itu. Hal ini berbeda dari membekuk persona.

Dalam Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta pada 2010, Rocky Gerung mengemas konflik kepentingan, "Kita seperti hidup dalam dua Republik: Republic of Fear dan Republic of Hope." Sebabnya, "Ada konvoi pemuda beringas berkeliling kota menebar moral." Namun, kini ia "mengakuisisi" massa 212 dengan mengatribusikan Monas-- titik berkumpul reuni massa tersebut-- sebagai "monumen akal sehat". Ganjaran berupa 212 Award pun tidak ia tolak.

Sebelumnya, Gerungisme sempat terlibat dalam eksperimentasi membangun Partai Serikat Rakyat Independen (SRI) yang mendapuk Sri Mulyani sebagai calon pemimpin nasional. Namun, mereka gagal lolos verifikasi KPU. Partai Golkar pun kena getahnya mengingat konflik lampau antara Aburizal Bakrie versus Sri Mulyani. Tentu saja hal itu merupakan sesat pikir berupa generalisasi secara berlebihan.

Di samping itu, Gerungisme juga pernah menggetarkan pemerintahan sebelumnya. Namun, magnitude getarannya tidak sebanding dengan kritisisme Denny Indrayana yang setelahnya diganjar kursi Wakil Menteri Hukum dan HAM. Gerungisme puas dengan ganjaran menjadi "teman diskusi", jika bukan mentor, untuk AHY.

Orang boleh bertanya. Apa saja substansi dari Gerungisme? Pertama, pemaknaan konsep secara konotatif atau bahkan peyoratif. Misalnya, ungkapan "wanita itu indah sebagai fiksi, dan berbahaya sebagai fakta" ketika seorang host program TV, yang juga jurnalis senior, memintanya membuat petikan tentang wanita. Artinya, ia boleh jadi menyangsikan keindahan wanita atau dapat menikmatinya hanya dalam literatur seperti prosa khususnya novel; tapi, meyakini eksistensinya sebagai ancaman.

Itulah makna peyoratif dari wanita ala Gerungisme. Sebagai catatan, peyoratif merupakan ekspresi atau wujud ketidaksetujuan, sedangkan konotatif ialah tambahan atau implikasi dari makna sebenarnya (denotatif). Namun, kita tahu bahwa wanita secara denotatif bermakna perempuan dewasa, sementara perempuan merupakan manusia yang memiliki (maaf) vagina serta mengalami menstruasi, dan terkadang mengandung serta melahirkan bayi.

Tepat di sini, Gerungisme memanfaatkan peyorasi dan konotasi untuk menyihir pikiran serta merenggut hati publik, jika bukan sekadar hiburan. Analog dengan filosof Slavoj Zizek yang membandingkan antara filsafat Jerman, Anglo-Saxon, dan Prancis dengan cara kerja toilet duduk di masing-masing negara: semakin lama (maaf) kotoran mengambang, semakin ruwet pemikiran filosofisnya. Dulu ia dianggap pangeran badut karena kocak, tapi kini ancaman bagi sebagian rezim di Eropa.

Kedua, Gerungisme condong pada ilokusi dalam the speech act theory. Ilokusi merupakan aksi bicara atau menulis yang pada dirinya sendiri membentuk atau mengakibatkan tindakan yang diniatkan seperti berjanji, memperingatkan atau memerintah. Ketika Gerungisme menjadi semacam platform untuk menunjukkan kepandiran pemerintah, di situlah kubu petahana merasakan ketar.

Boleh jadi Gerungisme merupakan antitesis dari Joko Widodo yang pikiran dan retorikanya enggan untuk tampil anggun seperti burung merak.

Ketiga, meski sebagian ahli logika menyangsikannya sebagai salah satu tipe sesat pikir, eksploitasi Gerungisme pada konotasi dan peyorasi mengingatkan kita pada question-begging, yaitu asumsi bahwa kebenaran sebuah argumen tidak perlu penjelasan lanjutan. Dari contoh tentang wanita di atas, tidak ada dasar argumentatif mengenai fiksi dan fakta tentang wanita ala Gerungisme. Tanpa perlu diminta, ia seharusnya menjelaskan basis argumentasinya.

Keempat, Gerungisme merupakan pembaruan dari kaum Sophist -- di sini saya bersepakat dengan dua pernyataan para kolega filsafat di atas-- yang menjual pengetahuan filsafat dan keterampilan pada masa Yunani antik serta periode Hellenistik (era sejak kematian Alexander Agung hingga kekalahan Cleopatra) dengan corak penalaran yang tampak masuk akal di permukaan, tapi secara aktual salah; dan menggabungkannya dengan skeptisisme moral.

Contohnya, dikotomi "bedakan bekas presiden dan presiden bekas" mewakili penghormatan pada "klien" sekaligus ejekan pada bukan klien. Padahal, Gerungisme dulu menyebut "kliennya" sebagai perawat Republic of Fear. Jadi, siapa yang dulu tampak seperti merawat republik ketakutan, kini menjadi klien atau "teman diskusi."

Kelima, eksploitasi disjunctive premise yang secara sesat mempertentangkan fenomena secara hitam-putih. Tidak ada pilihan abu-abu. Umpamanya cuitan "dikotomi adalah metode menajamkan makna." Seolah trikotomi menumpulkan pemaknaan.

Jika ingin melawan, ringkuslah pikirannya, bukan pribadinya. Gerungisme berbahaya sebagai fiksi, tetapi menghibur sebagai fakta. Bukankah penguasa butuh sirkus ketika tak mampu memberikan roti pada rakyatnya?

Qusthan Firdaus alumnus Filsafat The University of Melbourne, peneliti di The Rhetoric Centre Jakarta
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads