Beberapa hari lalu di Jogja, sambil bercanda Dr. Ian Wilson menyampaikan kalimat semacam itu. Tentu itu bukan poin utama dalam bukunya, Politik Jatah Preman, yang sedang didiskusikan. Buku tersebut mengulas relasi kuasa yang terjadi antara negara dan kelompok-kelompok ormas. Namun, Ian mengingatkan satu hal tentang betapa buruknya dehumanisasi. Bahkan meski laskar-laskar ormas itu kerap melakukan tindakan dehumanisasi pula, misalnya kepada kelompok minoritas, selayaknya imajinasi dehumanis tidak kita lemparkan balik kepada mereka.
***
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam sejarah, ada kasus yang paling jelas, yaitu bagaimana Hitler bersama Nazi menegaskan ras Arya sebagai ras unggul dengan ciri-ciri spesifik. Seiring itu, mereka menggambarkan ras-ras lain, terutama orang-orang Yahudi, sebagai ras rendahan, bahkan "ras beracun", yang akan melemahkan dan mengganggu kemurnian ras unggul.
Propaganda dehumanis seperti itu disebarkan lewat segala media, bahkan menjadi kurikulum di sekolah-sekolah sejak Nazi berkuasa. Semuanya dijadikan basis legitimasi di tengah publik untuk menjalankan tindakan-tindakan lebih lanjut yang mengerikan, yaitu eksklusi, dan akhirnya genosida. Berbekal pembentukan imajinasi kolektif yang dehumanis, empati dihilangkan, dan pembenaran bersama dibangun sehingga para "sub-human" itu dianggap layak dilenyapkan.
Hitler tidak sendirian. Perbudakan di Amerika Serikat pra-Perang Sipil, yang sisa-sisanya berupa politik segregasi terus berlanjut terutama di bagian Selatan hingga baru berakhir pada era 1950-an, pun berlandaskan dehumanisasi.
Cobalah tonton film Django Unchained-nya Quentin Tarantino. Di situ ada adegan menarik ketika tokoh Calvin Candie meletakkan sebuah tengkorak kepala seorang budak. Ia lalu bertanya, kenapa budak-budak berkulit hitam itu tidak melawan dan membalas dendam setelah disiksa.
Calvin menjawab sendiri sambil menunjukkan tengkorak di hadapannya. Ia bilang, ada struktur otak orang Afrika yang membuat mereka takluk, hanya bisa menerima perintah, dan tidak mampu berinisiatif. Ketaatan dan ketaklukan orang kulit hitam itu bukan produk tekanan sosial, melainkan sudah merupakan takdir biologis.
"The science of phrenology is crucial to understanding the separation of our two species."
Spesies! Betul, Calvin sampai mengatakan bahwa manusia kulit hitam dan kulit putih berbeda spesies. Ini dehumanisasi yang sangat telanjang. Dan jangan salah, meski Calvin Candie cuma tokoh fiktif yang diperankan Leonardo DiCaprio, Tarantino mengambilnya dari teori phrenologi yang memang pernah ngetop pada zamannya. Ilmu yang belakangan disepakati sebagai pseudoscience itu dipopulerkan oleh Charless Caldwell, seorang dokter pada awal abad ke-19 yang juga memuja perbudakan.
"They are slaves because they are tameable. Depend upon it, my good friend, the Africans must have a master." Sudah seharusnya orang-orang Afro kulit hitam itu punya majikan, simpul Caldwell dalam sebuah suratnya kepada seorang sahabat, pada tahun 1837.
Lihat, itulah basis legitimasi ilmiah atas perbudakan, dehumanisasi yang pada zaman itu diklaim sebagai teori saintifik.
Kita beranjak ke Afrika, tanah asal para budak di Amerika itu. Di benua itu, kita juga tahu apa yang pernah terjadi di Rwanda. Itu benar-benar belum lama, baru pada 1994, tahun saat Maudy Ayunda dilahirkan dan Chelsea Olivia sedang lucu-lucunya. Kali ini, mekanisme dehumanisasi yang terjadi bukan melalui teori-teori pseudoscience, melainkan cuma berbekal ujaran verbal yang diterima secara komunal.
Hanya dalam 100 hari, tak kurang dari 800 ribu orang beretnis Tutsi tewas di tangan orang-orang etnis mayoritas Hutu. Anda tahu propaganda-massa seperti apa yang diterapkan, sehingga kebrutalan akbar itu bisa demikian efektif berjalan?
Ya, kecoak. Silakan tonton Hotel Rwanda, film yang mengisahkan heroisme Paul Rusesabagina dengan aksi penyelamatan mirip-mirip Oskar Schindler dalam Schindler's List. Ucapan dan makian "cockroaches" alias "kecoak-kecoak" bertaburan di situ, sebagai serangan verbal dari milisi Hutu yang menyerang dan membantai orang-orang Tutsi.
Makian tersebut, yang sejatinya dalam bahasa lokal diucapkan dengan kata "inyenzi", tidak muncul sekadar sebagai makian. Ia dikapitalisasi sebagai salah satu instrumen propaganda yang efektif oleh kalangan pemerintahan Hutu, dengan ujung tombak militer dan milisi sipil. Ujaran "kecoak" itu dihamburkan terus-menerus. Bukan cuma dalam omongan sehari-hari, namun juga menjadi menu wajib siaran-siaran resmi Radio RTLM dan liputan rutin Majalah Kangura, dua corong resmi dominasi Hutu.
Apa hasilnya? Benar, dehumanisasi.
Dalam narasi-narasi yang disajikan di editorial Kangura, secara vulgar digambarkan bahwa para kecoak suka mengendap-endap, dan dengan berselubung kegelapan mereka merangsek dan menyusup. Semua itu berkembang di masyarakat Hutu dengan fantasi kolektif bahwa orang-orang Tutsi memang seperti kecoak: busuk, kotor, dan menjijikkan. Maka, mereka layak dibasmi. Maka, tak ada bedanya kecoak dewasa, laki-laki, perempuan, anak-anak. Mereka semua cuma kecoak.
Hasil dari propaganda dehumanisasi itu sangat efektif. Sekali lagi: dalam waktu relatif singkat, hampir sejuta nyawa orang-orang Tutsi tumpas sia-sia.
***
Tiga dekade sebelum pembantaian di Rwanda, Indonesia pun mengalami tragedi yang nyaris serupa. Tak kurang dari setengah juta orang dihabisi, tak peduli banyak di antara mereka yang tak bersalah atau tak tahu apa-apa. Tanpa mengecilkan proses panjang konflik sebelumnya, muncul pula mekanisme "pengiblisan" melalui ujaran verbal. Ini tentang bagaimana kata "PKI" secara psikologi massa bukan lagi mengacu kepada nama organisasi, melainkan sudah nama "makhluk".
Jadilah, tidak ada kalimat semacam "diculik orang PKI" atau "dibunuh anggota PKI" maupun "direbut kader PKI". Yang santer dikabarkan adalah "diculik PKI", "dibunuh PKI", dan "direbut PKI". Dalam gejala kebahasaan itu, tampak dilenyapkannya eksistensi individu dalam sebuah proses dehumanisasi, dan baik organisasi maupun person dipukul rata dalam sebuah citra sosok demon yang mengerikan.
Saya tak ingin membahas lebih jauh dehumanisasi dalam istilah "PKI" yang tak lagi mengacu kepada nama parpol itu. Ini tahun politik, saya takut HP Anda semua dirazia tentara kalau membaca tautan tulisan ini. Saya ingin membicarakan apa yang telah dan terus terjadi saat ini saja.
Begini. Kita sudah demikian akrab dengan istilah "cebong" dan "kampret". Cebong menjadi istilah gampang untuk pendukung Jokowi dan Ahok, sedangkan kampret untuk pendukung Prabowo dan, tentu saja, Anies Baswedan.
Nah, dengan segenap ilustrasi yang saya gambarkan terjadi di Eropa, Amerika, juga Afrika, apakah ungkapan cebong dan kampret juga merupakan satu langkah menuju dehumanisasi?
Tiba-tiba, saya takut menyadari hal ini. Ketakutan saya bukan sejenis ketakutan heroik yang gimana-gimana, tapi lebih karena sentilan Ian Wilson membuat saya teringat bahwa saya sendiri pun merupakan salah satu (di antara ratusan ribu) pelaku yang sehari-hari di medsos merayakan ujaran-ujaran "cebong" dan "kampret".
Tentu, saya tidak hendak membandingkan kedua label itu dengan hal-hal ala pseudoscience sebagaimana pernah berlaku pada Eropa zaman Hitler dan di Amerika zaman perbudakan. Itu kejauhan. Namun, bagaimana dengan apa yang terjadi di Rwanda? Kecoak, cebong, kampret, bukankah ketiganya mirip-mirip, dalam arti dehumanisasi dengan mekanisme meng-hewan-kan orang lain?
Barangkali saya lebay belaka. Saya sendiri, juga kawan-kawan yang saya kenal, rasanya tidak pernah menggambarkan cebong ataupun kampret sebagai para sub-human, dengan karakter hewani sesuai sematan label masing-masing. Cuma, jangan lupa, ketika sebutan demikian mewabah, yang menikmatinya bukan cuma kalangan kelas menengah gaul terdidik. Pasti ada sebaran ke ranah masyarakat yang lebih awam, yang bisa jadi akan sangat emosional dalam menanggapi ujaran-ujaran semacam itu.
Lantas, bagaimana kalau mereka membayangkan bahwa ejekan "cebong IQ 200 sekolam" itu benar-benar nyata dan berpijak pada realitas? Bagaimana pula jika mereka mengimajinasikan "kampret yang melihat dunia secara terbalik" itu sebagai fakta keras?
Bagaimana jika ucapan-ucapan yang terus direproduksi di media sosial membuat banyak orang awam sangat yakin bahwa cebong adalah para pembenci agama, bergerak bersama demi bangkitnya komunis, dan apalah apalah lainnya? Bagaimana juga bila ada yang sungguh-sungguh membayangkan semua kampret sebagai kaum yang mempersiapkan gerakan solid untuk, misalnya, menegakkan khilafah sembari menumbangkan Pancasila?
Ini bukan perbincangan tentang moralitas normatif. Abaikan dulu yang begitu-begitu. Ini sebentuk kecemasan tentang psikologi massa dan efek-efek sosial yang tidak mustahil mengikutinya: jangan-jangan kita sedang merasa bercanda, atau cuma mengidentifikasi kelompok lain dalam istilah generik suka-suka dan tak serius-serius amat, namun di sudut-sudut dunia yang tak kita jangkau, semua itu jadi langkah kecil namun pasti menuju proses dehumanisasi?
Duh, Gusti. Saya kok tiba-tiba merasa ngeri.
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini