Hantu Tak Pernah Berlalu
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Jeda

Hantu Tak Pernah Berlalu

Minggu, 27 Jan 2019 10:58 WIB
Mumu Aloha
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Mumu Aloha (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Orang Jawa punya ungkapan "ora mulih nalar" --tidak pulang nalar-- untuk hal-hal yang sulit dipercaya. Banyak yang kita lihat, dengar, dan rasakan dalam hidup ini, namun tidak semuanya serta merta dan dengan mudah kita cerna dengan akal. Begitu banyak yang tidak kita pahami. Banyak hal yang tak bisa kita buktikan.

Waktu keluarga kami baru saja pindah ke Nayu, sebuah kampung di sebelah utara kota Solo, banyak hal gaib yang diceritakan. Ya, saya sendiri memang tidak mengalaminya dan hanya mendapat cerita, karena saya tinggal di Jakarta. Cerita itu biasanya muncul ketika saya pulang ke Solo, dan kami reriungan ngobrol ngalor-ngidul di teras pada malam hari.

Salah satu cerita, yang terus saja diingat oleh ibu sampai sekarang adalah pengakuan keponakan saya yang saat bermain di kebonan di seberang gang depan rumah bersama teman-temannya melihat "gundul pringis" --hantu jawa berupa kepala yang melayang-layang. Kala itu keponakan saya masih SD, dan bersama bocah-bocah tetangga yang sepantaran, tentu saja tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang menakutkan --terlepas dari apakah cerita itu sendiri bisa dipercaya atau tidak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hingga pada suatu kali, ketika sedang pulang ke rumah di Nayu itu, saya sendiri mengalami kejadian yang bisa dianggap aneh. Saat berjalan pulang dari salat magrib berjamaah di masjid, saya mencium aroma singkong rebus dari arah rumah --yang gelap dan berpagar rimbun-- di pojok perempatan di ujung gang yang tak jauh dari rumah kami. Padahal itu rumah kosong.

Awalnya tak terlintas pikiran apapun di benak saya. Ketika mendapati ibu dan kakak perempuan saya sedang duduk-duduk di teras, saya pun bergabung, dan menceritakan perihal bau singkong rebus tadi.

"O, tempat itu memang angker, dan bau singkong rebus itu pertanda adanya hantu," kata ibu saya.

Saya langsung merinding.

***

Kami pindah ke Nayu pada pengujung dekade 1990. Depan rumah baru kami masih berupa tanah kosong bersemak. Tahun demi tahun, mulai dihuni orang. Blok di bagian kampung yang kami tempati, yang sebelumnya sepi, mulai ramai. Tapi, cerita-cerita warga soal hantu dan hal-hal gaib yang "tak pulang nalar" terus saja beredar. Ibu setiap Senin malam pergi pengajian ke masjid yang agak jauh dari rumah, dan selalu keesokan harinya bercerita tentang keanehan-keanehan yang dirasakannya --ya mungkin semua itu memang hanya perasaannya saja yang memang dicekam takut-- ketika melewati jembatan dengan gerumbul pohon bambu di sisinya.

Sekarang tahun 2019. Mengatakan bahwa dunia sudah semakin maju sama saja dengan mengatakan bahwa matahari itu panas. Artinya, tidak perlu dikatakan lagi. (Lha, trus kenapa tetap dikatakan? Hehehe...) Maksud saya, kalau kita bicara tentang dunia sekarang, rasanya tak ada lagi kampung tanpa listrik apalagi di kota besar. Tapi, siapa bilang kisah rumah-rumah berhantu, tempat-tempat angker, dan kejadian-kejadian yang memerindingkan bulu roma telah berlalu dan hilang lenyap ditelan Bumi?

Suatu kali, seorang pemuda kampung bunuh diri, dan malam-malam setelah itu, banyak cerita dari mulut ke mulut --sebenarnya lebih tepat kalau dikatakan, dari mulut ke telinga kembali ke mulut lagi, tapi kan kepanjangan hehehe-- yang tak perlu diulang di sini.

Di kampung kami yang lama, di Gondang --sebuah kampung di dekat Terminal Bus Tirtonadi yang legendaris itu-- saya mengalami zaman ketika seorang warga meninggal dunia sehabis melahirkan, dan hantunya "menampaki" seorang tukang bakso yang biasa lewat. Suasana kampung jadi mencekam dalam beberapa malam. Pintu-pintu ditutup rapat sebelum waktu magrib. Orang-orang tak berani keluar rumah. Di dalam rumah pun tak berani tidur sendiri.

Masalahnya bukan lagi percaya atau tidak percaya, tapi semua itu memang "benar-benar terjadi" --dalam arti, walau tanpa "bukti" tapi diyakini dan berdampak nyata. Orang tak lagi mencari penjelasan atas sesuatu yang "tak pulang nalar", melainkan, ya sudah, setelah dialami dan berlalu, semua itu menjadi cerita yang terus menerus diungkapkan dari waktu ke waktu secara turun-temurun, menjadi semacam "folklor" alias cerita rakyat yang mewarnai memori kolektif --untuk tidak mengatakan "sejarah"-- kehidupan kampung.

Ketika zaman itu telah berlalu, cerita-cerita itu tidak ikut berlalu, menjadi kisah abadi, yang mungkin tidak lagi menakutkan. Orang-orang menceritakannya kembali dengan cara yang berbeda, sambil tertawa-tawa, seolah-olah sebuah cerita lucu yang menghibur dan dinikmati. Sekali lagi, soal percaya atau tidak percaya bukan lagi isunya, melainkan kejadian-kejadian yang kini telah menjadi cerita itu tak bisa dipisahkan lagi dari kehidupan warga kampung.

Mungkin pada dasarnya kita memang perlu cerita-cerita semacam itu, untuk senantiasa membangkitkan rasa ketakutan dalam diri kita, yang entah disadari atau tidak memiliki fungsi psikologis yang susah dijelaskan. Ketika cerita-cerita hantu yang hidup di kampung mulai memudar, orang bahkan mencarinya di tempat lain, dalam bentuk lain. Film horor nyaris selalu menjadi primadona di bioskop. Bagi orang-orang yang hidup di kota, cerita-cerita hantu menjadi "urban legend". Kita menikmati serial The Haunting of Hill House yang dinilai sebagai adaptasi brilian dari kisah horor klasik --dan salah satu yang terbaik pada abad ke-20-- karya novelis Amerika Shirley Jackson.

Kita senang dan selalu ingin ditakuti, atau minimal diingatkan bahwa kita sebagai manusia memang harus selalu menjaga rasa takut. Sebuah film Australia berjudul Breath (Simon Baker, 2017) dengan baik menggambarkan, lewat orang-orang yang hobi menantang ombak dengan selembar papan luncur, betapa rasa takut memang dibutuhkan. Dua remaja laki-laki yang haus petualangan membentuk persahabatan yang ganjil dengan seorang petualang veteran yang misterius, membawa mereka untuk mengambil risiko dan pelajaran penting yang akan berdampak langgeng dan sangat mendalam. Bahwa ketiadaan rasa takut dalam menjalani hidup ini bukanlah sikap yang heroik dan menyelamatkan, melainkan sebaliknya justru bisa menjadi masalah dan melahirkan tragedi.

Pada zaman digital ini, zaman ketika film hadir lewat layar di genggaman kita, komunikasi dan keterhubungan dengan orang lain tak lagi mengenal waktu, memanjangkan malam-malam kita, dan kita tak pernah kesepian lagi, kita masih terus bergelut dengan hal-hal yang "tak pulang nalar", sebab setiap zaman menciptakan hantunya masing-masing. Yang kita hadapi bukan lagi "gundul pringis" ataupun arwah penasaran yang gentayangan. Melainkan seluruh kehidupan yang makin tidak waras, kebenaran yang dijungkir-balikkan, kebohongan yang disamarkan, kepalsuan yang diagungkan.

Kini apapun bisa menjadi hantu. Perubahan, masa depan, politik, ekonomi, iklan, informasi, intoleransi, pseudosains yang menyesatkan, keyakinan yang fanatik dan membabi buta, hoaks dan ujaran kebencian yang dianggap wajar, kebodohan yang tak bertepi, ambisi-ambisi kita sendiri yang tak terbendung, orang lain yang tak mau menerima perbedaan dengan kita.

Semak-semak di tanah kosong sudah kita babat habis. Rumah-rumah tua yang ditinggalkan kini telah berubah menjadi tempat-tempat nongkrong bergaya "vintage", tempat kita membuat janji untuk bertemu kembali dengan teman-teman lama dan foto-foto. Dunia semakin terang, bukan hanya oleh lampu, tapi juga oleh pendar-pendar cahaya gadget yang menyilaukan sepanjang waktu, membuat mata kita tak pernah terpejam bahkan sedetik pun, membuat kita tak pernah lagi merasa sendirian.

Tapi, percayalah, hantu-hantu itu tak pernah berlalu. Mereka hanya bersalin rupa, berpindah tempat, dan mengintai kita setiap saat, dari sudut yang berbeda, tanpa memberi tanda berupa aroma singkong rebus yang harum-menyengat. Tetaplah takut. Waspadalah. Berdoalah selalu.

Mumu Aloha wartawan, penulis, editor
(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads