Telah sejak lama kiai memegang peran sebagai social broker atau dalam bahasa Zainul Milal Bizawie "mataharinya masyarakat grasroot". Kiai menjadi sumber rujukan, pegangan, dan pedoman hidup tidak hanya pada perkara-perkara keagamaan, tetapi bahkan pada siapa yang harus dipilih --mulai dari ketua RT hingga presiden. Posisi kultural kiai semakin kuat seiring kultivasi etika belajar berfondasi "kepatuhan-total", pendekatan belajar serba "hafalan", serta sikap hidup serba "taqlid".
Dengan social capital sekuat itu, sebagian kiai kemudian terjun ke politik. Berharap dapat mendampakkan kemaslahatan secara lebih scalable walau sejauh mana cita-cita tersebut tercapai atau tidak dapat diperdebatkan dan diurai dalam tulisan lain. Sebagian lagi memilih tetap berada di jalur sosio-kultur, mungkin malah memegang teguh sikap antipati atau stigma negatif terhadap (1) politik, (2) politisi, dan apalagi (3) kiai yang berpolitik. Sikap antipati dan stigma negatif tersebut tidak mengejutkan mengingat sejarah panjang "relasi-negatif" ulama-umara hingga melahirkan kredo ulama su' --ulama yang, secara kasar, berfatwa demi memuaskan syahwat politik sang khalifah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika kita ingat, endorsement KMA kepada Jokowi tidak dimulai saat keduanya menjadi dwitunggal paslon 01. Melainkan, dimulai setidaknya saat KMA "menyeberang" ke istana --mem-back up Jokowi dari "serangan" GNPF-MUI yang kemudian menjadi Persaudaraan 212. Hadirnya KMA membuka semakin lebar pintu endorsement dari sejumlah kiai, terutama yang menjadi bagian dari NU struktural, dan kita menyaksikan bagaimana wacana Kementerian Pesantren, RUU Pesantren, serta Hari Santri Nasional menjadi beberapa bentuk kontraprestasi endorsement tersebut.
Itu kalau kita berbicara politik teras. Dalam tataran grassroot, skema perburuan endorsement ini berlangsung lebih sederhana. Para politisi yang butuh mendulang suara biasanya sowan ke pesantren, ke rumah kiai. Kadang mereka hanya sampai di ruang tamu, kadang sampai diizinkan memberikan sambutan atas nama diri mereka sendiri di majelis yang dibuka untuk umum. Para kiai biasanya berusaha sebisa mungkin terlihat netral, lebih seperti seorang tuan rumah yang menghormati tamu yang datang, walau sikap tersebut mungkin didasari oleh motif ekonomis --karena memungkinkan politisi lain datang.
Kenapa hal tersebut ekonomis? Karena para tamu ini biasanya menutup kunjungan dengan pemberian sumbangan. Sedangkan, donasi telah sejak lama menjadi salah satu sumber pemasukan operasional pesantren sekaligus dapur kiai. Pada akhirnya semua pihak mengerti bahwa tidak selalu ada jaminan suara --walau mencoba peruntungan tetap saja diambil. Para jemaah mengerti bahwa sikap kiai mereka tidak selalu sama dengan dukungan, para paslon sadar betul bahwa kiai yang mereka kunjungi "tak ubahnya" seperti celebrity endorser yang mengenakan atau mengiklankan produk tertentu tanpa mesti sepenuhnya menyukai produk yang mereka endorse --dan follower mereka juga tahu, tapi pengiklan tetap saja mencoba peruntungan.
Kesamaan lain adalah kadang muncul kiai-kiai "karbitan" yang menang di branding sehingga dipercaya oleh para politisi untuk memberikan endorsement, persis seperti celebrity endorser dengan bejibun follower palsu. Pada titik inilah penting untuk menanyakan, sejauh mana endorsement kiai ini instrumental? Jika kita melihat pada bagaimana Gus Romy nge-vlog dengan Mbah Maimoen Zubair demi klarifikasi "penyebutan nama Prabowo" dalam doa beliau, kita akan mendapat kesan bagaimana endorsement ini amat penting. Atau, jika ingin lebih spesifik, endorsement dari kiai sekaliber Mbah Maimoen.
Walau agak "problematis" karena dari sudut pandang tertentu, yang terkesan adalah azas pemanfaatan sebagaimana ditudingkan Fadli Zon. Sebagian santri mungkin akan merasa kiai sepuh sealim Mbah Maimoen kalau bisa tidak perlu dipolitisir, tetapi pendapat tersebut juga belum tentu dapat dibenarkan mengingat Mbah Maimoen sejak muda adalah tipe kiai yang aktif berpolitik. Itu sebabnya pesan di vlog Gus Romy secara spesifik menyebut PPP dan bukan NU --Mbah Maimoen adalah "sesepuh" PPP.
Tetapi, seberapa besar suara yang dapat diraih melalui endorsement ini mungkin butuh dipetakan secara serius mengingat lanskap muslim Indonesia mengalami sejumlah pergeseran --dan bahkan disrupsi. Pertama, ceruk suara milenial yang besar tidak selalu memposisikan isu agama dan kiai sebagai concern utama --apalagi satu-satunya. Cara mengindikasinya adalah dengan mengkalkulasi seberapa banyak yang merasa tidak nyaman dengan puisi Doa yang Tertukar-nya Fadli Zon, atau seberapa banyak yang peduli pada jual-beli cemoohan di seputar kasus video editan KMA mengenakan pakaian khas Sinterklas di momen Natal. Boleh jadi concern mereka adalah ketersediaan ruang-ruang publik, dukungan terhadap aktivitas kreatif, dan hal-hal lain yang kefiguran kiai diragukan dalam hal tersebut.
Kedua, pola pembentuk identitas dan mazhab berpikir muslim hari ini cenderung lebih terbuka dan heterogen sehingga memungkinkan seorang santri atau kiai dari NU justru lebih khidmat ke Prabowo-Sandi karena dia lebih setuju, misalnya, fatwa Felix Siaw terkait NKRI dan rezim thagut pemerintah. Tetapi, dengan kentalnya nuansa politik identitas dengan agama sebagai komoditas, terlepas dari sejauh mana endorsement kiai bersifat instrumental dan relevan, yang terjadi justru malah para kiai berbondong-borong berebut memberikan endorsement.
Bisa jadi sikap tersebut ditopang oleh pemahaman politik yang menyeluruh, pertimbangan pragmatis-ekonomis, atau bahkan (yang menyedihkan) didasarkan pertimbangan fanatisme akibat konsumsi hate speech dan hoax. Sebab, bukankah sebagian kiai sama awamnya dengan para santri perihal permainan (dan pendidikan) politik?
Irfan L. Sarhindi pengasuh Salamul Falah, alumnus University College London
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini