Kopi saset, STMJ, crispy crackers biscuit...semua sudah. Tapi, sebentar. Jangan-jangan ada yang kurang. Perasaan jadi tidak enak. Rasanya ingin membongkar kembali ransel itu, dan meneliti isinya. Tapi, kalau begitu, kapan berangkatnya! Perut tiba-tiba melilit, berasa ingin buang hajat, padahal itu efek dari rasa cemas dan gelisah. Setiap orang yang pernah akrab dengan dunia naik gunung pasti tak asing dengan perasaan berlebihan seperti itu. Berkemas sejak semalam, bahkan mungkin sejak berhari-hari sebelumnya, tapi hingga menit terakhir masih saja dihinggapi perasaan bahwa ada barang yang kurang atau tertinggal.
Yakin bahwa apapun yang kita butuhkan saat perjalanan mendaki dan selama berada di puncak gunung nanti sudah terkemas dalam tas tanpa ada yang kelupaan rasanya sungguh melegakan. Langkah jadi terasa ringan walau punggung menanggung beban berat barang bawaan. Namun, barang-barang itu benar-benar penting dan diperlukan. Dalam hati timbul sensasi kebebasan yang menyenangkan, bahwa hidup begitu ringkas, hanya seukuran ransel yang kita sandang di pundak. Kita merasa akan selamat dan tak akan menderita hanya dengan mengandalkan hidup kita pada satu ransel yang melekat di tubuh kita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aku pernah menyukai naik gunung, dan merasakan sensasi-sensasi hebat itu. Saat perjalanan mendaki menembus kegelapan malam di jalan setapak yang seolah tak berujung telah terlewati, kau akan merasakan sensasi yang lebih hebat lagi. Berada di puncak tertinggi, memotret atau berfoto dengan latar belakang sunrise yang indah, yang tak akan bisa kau lihat di tempat lain. Menyatu dengan alam, tak berjarak, di sebuah area yang berdinding kehampaan, merasa kecil, melebur, menggigil di dalam semak di sebuah cekungan lembah, di bawah naungan pohon-pohon perdu rendah, di antara batu-batu yang basah.
Napasmu berembun. Tanganmu kaku. Kaki serasa lumpuh. Kulit seolah mati rasa. Panas api di ujung jari tak bisa membakarmu. Berbaring di atas debu, di bawah langit yang terlihat begitu rendah di atas wajahmu, yang ada ada hanya perasaan takjub pada bumi. Aku masih bisa mengingat sensasi itu. Ada rasa takut bahwa aku terlalu hanyut dalam aliran energi alam yang begitu menyerap seluruh sisa-sisa energiku, sehingga aku tak bisa kembali menjadi diriku lagi. Aku takut aku melebur terlalu jauh dan dalam dengan alam semesta sehingga aku jadi kehilangan diriku.
***
Aku mengingat kembali hari-hari indahku ketika sering naik gunung pada masa muda dulu gara-gara isu tren gaya hidup minimalis yang belakangan merebak dan jadi banyak perbincangan. Tapi, apa hubungannya?
Para penganut hidup minimalis berangkat dari keyakinan bahwa memiliki barang dalam jumlah yang sedikit --hanya benar-benar yang dibutuhkan, seperti saat orang naik gunung-- mendatangkan sukacita dan kebahagiaan tersendiri. Itulah sebabnya, kaum minimalis berusaha membuang banyak barang yang dipunyai. Bagi mereka, inilah saatnya berpisah dengan barang-barang kita. Dengan berbagai contoh, ilustrasi, penjelasan, hingga filosofi, mereka menunjukkan dan meyakinkan bahwa memiliki (lebih) sedikit barang itu menakjubkan.
Kaum minimalis banyak bermunculan di Jepang, dipicu antara lain oleh munculnya konsep danshari atau seni membereskan, membuang, dan berpisah dengan barang-barang yang mulai banyak dibicarakan sejak tahun 2010. Buku The Life-Canging Magic of Tidying Up karya Marie Kondo yang terbit pada tahun itu dan langsung melejit-laris ikut mendorong merebaknya tren hidup minimalis.
Sedangkan menurut Fumio Sasaki, yang bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Goodbye, Tings: Hidup Minimalis ala Orang Jepang dan juga langsung laris (cetak ulang pada Januari 2019 setelah diterbitkan pertama kali oleh Gramedia Pustaka Utama pada November 2018), setidaknya ada tiga hal yang melatari dan akhirnya ikut memunculkan minimalisme.
Pertama, peredaran berlebih dari informasi dan benda-benda. Kedua, perkembangan teknologi dan jasa yang memungkinkan kita hidup tanpa banyak barang sebagaimana dulu. Ketiga, gempa bumi besar di Jepang Timur.
Tak hanya populer sampai ke Indonesia, gaya hidup minimalis kini juga mulai merasuk ke Barat. Popularitas Marie Kondo menembus batas Jepang bukan hanya karena bukunya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, tapi belakangan ia juga tampil dalam tayangan di Netflix. Tentu saja, minimalisme ini tak ditelan mentah-mentah begitu saja oleh publik dunia di luar Jepang. Di Amerika dan Inggris kritik yang menekankan "perbedaan budaya" mencoba mengkritisi --untuk tidak bilang menolak, atau sekadar "menyinyiri"-- metode "membuang barang" ala Kondo.
Di Indonesia, kritik juga langsung terdengar, sayangnya lebih bernada emosional dan tidak kritis. Salah satunya menuding bahwa Kondo tak lebih dari seorang "kapitalis yang merampok uang orang malas". Ini sangat naif dan menggelikan. Metode Kondo semata-mata hanya dilihat sebagai "bisnis", sebuah serangan yang justru sangat lemah karena apa salahnya dengan orang yang bisa menghasilkan uang dari jasa yang diberikannya? Di Indonesia sendiri, di sebagian kalangan "selebgram", hal sesepele mendengar curhat orang lain saja bisa dibisniskan, dan itu sah-sah saja. Sedangkan, yang dilakukan Kondo adalah sesuatu yang (lebih) "konkret".
Sebagian dari kita mungkin memang malas, dan di sisi lain, barangkali memang tak pernah terpikirkan oleh kita sebelumnya bahwa urusan membereskan rumah, membuang, dan berpisah dengan barang-barang berlebihan yang kita punyai ternyata tidaklah begitu mudah, butuh keterampilan tersendiri, atau bahkan memerlukan "metode" yang serius.
Pada akhirnya, apa yang dilakukan Marie Kondo, juga kaum minimalis Jepang lainnya yang juga menulis buku dan "menularkan" gaya hidupnya, hanyalah sebuah tawaran di antara sekian cara yang bisa kita pilih untuk menjalani hidup ini. Tak perlu sinis, tegang, apalagi marah-marah. Tak ada yang sedang memanfaatkan kemalasan kita dengan merampok uang kita untuk membuang barang-barang yang kita miliki dan menjadi seorang minimalis. Ini bukan keharusan. Ini bahkan bukan tujuan (akhir).
Hanya kita sendiri yang tahu bagaimana cara yang terbaik, sesuai, dan relevan bagi diri kita untuk menjalani hidup ini. Kaum minimalis Jepang berjasa mengingatkan kita bahwa hidup yang kita jalani, dengan cara apapun itu, sesekali perlu ditengok kembali, untuk menimbang apa yang sudah kita capai, apa yang sudah kita punya, apa yang berlebihan dari kita, apa yang masih perlu ditambah, apa yang perlu dipangkas, apa yang sungguh-sungguh penting, apa yang selama ini memberati langkah kita, apa yang sekian lama telah kita lupakan, apa yang harus kita kenali lagi untuk kita hargai.
Di dunia yang sibuk ini, dalam kehidupan yang serba cepat dan terburu-buru, segalanya telah menjadi begitu rumit, menuntut, dan menekan. Minimalisme, yang berawal dari urusan benda-benda, bisa kita tarik sebagai "rujukan filosofis", pijakan untuk ranah lain, gagasan untuk diterapkan di setiap tahap kehidupan. Minimalisme adalah upaya meringkas kehidupan kita, mengembalikannya menjadi sederhana, semacam proses menyusun kisah hidup kita sendiri dari awal, dengan kesadaran dan kepekaan "hingga menit terakhir" seperti saat mengemas apa yang harus kita bawa untuk naik gunung.
Ah, betapa tiba-tiba aku merindukan hari-hari indah saat melangkah ringan, lega, dan merdeka dengan ransel di punggung, pada masa muda dulu.
Mumu Aloha wartawan, penulis, editor
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini