Pada hari pernikahan, Zeus datang membawa hadiah sebuah guci indah. Guci itu bulat, namun pada akhirnya akan dikenal sebagai Kotak Pandora. Prometheus waspada dan mewanti-wanti agar guci itu jangan pernah dibuka. Jangan pernah, tegasnya. Ia menduga Zeus sedang menyusun rencana pembalasan.
Prometheus adalah titan yang sangat menyayangi manusia. Sebelumnya, Prometheus mengelabui Zeus pada hari persembahan. Daging kerbau digulung jeroan, sedangkan lemak diisi tulang belulang. Zeus memilih lemak. Ia sangat marah setelah mengetahui bagiannya hanya tulang-belulang, sedangkan daging yang diabaikannya justru dimakan manusia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kali ini kemarahan Zeus tak terkendali. Zeus lalu menghukum Prometheus dengan cara mengikatnya di sebuah tebing di Kaukasus. Seekor elang mematuki hatinya pada siang hari. Saat matahari tenggelam hatinya akan pulih dan keesokan harinya elang itu akan datang mematuki hatinya lagi. Siklus itu terus berulang hingga suatu saat anak keturunannya, Herakles datang membebaskannya.
Sedangkan Pandora yang diliputi rasa penasaran justru tak sanggup menahan hasratnya untuk membuka tutup guci, dan pada akhirnya keluarlah kutukan penderitaan, kejahatan, segala keburukan. Ia menyesal. Tapi, di balik petaka selalu ada hikmah. Setelah ia melihat guci untuk terakhir kali, ditemukanlah di dalamnya sebuah harapan.
***
Pandora dan kotaknya hanyalah mitos, tetapi manusia menjalani kehidupannya di dalam kotak merupakan sebuah realitas.
Direnungi atau tidak, saat ini kita terperangkap dalam susunan material batu bata, kayu, besi, kawat, semen, baja, dan bahan bangunan lainnya; yang setelah diolah, direkatkan, disekat, dipaku, dicat, diatapi, diarsitekturi, maka kotak itu: rumah. Jika kotak itu tinggi menjulang, sapaan rumah tak lagi cocok, kurang gahar, yang pas adalah gedung pencakar langit dengan kotak-kotak lantai yang saling terhubung oleh kotak lift dari rubanah hingga atap.
Manusia juga butuh suasana baru. Saat berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya kita membutuhkan kendaraan kotak yang disebut mobil, atau jika kotak-kotak itu melaju di atas rel dinamakan kereta api. Berbeda lagi saat menyeberangi lautan, yang dibutuhkan adalah kotak mengambang, sebuah kapal laut. Jika lewat udara, maka kotak-kotak kabin itu dikenal sebagai pesawat terbang.
Makanan merupakan kebutuhan dasar. Jenis-jenis makanan kita bervariasi dari sayuran hingga daging. Guna mengawetkan bahan makanan dan membuat es, kotak elektronik yang bersuhu rendah adalah alatnya: kulkas. Hiburan bisa didapatkan dari kotak dengan gambar bergerak: televisi. Jika puas dengan audio, kita punya radio sebagai pilihan. Berkomunikasi bisa dari jarak jauh dengan kotak perangkat canggih ponsel pintar. Sehari saja kita tak bercengkerama dengannya seperti ada lubang di dalam diri kita yang hanya bisa ditambal dengan kehadiran perangkat tersebut.
Kita terkena kutukan: takdir kita sangat bergantung pada kotak-kotak ciptaan kita sendiri.
Tapi, ternyata semua itu belum cukup. Selain kotak-kotak fisik, manusia membangun kotak-kotak imajinatif yang terpatri dalam ingatannya. Baru saja lahir, bayi manusia langsung masuk ke kotak keluarga. Jika dijangkau dengan indera, kotak keluarga tersebut sifatnya abstrak, tak kasat mata, tetapi kehadirannya dapat dirasakan, identitas, diiringi dengan rekatan lem perhatian dan kasih sayang. Tanpa bisa menolak, sang bayi akan membawa kotak identitas itu sepanjang hidupnya.
Beranjak besar, kotak-kotak yang ditemuinya semakin beragam. Kini sang bayi tak lagi terpaksa. Ia berkuasa atas keputusannya. Ia bisa memilih kotak-kotak mana yang akan dimasuki, dihindari, atau kadang pada waktu tertentu akan dipaksa atau terpaksa memasuki kotak yang tidak disukai: pertemanan, sekolah, karier, jabatan, pasangan, pilihan politik, dan lain sebagainya.
Kotak yang saat ini ramai dimasuki adalah politik. Kita menyaksikan para pemilik suara terperangkap dalam kotak-kotak pencitraan yang kadang tak masuk akal. Berkeyakinan hanya capresnya saja yang hebat, sempurna tanpa cacat, tak mungkin kalah, berwatak ksatria, pemimpin jujur, hidup sederhana, dan berbagai polesan lainnya adalah bentuk kotak politik zaman kiwari. Kotak sebelahnya, capres yang bukan pilihannya adalah manusia gagal, pembohong besar, raja ingkar janji, lalai akan tanggung jawab, koruptor zalim, tidak berpihak pada rakyat, pokoknya semua jenis keburukan ada padanya; singkat kata akan menjadi tokoh mitologi Pandora yang membuka kotak dan melepaskan semua penderitaan, kejahatan, dan keburukan jika terpilih.
Mereka begitu yakin takdir bangsa ini ditentukan di dalam kotak TPS, lalu aliran takdir akan berpindah ke kotak suara yang dihitung dengan cermat dan direkap, dan kemudian bermuara saat pengumuman hasil oleh penyelenggara pemilu. Kotak-kotak itu menjadi kotak-kotak takdir yang akan menentukan hidup mereka di masa depan tanpa ada kemungkinan plot yang berbeda dengan akhir kisah yang juga berbeda.
Namun, yang terjadi saat ini, karena bingkai kotak yang sangat keras dan tebal itu, kita mendengar ramalan-ramalan seperti: Indonesia akan pecah oleh perang seperti Syria jika A terpilih, umat Islam akan hilang dari bumi garuda jika B jadi presiden, PKI akan bangkit jika C menang, penganut agama minoritas akan semakin dikebiri jika D berkuasa, dan segenap ramalan-ramalan lainnya.
Manusia lupa dan terperangkap dalam kotak imajinasi sempit yang dibuatnya sendiri. Tak sadar, kotak itu dimensinya sangat bergantung pada batasan yang diyakininya. Jika berani, mau melihat keluar dan melangkah, di sana ia bisa menemukan kotak lain yang berukuran lebih besar dan memiliki kapasitas untuk menampung kotak-kotak kecil dalam susunan karya seni yang indah dan rapi.
Kotak kekeluargaan bisa menampung kakak-adik yang berbeda pilihan politik. Kotak persahabatan dapat diisi perdebatan sengit dan kemudian tertawa bersama-sama sambil menghargai ketidaksepakatan, kotak kemanusiaan dapat menjadi tempat saling berbagi tanpa melihat identitas atau pilihan politik.
***
Beberapa hari lalu saya menonton video berisi kajian dari KH Hasyim Muzadi. Karena tertarik, saya pun berselancar dan menemukan puzzle demi puzzle materi humor khas beliau. Tokoh yang meninggal dunia pada 2017 itu menggambarkan gesekan antarormas keagamaan Islam di Indonesia dengan jenaka.
Sekarang NU dan Muhammadiyah itu bedanya hanya rokok saja. Dulu ribut-ribut masalah qunut (Subuh). Itu dulu. Sekarang sudah tidak ribut-ribut masalah qunut Subuh lagi karena sudah tidak sembahyang Subuh.
Dan, sekarang bedanya hanya di rokok saja. Di Muhammadiyah (rokok) haram, di NU makruh. Kalau di NU diharamkan, (nanti) ada pesantren tutup, sebab kiainya minar raki'in (perokok). Tapi, di Muhammadiyah yang merokok juga ada.
Pak Malik Fajar itu Ketua (PP) Muhamamdiyah, tapi ia merokok. Pernah berjumpa saya (di airport). "Lho, ini Muhammadiyah kok merokok?"
"Begini, Pak Hasyim. Selagi aku merokok ini jadi NU," jawab Malik Fajar.
"Lah, terus?"
"Kalau sudah selesai, jadi Muhammadiyah lagi," jawab Malik.
Nikmat sekali percakapan seperti ini, bukan?
Saya berharap (mungkin Anda juga --jika iya, bantu doakan), polarisasi politik akan berakhir bersamaan dengan usainya pemilu pada April nanti. Tentu akan lebih menyenangkan jika bisa terwujud lebih awal. Tetapi, jika urung terlaksana, maka pilihan terbaik adalah menjaga apa yang tersisa dari Kotak Pandora: harapan.
Hilmi Amin Sobari selain menulis esai kegiatannya adalah bekerja. Bermukim di Kota Bekasi
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini