Pada awal Januari 2019, lemahnya dukungan politis Kejaksaan RI kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) kembali terbaca oleh publik. Sembilan berkas hasil penyelidikan terhadap peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia, untuk kesekian kalinya, dikembalikan lagi oleh Kejaksaan Agung kepada Komnas HAM. Padahal, berdasarkan laporan tahunan Komnas HAM, kesembilan berkas tersebut masing-masing telah diselesaikan dan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung sejak 2002, 2016, dan 2017 silam guna ditindaklanjuti. Menurut Jaksa Agung, langkah itu dilakukan sebab alat bukti yang mendukung berkas-berkas tersebut belumlah lengkap sehingga tidak dapat ditindaklanjuti.
Secara prosedural, baik berdasarkan UU No 26/2000 maupun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kejaksaan Agung memang berwenang mengembalikan berkas hasil penyelidikan Komnas HAM dengan alasan yang berkaitan dengan kelengkapan berkas. Kendati berwenang, berdasarkan KUHAP, pengembalian berkas penyelidikan harus dilengkapi dengan petunjuk mengenai hal-hal yang harus dilengkapi. Tetapi, sebagaimana diterangkan oleh Ketua Komnas HAM, Kejaksaan Agung tidak menyertakan petunjuk apapun dalam pengembalian kesembilan berkas tersebut sehingga menimbulkan tanya di berbagai pihak.
Oleh sebab itu, menurut Komnas HAM, Kejaksaan Agung tidak pro-aktif menjalankan komitmen penyelesaian perkara pelanggaran berat hak asasi manusia, khususnya yang terjadi pada masa lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Skema Kolaboratif yang Keliru
Peran eksistensial Komnas HAM dalam menegakkan hukum hak asasi manusia memang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Kejaksaan RI. Berdasarkan UU No 39/1999 Betapa tidak, Kejaksaan diposisikan sebagai representasi pemerintah yang berwenang menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM atas peristiwa-peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Selain itu, diatur juga berdasarkan UU No 26/2000 bahwa penyidikan dan penuntutan terhadap perkara pelanggaran berat hak asasi manusia dilakukan oleh Jaksa Agung, baik yang terjadi pada masa lalu maupun pasca diundangkannya UU No 39/1999.
Dengan demikian, berdasarkan paket undang-undang tersebut, kolaborasi antara Komnas HAM dan Kejaksaan mutlak diperlukan dalam mekanisme penegakan hukum hak asasi manusia di Indonesia. Secara skematis, diawali dengan penyelidikan oleh Komnas HAM, kemudian ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan oleh Kejaksaan.
Kolaborasi antara Komnas HAM dan Kejaksaan tentu diharap dapat mewujudkan cita-cita pelembagaan Komnas HAM, yaitu untuk membangun kembali public trust kepada pemerintah dan untuk meningkatkan performa negara dalam mengejawantahkan perlindungan hak asasi manusia (Zainal Arifin Mochtar: 2017, 7). Tetapi, realitas skema kolaboratif tersebut justru dinilai sebagai penyebab utama dari buramnya potret penegakan hukum hak asasi manusia sehingga menyebabkan kinerja dan elektabilitas dari Komnas HAM kian menurun.
Pada pertengahan Desember 2018 lalu misalnya, Asian NGO Network on National Human Rights Institution (ANNI) telah merilis laporan yang menilai bahwa kemampuan kerja Komnas HAM semakin hari semakin menurun. Bukan tanpa sebab, berdasarkan laporan tersebut, ANNI menilai bahwa lemahnya dukungan politis dari pemerintah dan institusi-institusi negara lainnya termasuk Kejaksaan merupakan faktor penyebab utama.
Di samping itu, adanya perbedaan kehendak antara Komnas HAM dengan Kejaksaan dalam hal mekanisme penyelesaian perkara, menurut hemat saya, juga memicu ketidakjelasan arah dalam proses penegakan hukum hak asasi manusia. Pasalnya, dengan mengacu pada asas yang telah diakui secara internasional, yaitu the principle of non-impunity, sebagaimana dituangkan dalam Preamble of Rome Statute 1998 yang diadopsi dalam pembentukan UU No 26/2000, Komnas HAM di satu sisi tetap mendorong pelanggaran berat hak asasi manusia supaya diselesaikan melalui mekanisme yudisial.
Tetapi, Kejaksaan di sisi lain justru memaksakan perkara tersebut supaya diselesaikan melalui mekanisme non-yudisial atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Yaitu, mekanisme yang secara historis selalu timbul pada era transisi politik dari suatu rezim otoriter ke rezim yang lebih demoktratis, sebagaimana pertama kali dibentuk di Argentina dan Uganda pada 1980-an (Knut D. Asplund, dkk: 2008, 364). Padahal, undang-undang khusus mengenai KKR, yaitu UU No 27/2004 telah dibatalkan secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 006/PUU-IV/2006 sebab KKR bertentangan dengan the principle of non-impunity.
Mengukuhkan Peran Komnas HAM
Berpangkal pada sekelumit permasahan dalam skema kolaboratif antara Komnas HAM dan Kejaksaan di atas, semakin penting untuk mengukuhkan peran eksistensial Komnas HAM dalam mekanisme penegakan hukum hak asasi manusia di Indonesia. Secara alternatif, upaya untuk mengukuhkan peran eksistensial Komnas HAM dalam penegakan hukum hak asasi manusia dapat dilakukan dengan tiga cara.
Pertama, merevisi payung hukum yang mengatur tentang wewenangan penyelidikan Komnas HAM. Disadari atau tidak, asbabun nuzul dari lemahnya kinerja Komnas HAM justru secara normatif disebabkan oleh wewenang penyelidikan Komnas HAM yang terbatas pada pemberian rekomendasi. Dalam UU No 39/1999 misalnya, Komnas HAM hanya diberikan wewenang untuk menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) guna ditindaklanjuti. Dampak buruknya, Komnas HAM tidak dapat memaksa pihak mana pun ketika rekomendasinya tidak diindahkan, termasuk oleh Kejaksaan. Dengan demikian, wewenang yang terbatas pada sifatnya yang rekomendatif itu harus diperluas dan diperkuat sehingga bersifat imperatif.
Kedua, membentuk mekanisme sanksi yang ditujukan kepada lembaga-lembaga negara yang tidak melaksanakan rekomendasi dari Komnas HAM. Pada tataran undang-undang, baik UU No 39/1999 maupun UU No 26/2000, tidak satu pun substansi dari paket undang-undang tersebut mengatur mengenai sanksi bagi lembaga negara yang tidak melaksanakan rekomendasi dari Komnas HAM. Tanpa adanya sanksi yang tegas, wewenang Komnas HAM yang terbatas pada rekomendasi itu akan selalu bersifat tumpul dan berpotensi diabaikan. Dengan diberlakukannya mekanisme sanksi, baik yang bersifat administratif maupun pidana, setidaknya terdapat instrumen penyeimbang yang dapat memaksakan rekomendasi Komnas HAM agar sesegera mungkin ditindaklanjuti. Dengan demikian, berangkat dari dibentuknya mekanisme sanksi, Komnas HAM sekaligus memiliki akses untuk menggugat setiap lembaga negara yang mengabaikan rekomendasinya.
Ketiga, mewujudkan skema Single Prosecution System yang terpusat pada Komnas HAM dalam proses penegakan hukum hak asasi manusia. Single Prosecution System pada dasarnya merupakan prinsip penuntut umum dalam sistem peradilan pidana. Secara teoritis, Single Prosecution System merupakan mekanisme yang digunakan untuk menguatkan kedudukan kejaksaan, yaitu dengan memusatkan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pada satu lembaga, yaitu lembaga kejaksaan. Secara praktis, skema Single Prosecution System ini telah diterapkan pada penegakan hukum tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam konteks penegakan hukum hak asasi manusia, skema Single Prosecution System dengan demikian memberikan wewenang tambahan kepada Komnas HAM sehingga Komnas HAM tidak hanya berwenang melakukan penyelidikan, tetapi juga berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan.
Dalam konteks penegakan hukum hak asasi manusia, skema Single Prosecution System dengan demikian memberikan wewenang tambahan kepada Komnas HAM sehingga Komnas HAM tidak hanya berwenang melakukan penyelidikan, tetapi juga berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan.
Dengan demikian, selain bertujuan untuk mewujudkan cita-cita pelembagaan Komnas HAM, upaya mengukuhkan peran Komnas HAM juga dapat bertujuan untuk membuktikan kepada publik bahwa negara pro-aktif dalam menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia, khususnya pelanggaran berat hak asasi manusia, baik yang terjadi pada masa lalu maupun pasca diundangkannya UU No 39/1999. Di samping itu, upaya tersebut juga diharapkan dapat berdaya guna dan berhasil guna dalam menghapuskan beban sejarah yang tidak kunjung dituntaskan ini.
Sahid Hadi peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (UII)
(mmu/mmu)
Sahid Hadi peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (UII)