Warisan Rizal Panggabean untuk Perdamaian
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Pustaka

Warisan Rizal Panggabean untuk Perdamaian

Sabtu, 26 Jan 2019 11:08 WIB
Al Mahfud
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: Al Mahfud
Jakarta -

Judul Buku: Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia; Penulis: Samsu Rizal Panggabean; Penerbit: Pustaka Alvabet, September 2018; Tebal: xxxiv+244 halaman

Pada masa Orde Baru, studi-studi tentang konflik dan kekerasan etnis di Indonesia sangat minim. Topik konflik dan kekerasan etnis menjadi wilayah terlarang dalam riset ilmu sosial dan humaniora. Era Reformasi datang dan bermunculan studi tentang konflik. Perkembangannya signifikan dalam hal jumlah publikasi cetak maupun online. Namun, banyak studi belum mampu menjawab mengapa suatu kekerasan terjadi, kecuali sebatas menggambarkan pola dan kecenderungan berdasarkan lokasi geografis dan waktu kejadiannya.

Studi Rizal Panggabean ini memberi angin segar dalam konteks memberi penjelasan mengapa konflik dan kekerasan etnis bisa terjadi di suatu tempat. Buku ini berasal dari disertasi Rizal dalam menyelesaikan Program Studi S3 Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada. Kawan-kawan dan tim penerbit menilai, disertasi ini merupakan satu dari sedikit riset mengenai kekerasan komunal di Indonesia yang menggarisbawahi variasi. Ia tak sekadar bertanya mengapa kekerasan bisa terjadi di suatu tempat, namun juga membandingkan lewat pertanyaan, "Mengapa kekerasan komunal terjadi di suatu tempat, tapi tidak di tempat lain yang memiliki konteks demografi dan situasi politiknya serupa?"

Buku ini memusatkan perhatian pada kekerasan etnis yang terjadi di Surakarta dan Ambon, dan kedamaian etnis yang terjadi di Yogyakarta dan Manado dalam episode masa-masa demonstrasi jelang runtuhnya Orde Baru pada 1998-1999. Kekerasan dan kedamaian etnis tersebut dilihat, baik di dalam satu kota (hubungan Muslim-Kristen di Ambon dan Manado, dan hubungan Pribumi-Tionghoa di Surakarta dan di Yogyakarta), maupun antarkota (membandingkan Ambon dengan Manado, dan Surakarta dengan Yogyakarta).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mula-mula, digambarkan hubungan atau interaksi Pribumi-Tionghoa di Surakarta dan Yogyakarta dari empat arena utama interaksi: tempat tinggal, sekolah/universitas, tempat kerja, dan organisasi. Dari sana, Rizal menyimpulkan perbedaan suku sebenarnya tidak menjadi rintangan interaksi. Interaksi yang damai dan positif antarwarga berbeda etnis berlangsung di berbagai arena dan turut membentuk kehidupan yang stabil dan normal (hlm 90-91).

Pembahasan beranjak pada pertanyaan mengapa kekerasan anti-Tionghoa terjadi di Surakarta, tetapi tidak di Yogyakarta pada episode waktu yang sama, antara Maret-Mei 1998. Mulanya, di kedua kota tersebut sama-sama terjadi demonstrasi mahasiswa menentang Orde Baru dan menuntut reformasi. Aparat membatasi, tapi demonstrasi tak terbendung. Mahasiswa turun ke jalan, memicu bentrokan dengan aparat. Sampai tahap ini, gambaran yang terjadi di dua kota, baik di Surakarta maupun di Yogyakarta masih relatif sama.

Pembingkaian dan Pembiaran

Namun, di luar kemiripan tersebut, Rizal menemukan perbedaan mendasar yang menjadi kunci mengapa kekerasan terjadi di Surakarta, sedangkan di Yogyakarta bisa diredam dengan damai. Pembedanya adalah mekanisme bingkai. Rizal menilai, kekerasan anti-Tionghoa di Surakarta adalah efek pengalihan bingkai dari demonstrasi terhadap rezim Orde Baru ke kekerasan anti-Tionghoa usai demonstrasi mahasiswa di UMS pada 4 Mei 1998, yang kemudian semakin membesar dan sulit dikendalikan.

Pada 14 Mei 1998, terjadi demonstrasi besar-besaran. Mahasiswa bentrok dengan aparat. Sekitar pukul 13.00 terjadi transisi --dari bentrokan mahasiswa dengan aparat-- menjadi serangan ke properti milik Tionghoa. Muncul kelompok kecil "pemuda" berjalan dan mengendarai motor, memimpin massa sambil melempar bom molotov, membakar ban, dan melakukan penyerangan yang mengarah ke properti Tionghoa di Kartasura dan Surakarta. Masyarakat menyebut mereka "provokator". Mereka tak muncul di hari dan minggu sebelumnya, bahkan tak kelihatan pada pagi hari tanggal 14 Mei 1998 tersebut.

Ketika serangan dan kekerasan terhadap toko-toko milik warga Tionghoa berlangsung, aparat keamanan tidak melakukan tugas mereka. Rizal mengutip perkataan beberapa warga Tionghoa yang melihat dan sempat menghubungi keamanan saat peristiwa berlangsung. Dari sana, disimpulkan bahwa tentara dan kepolisian saat itu membiarkan kejadian serangan dan kekerasan tersebut. Mengaku mengaku tidak mendapatkan instruksi.

Pengelolaan dan Perdamaian

Hal berbeda terjadi di Yogyakarta. Mekanisme utama yang digunakan dalam proses demonstrasi anti-rezim dan pro-reformasi adalah mengelola demonstrasi. Memang, kerusuhan juga sudah berlangsung. Terjadi lemparan yang memecahkan kaca beberapa bank milik Tionghoa, serangan terhadap ruang pamer mobil Timor, dan unsur-unsur kerusuhan lainnya yang membuat Yogyakarta berada pada situasi berbahaya. Namun, pihak keamanan masih bisa mengendalikannya sehingga tidak meningkat menjadi kekerasan lebih luas atau menciptakan kondisi yang memungkinkan strategi "alih bingkai" dari aktor negara.

Di samping itu, ada koordinasi yang baik antar berbagai pihak. Aparat keamanan, Sri Sultan, pemerintah daerah, pemimpin mahasiswa, sektor bisnis, komunitas Tionghoa, dan tokoh masyarakat sipil bekerja sama agar demonstrasi tetap kondusif dan damai. Semboyan "reformasi damai" digaungkan. Aparat diimbau tak represif pada demonstran. Bahkan, masyarakat bisnis, termasuk Kamar Dagang dan Industri Yogyakarta, memberi sumbangan guna membeli makanan dan minuman untuk aparat keamanan yang berjaga untuk "aksi damai". Pada minggu terakhir sebelum kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998, demo-demo di Yogyakarta berlangsung damai.

Kecenderungan yang relatif sama terjadi saat membandingkan yang terjadi di Ambon dan Manado pada tahun 1998 dan 1999 awal, di mana peran dan strategi aktor negara menjadi faktor penting yang mempengaruhi sejauh mana konflik dan kekerasan bisa diatasi.

Pada kasus Ambon, Rizal melihat kegagalan aparat mengelola polarisasi di masyarakat dan pemerintahan. Rumor dan fakta tentang pembakaran tempat ibadah pada 19 Januari 1999 dan berbagai kejadian kekerasan sebelumnya, membuat pengerasan identitas kelompok di Ambon menguat, terutama antara Muslim dan Kristen. Namun, di tengah kondisi tersebut aktor negara dan aparat tak tanggap melalui penegakan hukum dan menjaga ketertiban. Masyarakat merasa keamanan dan proteksi negara tak lagi ada, sehingga beralih pada strategi kekerasan.

Hal berbeda terjadi di Manado. Polarisasi masyarakat tak terjadi, sebab ada usaha serius dari aktor negara dalam mengingatkan masyarakat akan pentingnya kerukunan, meski situasi saat itu juga rawan konflik dan marak provokasi akibat dampak kekerasan kolektif yang bergaung dari Poso, Maluku, dan Maluku Utara. Pemda getol berkoordinasi dengan berbagai aktor di masyarakat, mempertemukan mereka dan mengajak semua memegang teguh rujukan bersama: "kita semua bersaudara". Pemda, aparat keamanan, dam tokoh masyarakat bekerja sama mempertahankan komitmen kedamaian. "Negara lokal dan aparatnya meyakinkan masyarakat mengenai arti penting 'kerukunan' serta memberikan jaminan keamanan," jelas Rizal.

Implikasi

Setelah menelaah konflik di Surakarta dan Ambon dan bagaimana konflik bisa diredam secara damai di Yogyakarta dan Manado dalam tahun-tahun kejatuhan Orde Baru, Rizal mengajukan beberapa implikasi penting dalam memahami dan menangani kekerasan dan konflik. Ia menekankan pentingya penelitian konflik di level subnasional atau kota/kabupaten, tidak di level analisis nasional. Sebab, ini memungkinkan kekerasan dan perdamaian dapat dikaji secara lebih baik, bersumber dari strategi aktor negara dan masyarakat dalam berinteraksi.

Dilihat dari aspek rancangan penelitian, penting untuk mengkaji kota yang mengalami kekerasan etnis bersama dengan kota yang mengalami kedamaian etnis, seperti yang dilakukan Rizal. Cara mengkaji berpasangan dan membandingkan ini penting agar rancangan riset tak terperangkap pada pemilihan kasus berdasarkan variabel independen. Mengkaji kedamaian atau kasus-kasus nir-insiden juga penting, sebab kekerasan tidak dapat dipahami dengan baik tanpa meneliti perdamaian (Varshney, 2002). Di samping itu, sebagian besar kota di Indonesia sebenarnya termasuk dalam kategori nir-peristiwa atau tidak mengalami kekerasan etnis.

Rizal juga menekankan, dan ini bisa dikatakan menjadi argumen pokok buku ini, bahwa peran relasi dan interaksi strategis adalah kunci memahami insiden kekerasan dan kedamaian, bukan dari ciri-ciri kelompok maupun profil aktor. Buku ini menunjukkan bahwa interaksi strategis tersebut jauh lebih penting daripada ciri-ciri kelompok masyarakatβ€”yaitu masyarakat Pribumi dan Tionghoa (Surakarta dan Yogyakarta), serta Islam dan Kristen (Ambon dan Manado). Terakhir, pada situasi pascakekerasan, Rizal memandang perlu dipulihkan lagi kontak yang bermakna antarwarga, baik di arena interaksi maupun di ruang publik.

Rizal Panggabean adalah ilmuan politik ternama dari UGM yang selama hampir dua dekade tekun mempelajari konflik etnis dan menuliskannya. Sumbangan Rizal tak berhenti pada data, temuan, dan gagasan. Ia memanfaatkan langsung wawasan yang didapatkannya untuk bergerak mengakhiri konflik. Disertasinya yang dibukukan ini adalah sebagian kecil dari upaya besarnya untuk memajukan hubungan antarkelompok di Indonesia.

Sejak akhir 1999, Rizal aktif memfasilitasi berbagai pertemuan, lokakarya, dan pelatihan di kalangan masyarakat, kelompok agama dan etnis, kelompok perempuan, lembaga swadaya, guru, siswa, pemuda, dan kelompok-kelompok masyarakat lain di Indonesia. Studi-studi dan kerja perdamaian Rizal amat penting sebagai modal sosial untuk membangun, menjembatani, dan menguatkan interaksi dan hubungan antarkelompok di Indonesia yang masyarakatnya majemuk.

Rizal Panggabean, pekerja perdamaian dan resolusi konflik telah berpulang pada 7 September 2017 lalu. Rizal memang telah tiada, namun karya-karya dan kerja-kerja perdamaiannya tetap akan hidup dan menggerakkan kita untuk terus mencari cara mencegah dan mengakhiri konflik serta bagaimana membangun hubungan harmonis dengan sesama.

Al-Mahfud bergiat di Paradigma Institute Kudus

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads