Setelah Revolusi Industri 4.0 mengemuka, maka orang pun berpikir tentang bagaimana pertanian 4.0. Ini bukan latah dan euforia, tetapi sudah merupakan tuntutan objektif. Analoginya, orang kini menggunakan telepon pintar dan memanfaatkan platform untuk berbagai kepentingan seperti bisnis, kesehatan, pendidikan, dan hiburan. Penggunaan WhatsApp, We Chat, Facebook, Instagram, dan Twitter tak bisa dibendung oleh perusahaan provider telepon seluler. Dulu orang telepon dan kirim SMS harus bayar. Kini semuanya gratis. Kata Rhenald Kasali, ada perubahan dari premium ke "freemium". Semua ini terjadi karena teknologi 4.0 telah mendisrupsi teknologi lama.
Teknologi 4.0 yang saat ini populer adalah penerapan teknologi artificial intelligence, robot, drone, internet of things, dan big data analitik, dan kini sudah menjadi keniscayaan. Bagaimana dengan pertanian, apakah teknologi 4.0 akan mendisrupsi pertanian konvensional?
Saat ini proporsi digital native akan melebihi digital migrants. Digital native berasal dari Generasi Z atau generasi milenial yang memang sangat melek dengan dunia digital. Sementara itu digital migrants didominasi Generasi X yang butuh waktu untuk beradaptasi dengan dunia digital. Paling tidak untuk Indonesia tahun 2030 akan menjadi momentum penting karena saat itulah bonus demografi akan terjadi. Pada tahun-tahun itulah digital native atau generasi milenial akan menjadi variabel penting baik sebagai konsumen maupun produsen.
Sebagai konsumen tentu mereka menghendaki produk barang dan jasa yang unggul dan harga terjangkau. Wajar bila mereka senang dengan belanja online karena hemat waktu, leluasa memilih produk, dan mudah menemukan harga terendah hingga tertinggi. Sebagai produsen mereka pun yang sudah akrab dengan dunia digital ingin proses yang efisien, presisi, dan unggul. Menghadapi karakteristik generasi milenial tersebut, baik sebagai produsen dan konsumen, maka pertanian pun harus menyesuaikan. Karena itu pertanian 4.0 akan menjadi keniscayaan.
Apa itu pertanian 4.0? Pertanian 4.0 adalah pertanian dengan ciri pemanfaatan teknologi artificial intelligence, robot, internet of things, drone, blockchain dan big data analitik untuk menghasilkan produk unggul, presisi, efisien, dan berkelanjutan. Ruang lingkup pertanian 4.0 adalah sebagai berikut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, off farm; dicirikan tidak saja dengan agroindustri cerdas, tetapi juga sistem logistik pertanian digital. Teknologi blockchain kini mulai diaplikasikan untuk menjamin transparansi dan traceability aliran produk pertanian sehingga para pelaku hulu-hilir bisa saling mengontrol. Saat ini pelaku hulu dalam posisi lemah karena informasi yang asimetris. Ke depan informasi akan simetris dan pelaku hulu-hilir akan lebih setara.
Ketiga, pemasaran digital dan konsumen cerdas yang melek digital akan mewarnai konsumen masa depan. Pola pemasaran ke depan tidak lagi konvensional seperti sekarang, tetapi akan berbasis platform. Konsumen produk pertanian akan menggunakan platform melalui smart phone dalam membeli produk baik untuk memilih produk atau menelusuri asal usul produk. Untuk memilih produk, dosen IPB Prof Aris Purwanto sudah menemukan cara identifikasi kematangan buah mangga dengan smartphone. Jadi kalau belanja buah kita bisa tahu buah ini matang atau tidak dengan cara yang mudah.
Pertanyaannya, apakah pertanian 4.0 itu realistis untuk kondisi petani kita yang masih tradisional?
Pertama, teknologi 4.0 itu keniscayaan yang sulit dibendung. Suka tidak suka dan mau tidak mau kita harus menerima kenyataan kecenderungan ini. Karena itu yang harus kita lakukan adalah penyiapan dan percepatan adaptasi. Di sinilah diperlukan pelaku-pelaku baru milenial berciri technopreneur yang mampu menghasilkan produk-produk inovatif. Juga aktor sociopreneur yang berperan mengkonsolidasi para petani tradisional serta memfasilitasi aplikasi teknologi baru tersebut dalam kerangka percepatan transformasi. Tidak perlu setiap rumah tangga petani punya drone untuk memantau pertumbuhan tanaman, pemupukan maupun luasan panen.
Di sinilah peran pemerintah daerah, LSM, dan perguruan tinggi penting untuk memfasilitasi pemanfaatan drone dan berbagai teknologi 4.0 lainnya untuk kepentingan tersebut. Karena itu perguruan tinggi harus mampu mencetak sebanyak-banyaknya technopreneur dan sociopreneur dalam kerangka transformasi tersebut. Karena itulah IPB punya visi baru menjadi techno-socio enterpreneurial university. Tidak lain karena IPB ingin mencetak lulusannya sebagai technopreneur dan sociopreneur untuk mempercepat proses transformasi ini.
Kedua, petani di Indonesia rata-rata berumur 45 tahun ke atas. Kurun waktu 10-15 tahun ke depan diduga akan ada krisis regenerasi petani karena anak-anak mereka yang punya pendidikan lebih baik dari orang tuanya tidak memilih menjadi buruh tani. Mereka akan memilih menjadi petani pemilik. Pada saat mereka menjadi petani pemilik, siapa yang akan menjadi buruh taninya? Bila buruh tani akan makin langka di desa, sementara teknologi pengganti buruh tani juga tidak siap, maka pemilik lahan tidak bisa berbuat apa-apa. Di sinilah krisis pertanian akan terjadi.
Karena itulah kita harus siapkan SDM dan teknologi unggul dari sekarang pada saat negara-negara lain juga sedang meraba-raba apa itu pertanian 4.0. Negara maju pun juga masih meraba dan mempersiapkannya. Dengan pertanian 4.0, kini kita memiliki start yang relatif sama dengan mereka. Karena itu, kalau kita tidak mulai lari cepat dari sekarang untuk mewujudkannya kita akan kembali tertinggal sebagaimana pertanian konvensional selama ini. Sebaliknya, kalau kita cepat, lincah, dan kreatif merespons perubahan ini niscaya pertanian kita berjaya dan makin diperhitungkan di pasar global.
Sebagai upaya penyiapan hal tersebut, IPB telah hadir dengan konsep AgroMaritim 4.0 yang diikuti dengan road map riset agromaritim 4.0 sebagai acuan riset-riset IPB ke depan. Ini penting agar riset-riset IPB mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan dunia industri. Sebab, sebaik-baik perguruan tinggi adalah yang memberi manfaat untuk kemajuan bangsa ini.
Arif Satria Rektor IPB