Pesan di Balik Suara Golput

Kolom

Pesan di Balik Suara Golput

Abdurrachman Sofyan - detikNews
Senin, 28 Jan 2019 16:10 WIB
Foto: Roland/detikcom
Jakarta -

Media pemberitaan mulai riuh menayangkan hal ikhwal gelombang suara "golongan putih" (golput) terkhusus sejak dilakukannya konferensi pers di Jakarta pada 23 Januari lalu bertajuk "Golput dan kampanye Golput bukan Pidana" dari kelompok yang mengatasnamakan koalisi masyarakat sipil. Di dalamnya tergabung ICJR, Kontras, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Lokataru, PBHI, dan YLBHI.

Gelombang suara tersebut dinyatakan bukanlah bagian dari ekspresi emosional masyarakat sipil. Melainkan bentuk lain dari sebuah sikap politis-rasional yang berdasarkan pada pandangan kondisi objektif kepemimpinan di negeri ini. Kondisi tersebut setidaknya tercermin dalam lima hal. Pertama, syarat terbentuknya partai yang dipaksakan secara nasional, sehingga hanya partai-partai modal besar yang dapat ikut pemilu, dan sistem politik yang menutup adanya partai lokal.

Kedua, sistem partai modal besar yang masih menerapkan sistem presidential threshold. Seseorang hanya bisa dicalonkan menjadi presiden dengan didukung 20 persen dari jumlah kursi di DPR atau 25 persen suara nasional. Ketiga, aroma oligarki para elite ini semakin dikunci dengan tidak ada peluang mengajukan calon presiden jalur independen. Keempat, sistem rekrutmen pejabat publik lewat mesin-mesin partai modal besar bersama para oligark tidak selalu menjamin hasil yang baik. Kelima, dengan sistem politik yang oligarkis dan tertutup, kedua pasangan capres-cawapres akan terjebak dalam politik identitas yang menggunakan simbol agama guna meraih dukungan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan berlatar pada pandangan tersebutlah kemudian pilihan untuk menjadi golongan putih menderas jadi perbincangan di media. Ditambah dengan argumentasi konstitusional bahwa Pasal 515 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak melarang seseorang untuk memilih golput.

Namun demikian, di balik kuatnya penggiringan opini mengenai golongan putih yang dianggap menjadi hantu di Pilpres 2019 atau media yang terlampau mengarusutamakan pemberitaan geliat partisan golput justru ada sisi yang mestinya perlu dicermati secara serius.

Indonesia sejak kemerdekaannya dan memilih suatu sistem politik demokrasi di dalamnya bukanlah tanpa dibarengi rangkaian eksperimentasi terhadapnya. Sebab, demokrasi dipilih sebagai suatu cita-cita untuk tidak lagi membiarkan penindasan terjadi atas nama kemanusiaan. Demokrasi dipilih guna membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan, penjajahan, dan perbudakan yang dilakukan oleh imperialis dan kolonialis penjajah, yang dalam bahasa Bung Karno exploitation de I'homme par I'homme.

Mengutip pandangan Henry B.Mayo, sistem politik yang demokratis ialah di mana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.

Dalam konteks merebaknya wacana golput politis-rasional ini, maka dengan sendirinya mementahkan argumentasi bahwa golput adalah "pecundang". Yang ada justru menguatkan apa yang telah menjadi falsafah dalam demokrasi yang oleh Nurcholish Madjid disebut dengan prinsip keterbukaan dan kesempatan bereksperimentasi.

Dengan argumentasi politis-rasional sekalipun dari partisan yang menyuarakan untuk memilih tidak memilih, toh tidak akan memiliki pengaruh signifikan terhadap laju pemilihan. Namun demikian, jika dilihat dari suatu bagian gelombang protes masyarakat sipil, maka perlu kiranya diperiksa ulang mengenai kerangka bangunan konsolidasi yang sudah dilakukan. Atau, singkatnya, gerakan golongan putih menjadi salah satu agenda rangkaian dari sebuah proposal perubahan jangka panjang karena alasan tertutupnya kran-kran demokrasi.

Namun, sebagai bentuk lain dari sebuah eksperimentasi dalam demokrasi agaknya golongan putih menjadi hal yang wajar dan bahkan perlu dimaklumi. Sekaligus juga demikian dengan argumentasi bahwa golput adalah bentuk lain dari perlawanan masyarakat atas ketimpangan yang dipandang semakin menganga hingga saat ini. Hanya saja dengan menggolongkan memilih pada golput sebagai bentuk perlawanan masyarakat sipil dalam kondisi saat ini tidak bisa sepenuhnya dibenarkan.

Sebab, dalam skema "perlawanan" sendiri setidaknya golput tidak masuk dalam konsepsi perlawanan yang oleh Chin & Mittelman dikatagorikan menjadi tiga jenis. Yakni, counter hegemony ala Antonio Gramsci, lalu counter movement ala Karl Polanyi, dan terakhir infrapolitics ala James C. Scott.

Tentunya ketiga jenis perlawanan tersebut lahir bukan karena argumentasi emosional an sich. Artinya, gelombang perlawanan golput --secara mendadak-- tidaklah bisa dikategorikan sebagai sebuah gerakan masif dan signifikan tanpa adanya proposal jangka panjang yang mampu mengurai langkah strategis apa yang dilakukan sebelum memilih menjadi golput politis-rasional, serta langkah strategis apa yang akan dilakukan ketika pemilihan umum telah usai dilaksanakan.

Gerakan ini dengan mudah akan melebur dengan suasana yang biasa-biasa saja dalam ketiadaan masifnya konsolidasi di segala elemen masyarakat. Akhirnya, dengan pertimbangan yang tidak mampu terukur, yang ada justru fenomena golput hanya sebatas mengudara dalam nuansa pemilihan umum lalu menghilang di kemudian hari.

Tentu ada dampak langsung yang bisa dirasakan oleh publik kita mengenai pertumbuhan indeks demokrasi. Sebab, adanya golongan putih yang tidak signifikan menjadi petanda bahwa demokrasi di negara tersebut hidup. Maka, pesan yang patut disampaikan dalam konteks saat ini ialah bukan pada seberapa penting untuk menjadi golput, melainkan seberapa signifikan golput dalam membangun eksperimentasi wacana perkembangan politik Indonesia.

Abdurrachman Sofyan peneliti demokrasi dan HAM pada Intrans Institute, Malang

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads