Bagi Anda yang pernah menonton sekuel Jurassic Park maka tergambar antusiasme manusia untuk menghidupkan kembali spesies purbakala yang sudah punah di sebuah pulau dengan penjagaan maksimum. Tidak kita sadari, Indonesia mendapat anugerah taman purbakala yang sebenarnya (the real jurassic park) berupa pulau-pulau yang dikuasai oleh spesies reptil komodo.
Setelah sekian lama Komodo Dragon, sebutan internasional untuk komodo, adem ayem saja, kini satwa langka itu kembali menjadi pusat perhatian masyarakat dunia sebagai akibat dari rencana penutupan Taman Nasional Komodo (TNK) selama satu tahun. Wacana penutupan Pulau Komodo pertama kali dilontarkan oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor Laiskodat, pada sebuah forum diskusi di Kupang pada 21 November 2018. Wacana tersebut kemudian memancing debat publik dan pro-kontra.
Pihak yang mendukung menyampaikan alasan pentingnya memelihara keberlangsungan hidup komodo dan rusa sebagai rantai makanan utamanya. Sementara, pihak yang kontra memberikan gambaran kerugian ekonomi yang akan diderita oleh semua pihak yang menggantungkan hidup dari industri pariwisata. Tulisan ringkas ini berupaya untuk menjawab pertanyaan publik yang mendasar, apakah penutupan Pulau Komodo merupakan sebuah kebijakan yang tepat?
Setelah sekian lama Komodo Dragon, sebutan internasional untuk komodo, adem ayem saja, kini satwa langka itu kembali menjadi pusat perhatian masyarakat dunia sebagai akibat dari rencana penutupan Taman Nasional Komodo (TNK) selama satu tahun. Wacana penutupan Pulau Komodo pertama kali dilontarkan oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor Laiskodat, pada sebuah forum diskusi di Kupang pada 21 November 2018. Wacana tersebut kemudian memancing debat publik dan pro-kontra.
Pihak yang mendukung menyampaikan alasan pentingnya memelihara keberlangsungan hidup komodo dan rusa sebagai rantai makanan utamanya. Sementara, pihak yang kontra memberikan gambaran kerugian ekonomi yang akan diderita oleh semua pihak yang menggantungkan hidup dari industri pariwisata. Tulisan ringkas ini berupaya untuk menjawab pertanyaan publik yang mendasar, apakah penutupan Pulau Komodo merupakan sebuah kebijakan yang tepat?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurunnya Populasi
Langkah pertama untuk menilai tepat-tidaknya sebuah kebijakan sebagai sebuah solusi atas masalah yang dihadapi, semua pihak harus berangkat dari titik masalah yang sama. Apakah sebenarnya masalah yang sedang terjadi di Pulau Komodo? Dalam konteks ini, kita harus menyajikan fakta-fakta (bukan persepsi) sehingga semua pihak yang pro dan kontra memiliki kesepakatan terhadap sebuah masalah.
Langkah pertama untuk menilai tepat-tidaknya sebuah kebijakan sebagai sebuah solusi atas masalah yang dihadapi, semua pihak harus berangkat dari titik masalah yang sama. Apakah sebenarnya masalah yang sedang terjadi di Pulau Komodo? Dalam konteks ini, kita harus menyajikan fakta-fakta (bukan persepsi) sehingga semua pihak yang pro dan kontra memiliki kesepakatan terhadap sebuah masalah.
Faktanya, Komodo Dragon dikategorikan rentan (satu tingkat di bawah terancam punah) dalam Daftar Merah Spesies Terancam yang dipublikasikan oleh International Union for Conservation of Nature berdasarkan data 1996 dari World Wide Fund for Nature (WWF) yang memperkirakan populasi komodo berjumlah enam ribu ekor dengan hanya 350 betina. Di lain pihak, pada Januari 2018, otoritas TNK menyatakan populasi komodo per akhir 2017 sebanyak tiga ribu ekor. Dengan membandingkan data 1996 dan 2017, maka masalah utama yang dihadapi semua pihak adalah menurunnya populasi komodo.
Menggunakan model pemetaan masalah DePoy dan Gilson (2008) yang mengupas sebuah masalah berdasarkan faktor sebab dan akibat, pertanyaan berikutnya adalah apakah penyebab menurunnya populasi komodo? Penyebab masalah tersebut menurut National Geographic adalah kelangkaan betina yang bertelur, bencana alam, perburuan, dan perambahan manusia. Karena kelangkaan betina dan bencana alam merupakan faktor yang tidak bisa dikendalikan secara langsung, maka kita memusatkan perhatian pada dua penyebab yang bersumber dari manusia, yaitu perburuan dan perambahan manusia.
Perburuan ini yang diangkat oleh Viktor Laiskodat sebagai alasan penutupan Pulau Komodo, walaupun yang menjadi objek adalah rusa. Berkurangnya rusa sebagai mangsa utama menyebabkan komodo kesulitan memenuhi diet makanan sehari-hari dan kemudian memangsa sesamanya. Praktik perburuan rusa yang tidak terkendali di Pulau Komodo ternyata memang terjadi, dibuktikan dengan pengungkapan kasus oleh aparat berwajib.
Di lain pihak, perambahan manusia yang semakin masif terutama dalam bentuk pembangunan fisik yang mengurangi habitat alami komodo terekam dalam keriuhan jagad maya berupa viralnya #savekomodo dan petisi daring berjudul "Stop Tipu Daya Atas Nama Konservasi, Tolak Pembangunan di TN Komodo!" yang telah didukung oleh lebih dari 325 ribu orang sejak diluncurkan pada 6 Agustus 2018.
Dimensi Ekonomi Politik
Berdasarkan konsep pengembangan destinasi wisata 3A yaitu attraction, accessibility, amenity, unsur pertama (attraction) merupakan penentu keberlangsungan sebuah destinasi wisata. Sebagai ilustrasi, Pulau Komodo memiliki akses yang sulit (accessibility rendah) dan kualitas amenitas yang minim (amenity terbatas), namun tetap berhasil menarik wisatawan asing dan domestik untuk berkunjung sepanjang tahun. Mengapa? Karena atraksi melihat dan berfoto dengan komodo yang hidup liar tidak tersedia di tempat lain, tidak ada di mana pun di seluruh dunia. Tentu saja secara logis, akibat dari menurunnya populasi apalagi punahnya komodo berarti mengurangi dan melenyapkan atraksi pariwisata sekaligus mengakhiri industri pariwisata di Pulau Komodo.
Berdasarkan konsep pengembangan destinasi wisata 3A yaitu attraction, accessibility, amenity, unsur pertama (attraction) merupakan penentu keberlangsungan sebuah destinasi wisata. Sebagai ilustrasi, Pulau Komodo memiliki akses yang sulit (accessibility rendah) dan kualitas amenitas yang minim (amenity terbatas), namun tetap berhasil menarik wisatawan asing dan domestik untuk berkunjung sepanjang tahun. Mengapa? Karena atraksi melihat dan berfoto dengan komodo yang hidup liar tidak tersedia di tempat lain, tidak ada di mana pun di seluruh dunia. Tentu saja secara logis, akibat dari menurunnya populasi apalagi punahnya komodo berarti mengurangi dan melenyapkan atraksi pariwisata sekaligus mengakhiri industri pariwisata di Pulau Komodo.
Tetapi, lebih jauh dari sekadar pariwisata, komodo memiliki dimensi ekonomi politik yang sangat besar. Timothy P. Barnard pada studinya yang dipublikasikan pada 2011 berjudul Protecting the Dragon: Dutch Attempts at Limiting Acces to Komodo Lizard in the 1920s and 1930s menjelaskan bagaimana Belanda telah memanfaatkan komodo sebagai alat diplomasi dan justifikasi atas penjajahan yang dilakukan terhadap Hindia dengan menjadikan Netherlands East Indies sebagai pusat penelitian ilmiah dan konservasi kadal terbesar di dunia setelah menemukan satwa tersebut pada 1912. Menyadari arti penting hewan yang langka dan bertubuh besar tersebut, Belanda menerapkan berbagai peraturan untuk membatasi akses terhadap Pulau Komodo dan Pulau Rinca, serta melarang perburuan dan eksploitasi lainnya.
Bisa dibayangkan seperti apa citra Indonesia yang menjadi bulan-bulanan komunitas internasional dan jatuhnya kredibilitas dalam pergaulan dunia pada saat dianggap tidak mampu memelihara Komodo Dragon yang hanya hidup di Indonesia. Tentu saja, risiko reputasi bagi Indonesia ini harus dimasukkan ke dalam faktor penting dalam analisis akibat-akibat buruk dari menurunnya populasi bahkan punahnya komodo.
Sudah Tepat
Langkah kedua untuk menilai tepat-tidaknya sebuah kebijakan adalah evaluasi terhadap pilihan-pilihan kebijakan yang tersedia. Untuk menilai kualitas kebijakan, kita menggunakan tiga tujuan sebagai kriteria penilaian, yaitu melindungi komodo dan rantai makanan, mendapatkan manfaat ekonomi, dan menegakkan aturan.
Pilihan pertama adalah kebijakan saat ini dengan membiarkan kondisi yang ada, tanpa ada perubahan apapun. Pilihan kedua adalah dengan melakukan penutupan seluruh pulau baik Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Dan, pilihan ketiga adalah dengan melakukan penutupan sebagian pulau, yaitu secara bergantian menutup salah satu pulau dari Pulau Komodo dan Rinca.
Langkah kedua untuk menilai tepat-tidaknya sebuah kebijakan adalah evaluasi terhadap pilihan-pilihan kebijakan yang tersedia. Untuk menilai kualitas kebijakan, kita menggunakan tiga tujuan sebagai kriteria penilaian, yaitu melindungi komodo dan rantai makanan, mendapatkan manfaat ekonomi, dan menegakkan aturan.
Pilihan pertama adalah kebijakan saat ini dengan membiarkan kondisi yang ada, tanpa ada perubahan apapun. Pilihan kedua adalah dengan melakukan penutupan seluruh pulau baik Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Dan, pilihan ketiga adalah dengan melakukan penutupan sebagian pulau, yaitu secara bergantian menutup salah satu pulau dari Pulau Komodo dan Rinca.
Dengan membuat penilaian atas pilihan kebijakan tersebut, kita tidak menemukan pilihan yang ideal di mana semua tujuan dapat tercapai dengan kualitas sangat baik. Kebijakan saat ini merugikan komodo; sementara penutupan seluruh pulau akan menghancurkan bisnis penduduk dan investor. Yang paling kompromistis adalah pilihan penutupan sebagian pulau yang dapat memuaskan semua tujuan kebijakan. Berdasarkan hasil penilaian ini, pernyataan Viktor Laskodat yang memilih kebijakan penutupan sebagian pulau yaitu hanya Pulau Komodo sudah tepat.
Kemudian debat berlanjut dengan bagaimana nasib Pulau Komodo setelah mengalami penutupan selama setahun? Jika merujuk pada data-data di dunia, penutupan destinasi wisata merupakan hal yang biasa dilakukan. Sebagai ilustrasi, Patung Kebebasan (Liberty Statue) di Kota New York ditutup selama setahun pada 2011 dan Menara Tokyo (Tokyo Tower) di Kota Tokyo ditutup pada 2016-2018. Untuk wisata alam, Pantai Boracay di Filipina ditutup selama enam bulan dan Pantai Maya di Thailand ditutup selama setahun.
Berbagai tempat wisata di dunia yang pernah ditutup untuk keperluan renovasi dan konservasi tidak memudar pamornya. Justru pembukaan destinasi ditunggu-tunggu karena menawarkan layanan dan pengalaman yang lebih baik bagi para wisatawan.
Lebih jauh lagi, saya mengusulkan kepada pengelola berbagai destinasi wisata alam di Indonesia sekurang-kurangnya dua rekomendasi kebijakan berikut. Pertama, menerapkan penutupan sementara secara rutin, misalnya penutupan destinasi pada saat musim kawin satwa liar dan penutupan tiga bulan dalam setahun sebagai upaya untuk mendukung keberlangsungan industri pariwisata di Indonesia yang berbasis keanekaragaman hayati.
Kedua, menerapkan konsep pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) yang berdimensi jangka panjang daripada pariwisata massal (mass tourism) yang eksploitatif. Pola hidup flora fauna dan daya dukung alam harus dijadikan pertimbangan utama untuk menerima jumlah wisatawan dalam satu periode waktu. Akhirnya, semoga polemik yang terjadi atas Komodo Dragon menjadi pembelajaran buat kita untuk memperbaiki kualitas hubungan dengan flora dan fauna, dan semoga alam tetap lestari dalam keberlimpahan materi.Kemudian debat berlanjut dengan bagaimana nasib Pulau Komodo setelah mengalami penutupan selama setahun? Jika merujuk pada data-data di dunia, penutupan destinasi wisata merupakan hal yang biasa dilakukan. Sebagai ilustrasi, Patung Kebebasan (Liberty Statue) di Kota New York ditutup selama setahun pada 2011 dan Menara Tokyo (Tokyo Tower) di Kota Tokyo ditutup pada 2016-2018. Untuk wisata alam, Pantai Boracay di Filipina ditutup selama enam bulan dan Pantai Maya di Thailand ditutup selama setahun.
Berbagai tempat wisata di dunia yang pernah ditutup untuk keperluan renovasi dan konservasi tidak memudar pamornya. Justru pembukaan destinasi ditunggu-tunggu karena menawarkan layanan dan pengalaman yang lebih baik bagi para wisatawan.
Lebih jauh lagi, saya mengusulkan kepada pengelola berbagai destinasi wisata alam di Indonesia sekurang-kurangnya dua rekomendasi kebijakan berikut. Pertama, menerapkan penutupan sementara secara rutin, misalnya penutupan destinasi pada saat musim kawin satwa liar dan penutupan tiga bulan dalam setahun sebagai upaya untuk mendukung keberlangsungan industri pariwisata di Indonesia yang berbasis keanekaragaman hayati.
Irwanda Wardhana doktor Kebijakan Publik dan Ekonomi Politik, peneliti Badan Kebijakan Fiskal dan Pengurus DPP Himpunan Peneliti Indonesia; tulisan ini tidak merepresentasikan kebijakan resmi institusi dan organisasi tersebut
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini