Ba'asyir dinyatakan terbukti merencanakan dan menggalang dana untuk pembiayaan pelatihan militer kelompok teroris yang mengadakan latihan bersenjata di Provinsi Aceh. Dengan kata lain, Ba'asyir hingga saat ini sudah menjalani masa hukuman sekurang-kurangnya 9 tahun.
Sebelumnya, dalam debat Paslon Capres-Cawapres (17/10) Jokowi sendiri berkomitmen untuk memberantas terorisme. Bahkan bila perlu sampai ke akar-akarnya. Maka, wajar saja jika rencana itu dinilai kubu oposisi memiliki muatan politis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masalahnya, apakah pembebasan Ba'asyir akan memiliki efek signifikan bagi keberlangsungan terorisme di Indonesia masa depan? Kita tidak tahu pasti.
Yang jelas, sosok Ba'asyir dalam pergumulan aksi teror tidak bisa dipandang remeh. Rekam jejaknya dalam sejumlah aksi teror pun tidak sulit untuk dicari. Sementara, ciri paling fundamental dari sosok Ba'asyir adalah tentang wacana penegakan syariat Islam di Indonesia. Dan, salah satu warisan ideologis Ba'asyir sehubungan dengan wacana formalisasi syariat Islam itu adalah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang berdiri pasca Reformasi 1998 dan masih eksis hingga saat ini.
Mohammad Yahya (2012) dalam penelitiannya mencatat bahwa berdirinya MMI tidak lepas dari sebuah polemik dengan organisasi jihadis ekstrem lainnya, Jamaah Islamiyah (JI) yang Ba'asyir turut aktif di dalamnya. Bahkan setelah pemimpin tertinggi JI Abdullah Sungkar meninggal, Ba'asyir menggantikan posisinya sebagai ketua JI.
Namun, banyak anak buah Sungkar hasil rekrutan di Indonesia, terutama kaum muda yang lebih militan, merasa tidak puas dengan peralihan kepemimpinan ke tangan Ba'asyir. Beberapa di antara kelompok yang lebih muda tersebut meliputi Riduan Isamuddin alias Hambali, Abdul Aziz alias Imam Samudra, Ali Gufron alias Muclas, dan Abdullah Anshori alias Abu Fatih.
Kelompok muda ini, lanjut Yahya, menilai Ba'asyir terlalu lemah dan bersikap akomodatif secara berlebihan, serta mudah dipengaruhi orang lain. Akibat perpecahan itu Ba'asyir pun kecewa. Dan, bersama dengan rekan-rekannya ia lalu memutuskan keluar sekaligus mendirikan MMI.
Pada perkembangannya, di bawah komando Ba'asyir MMI menjelma sebagai organisasi basis (tansiq) bagi kelompok atau individual muslim yang mempunyai orientasi dan metode gerakan untuk memperjuangkan formalisasi syariat Islam di Indonesia. Hal itu tampak, umpamanya, dalam visi dan misi yang diusung MMI yakni menegakkan syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan umat Islam Indonesia, baik di lingkup pribadi, keluarga, maupun sosial-kenegaraan.
Dalam konteks ini, mengutip Iqbal Ahnaf (2004), HTI boleh jadi merupakan organisasi yang orientasinya sama namun beda haluan dengan MMI. Mereka sama-sama mencita-citakan tegaknya syariat Islam di Indonesia, tetapi memiliki pandangan berbeda dalam metode perjuangannya.
HTI, misalnya, meyakini bahwa pelaksanaan hukum Islam hanya bisa dilakukan melalui penegakan Khilafah Islamiyah. Hukum Islam, terutama yang berhubungan dengan urusan publik seperti hudud, jinayah, dan ta'zΔ«r ini menurut HTI hanya bisa diemban oleh sitem khilafah, bukan individual, kelompok, presiden, atau perdana menteri.
Sedangkan, kata Iqbal, tidak demikian dengan MMI. Meski senantiasa mengecam sistem sekuler laiknya HTI, namun MMI masih percaya bahwa hukum Islam bisa diterapkan di Indonesia dengan mengakomodasi bentuk negara Republik Indonesia. Bahkan, sekalipun menganggap demokrasi sebagai sistem kufur, akomodasi secara terbatas terhadap demokrasi juga dapat dilihat dari draft alternatif UUD 45 ala MMI yang disesuaikan dengan syariat Islam dan usulan Undang-Undang Hukum Pidana Republik Indonesia disesuaikan dengan syariat Islam.
Tak hanya itu, menurut salah satu founding MMI Irfan S Awwas (2003) dalam Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba'asyir, usulan tersebut mereka kirimkan ke berbagai pihak termasuk lembaga-lemba tinggi negara di Indonesia. Bahkan mereka juga mengirimkan draft itu kepada sejumlah tokoh dunia pada waktu itu, termasuk kepada Megawati, George W. Bush, dan Saddam Hussein sebagai seruan untuk menerapkan sistem Islam.
Karenanya di titik ini, meski tidak cukup balance dengan "gift" pembebasannya, saya rasa tidak aneh ketika Ba'asyir enggan meneken ikrar setia pada Pancasila sebagai salah satu mekanisme bebas bersyarat. Sebab, sejak awal yang menjadi perhatian Ba'asyir melalui MMI bukanlah khilafah-tidak khilafah, tapi tentang syariat-tidak syariat. Kendatipun keduanya, lebih-lebih yang terakhir itu, merupakan topik yang masih bisa diperdebatkan, tentu saja.
Lebih jauh, sebagaimana diakui Presiden Jokowi sendiri, bahwa rencana itu telah melalui berbagai pertimbangan yang panjang dengan Kapolri, dengan pakar, dan terakhir dengan Yusril Ilzha Mahendra. Artinya, spekulasi berkenaan dengan risiko apapun nanti yang akan terjadi jelas sudah diperhitungkan. Normalnya sih begitu.
Lebih-lebih mengingat peradaban modern dengan segala kecanggihan teknologinya seperti hari ini, saya kira bukanlah hal yang sulit bagi aparat keamanan kita membidik jejaring teror di seluruh Indonesia. Apalagi cuma sekadar memantau pergerakan Ba'asyir jika memang masih berencana untuk mengulangi "dosa" masa lalunya.
Akhirnya, jika memang benar pertimbangan Presiden Jokowi adalah atas kesadaran kemanusiaan, tentu kita perlu sambut dengan suka cita. Sebab, jika narapidana terorisme saja bisa bebas tanpa syarat, apalagi terpidana semisal Meiliana, Baiq Nuril, Budi Pego, Kiai Nur Azis Surokonto yang, mengutip koordinator Subkomisi Pemajuan Komnas HAM Beka Ulung Hapsara sebetulnya tidak layak dijerat hukum, sehingga logis dan lebih humanis kalau dibebaskan.
Anwar Kurniawan aumnus STAI Sunan Pandanaran, aktif di Komunitas Santri Gus Dur Jogja
(mmu/mmu)