Bukan rahasia lagi, korupsi merupakan kejahatan luar biasa di Indonesia. Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Adnan Pandu Praja mengungkap pada suatu kesempatan bahwa dampak korupsi demikian luas, meliputi sosial, moral, ekonomi, dan politik, mengacaukan tata kelola yang baik, menghambat pengembangan dan mengacaukan kompetisi. Penyuapan dapat mengikis keadilan, merusak hak asasi manusia, dan menghambat pengentasan kemiskinan.
Demikian luas dampak korupsi, hingga ketika merujuk pada tak tercapainya suatu program pembangunan di negara ini, ada peristiwa korupsi yang mengganjalnya. Pengadaan peralatan kesehatan, program e-KTP, pengadaan sarana transportasi, pembangunan infrastruktur, hingga upaya penanggulangan bencana pun tak luput dari tindak korupsi.
Ditengok dari sejarahnya, upaya mencegah dan memberantas korupsi bukan barang baru. Jika KPK dibentuk pada 2002, bukan lembaga ini yang jadi tonggak pertama memerangi korupsi. Dalam artikelnya Anti Corruption Clearing House (ACCH) mengungkap, upaya memerangi korupsi di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1957:
"Berbagai upaya pemberantasan korupsi dicanangkan di setiap periode pemerintahan negara ini. Beberapa referensi menyatakan bahwa pemberantasan korupsi secara yuridis baru dimulai pada tahun 1957, dengan keluarnya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan yang dikenal dengan Peraturan tentang Pemberantasan Korupsi ini dibuat oleh penguasa militer waktu itu, yaitu Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertanyaan hari ini, apa hasil perang itu, dalam menekan korupsi?
Data (sumber: databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/12/04) menyebut, sebanyak 174 pejabat negara/pegawai swasta tertangkap tindak pidana korupsi oleh KPK periode Januari-September 2018. Selain itu, terdapat 3 korporasi yang ditetapkan terlibat kasus korupsi. Alhasil, sepanjang tahun 2018 terdapat 177 pejabat/swasta/ korporasi yang terjerat kasus korupsi oleh komisi antirasuah. Jumlah tersebut merupakan yang terbanyak dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Total, lebih dari 900 pejabat negara/pegawai swasta maupun korporasi yang terlibat tindak pidana korupsi sepanjang 2004-September 2018. Dari deskripsi ini, tampaknya variasi pelaku dan gebyar penangkapanlah yang kian meriah. Perang terhadap korupsi itu sendiri justru memperlebar arena permainan. Korupsi kini bukan lagi soal aparat pemerintah, namun juga pejabat swasta dan korporasi. Kenyataan ini terkonfirmasi lewat data Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang secara konsisten naik dari skor 23 pada 2007 menjadi 37 pada 2016. Ini kemudian menempatkan Indonesia berada di atas Thailand. Hasil dalam menekan laju tindak korupsinya itu sendiri tak signifikan.
Kini, mengawali 2019, yang sering didengungkan sebagai makin masuknya Indonesia dalam kancah Revolusi Industri 4.0, persoalan korupsi perlu memperoleh paradigma baru dalam menyikapinya. Paradigmanya: korupsi adalah sebuah ekosistem. Ini adalah analogi biologis alam semesta. Di alam semesta, sebuah tatanan dapat terselenggara berkesinambungan akibat adanya fungsi-fungsi spesifik makhluk hidup dan lingkungan yang menopangnya. Fungsi konsumen makanan, produsen makanan tingkat I, II, III dan seterusnya. Seluruhnya adaptif pada suhu dan tekanan udara tertentu. Relasi ini kemudian membentuk rantai makanan dan jaring-jaring kehidupan.
Dalam kehidupan sosial, tak ubahnya yang alamiah, berlaku keadaan semacam itu. Terdapat fungsi produksi, distribusi, konsumsi, dengan aliran yang dapat berlangsung harmoni, ditopang oleh lingkungan yang sesuai.
Pemerintah dan aparat birokrasi adalah penyelenggara negara. Fungsinya menyediakan lingkungan yang memungkinkan masyarakat sebagai konsumen, menyelenggarakan fungsi konsumsi. Sedangkan pemenuhan kebutuhan konsumsi dilakukan oleh fungsi korporat sebagai produsen. Dalam menjalankan fungsi menyediakan lingkungan ini, pemerintah membuat aturan. Produsen maupun konsumen wajib tunduk pada aturan itu. Ketaktundukan menghasilkan instabilitas ekosistem. Selama seluruhnya berjalan pada fungsi yang diemban, ekosistem akan berjalan berkelanjutan dan menghasilkan produktivitas bersama: membentuk masyarakat yang sejahtera.
Korupsi menjadi pangkal soal dalam ekosistem manakala terdapat pihak yang berlaku melampaui fungsinya. Mekanisme kemungkinannya, penyelenggara negara turut bermain jadi produsen untuk mengeruk keuntungan sendiri, atau produsen yang mengkooptasi peran penyelenggara negara dengan menyuap agar dibuatkan aturan yang menguntungkan produsen. Dan, dapat pula terjadi, konsumen yang mengabaikan aturan penyelenggara negara demi penyederhanaan proses yang harus dilakukannya. Tentu saja dengan membayar sejumlah sogokan.
Dalam kenyataannya, korupsi terjadi bukan lantaran peran satu pihak. Ada jejaring saling menyokong yang memungkinkan terjadinya korupsi. Maka ketika dihadapkan pada tantangan memerangi korupsi, cara berpikir ekosistem dapat diajukan.
Memerangi korupsi dalam paradigma ekosistem berarti secara sistemik mencegah hal-hal yang sejak awal membuka peluang terjadinya korupsi, yakni penyuapan. Pencegahan dikedepankan sebagai budaya. Penyuapan --yang antara lain didefinisikan sebagai tindakan menawarkan, menjanjikan, memberikan, menerima, atau meminta keuntungan yang tidak semestinya dari nilai apa pun (berupa keuangan atau non-keuangan), langsung atau tidak langsung-- harus dicegah dengan membangun budaya anti-penyuapan.
Artinya, tak hanya berhenti sebatas niat dan komitmen, sikap anti-menyuap harus diwujudkan dalam setiap ritus, artefak, hingga mekanisme tata kelola yang mencegah penyuapan itu terjadi. Dalam tata kelola yang disistemasi sebagai manajemen anti-penyuapan, organisasi melengkapi dirinya untuk mengendalikan praktik penyuapan dengan cara mencegah, mendeteksi, melaporkan, dan menangani penyuapan.
Maka alih-alih negara memperbesar pasukannya untuk memerangi korupsi, masyarakat luas yang turut merasakan dampak kejahatan luar biasa tersebut dapat mulai mencegahnya, langsung dari dirinya sendiri. Yakni, menerapkan budaya menolak melakukan penyuapan. Dan, organisasi memulai dengan menerapkan sistem manajemen anti-penyuapan.
Arifin Lambaga mantan Ketua Komite Teknik Sistem Manajemen Anti Penyuapan–Badan Standardisasi Nasional, pemerhati masalah manajemen mutu dan sistem antikorupsi











































