Survei baru-baru ini menunjukkan bahwa bagi generasi milenial, persoalan bangsa yang paling mendesak diselesaikan adalah ekonomi dan stabilitas harga (19%), lalu lapangan pekerjaan dan pengangguran (14%). Dua hal ini menempati posisi puncak dibanding persoalan-persoalan lain seperti kemiskinan, korupsi, dan lain-lain. Sebagian besar mereka merasa khawatir tidak mampu bersaing di era digital (58,8%) dibanding sebagian yang cukup percaya diri (27,7%) (Kompas,14/12/2018).
Konsisten sekaligus mengonfirmasi hal itu, pertengahan tahun lalu CSIS merilis bahwa kesulitan utama yang dirasakan oleh pemuda adalah terbatasnya lapangan pekerjaan (25,5%), lalu tingginya harga sembako (21,5%).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebab tak kuat menahan penasaran, dia lantas bertekad membukanya. Benar saja, aroma menakutkan dan suara-suara kerumunan menyembur keluar. Ia sadar telah melakukan kesalahan fatal. Namun, semua sudah terlambat. Guci itu tak lagi bisa ditutup. Dengan penuh penyesalan ia meratapi bahwa teror telah lahir dari dalam guci itu ke seluruh dunia dan menjangkiti umat manusia. Kejahatan, kelaparan, kegilaan, kedengkian, wabah penyakit, keserakahan, perang dan segala kengerian lain terus menyebar dari mulut guci itu.
Di era kekinian, Kotak Pandora kiranya dapat menjadi metafor atas disrupsi digital yang melanda dunia. Sementara sosok Pandora sendiri dapat mewakili keberadaan pemuda masa kini. Pemuda di era revolusi digital menghadapi situasi ketidakmenentuan yang sangat besar.
Tak bisa dimungkiri, perkembangan teknologi digital yang kian cepat memang telah menggeser kemapanan struktur kehidupan secara drastis. Dari yang bersifat teknis operasional hingga hal-hal substantif seperti standar nilai (kebenaran). Tidak terkecuali bidang lapangan kerja. Diversifikasi pekerjaan terasa semakin besar. Namun, beriringan dengan itu kompetisi di dunia kerja juga makin ketat. Apalagi menyongsong era bonus demografi di mana jumlah populasi angkatan kerja usia produktif adalah yang terbanyak.
Lebih jauh, besarnya populasi pemuda itu masih belum berimbang dengan tingkat pendidikan yang mendukung. Data BPS 2018 memperlihatkan bahwa prosentase terbesar dari generasi muda itu masih berpendidikan SMP ke bawah, yakni 58,76% --turun dari tahun lalu sebesar 59,61%. Kondisi yang demikian menggelisahkan ini kiranya membutuhkan refleksi bersama, khususnya pemerintah.
Himpitan dan Harapan
Simalakama pemuda sebagai pengguna utama teknologi digital (digital natives) berada dalam setidaknya tiga himpitan. Pertama, mereka dihimpit oleh perkembangan teknologi digital di mana mereka sebenarnya juga sebagai bagian penting di dalamnya sebagai netizen. Digitalisasi kehidupan telah secara simultan mengambil alih peran manusia dalam menjalankan pekerjaan.
Para ahli beranggapan bahwa hanya pekerjaan yang masih melibatkan pendekatan emosional, psikologis, dan afektif tidak dapat digantikan oleh teknologi. Sementara pekerjaan yang bersifat teknis dan terpola kini sudah banyak dikendalikan oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence). Walau demikian, tidak sedikit pula cerita-cerita sukses para pemuda yang secara mandiri memanfaatkan teknologi software via online tersebut.
Kedua, keterbukaan ekonomi (globalisasi) telah meningkatkan mobilitas tenaga kerja di seluruh penjuru dunia. Mau tidak mau pemuda harus memiliki daya saing global kalau tidak ingin tergilas zaman. Ketiga, bonus demografi yang tinggal menunggu beberapa tahun lagi berimplikasi pada semakin ketatnya kompetisi di dunia kerja dalam negeri. Generasi Y dan Z yang nantinya saling bersaing memperebutkan lahan pekerjaan.
Menghadapi kondisi yang kompleks tersebut hendaknya butuh persiapan matang terutama oleh pemerintah. Penyeimbangan kemampuan akademis (hard skill) dan keterampilan lapangan (soft skill) harus terus diupayakan dalam semua jenjang kurikulum pendidikan. Di samping itu, sinkronisasi kebijakan dari pusat ke daerah dalam memproteksi tenaga kerja domestik juga sangat urgen. Termasuk dalam hal ini adalah penyeimbangan dengan kebutuhan investasi.
Secara umum, hubungan antara pemerintah, perusahaan, institusi pendidikan, dan tenaga kerja dalam negeri harus terus dikuatkan. Walhasil, apa yang terlewatkan dari epos Kotak Pandora di atas, yakni harapan, yang masih tertinggal di dalam guci itu, kiranya menjadi pegangan yang harus terus kita rawat bersama. Harapan sembari ikhtiar untuk terus berjuang.
Fahrul Muzaqqi dosen di Departemen Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga Surabaya, Koordinator Bidang Kajian Isu Strategis di Lakpesdam NU Jawa Timur
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini