Menilai Keunggulan Paslon dalam Debat
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menilai Keunggulan Paslon dalam Debat

Jumat, 18 Jan 2019 16:20 WIB
MUH BAHRUDDIN
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Capres Jokowi dan Prabowo bersalaman usai debat (Foto: Rengga Sancaya)
Jakarta -

Tak ada kecap nomor dua. Kedua timses pasangan calon (paslon) masing-masing menilai bahwa paslonnya adalah yang paling unggul dalam debat capres-cawapres yang digelar pada 17 Januari 2019 kemarin.

Debat memang tidak seperti permainan sepak bola yang memiliki parameter jelas sehingga bisa dinilai secara objektif. Dalam sepak bola, siapa pun bisa melihat tim mana yang lebih unggul dengan hanya menyaksikan berapa jumlah gol yang dimasukkan ke kandang lawan. Tapi dalam debat, tidak ada paramater yang jelas sehingga penilaiannya bersifat subjektif. Meski demikian, kita perlu melihat lebih jernih bagaimana plus-minus masing-masing paslon.

Capres nomor satu Jokowi, sebagaimana diduga banyak pengamat, kesulitan beretorika dengan lancar. Skill ini memang menjadi kelemahan Jokowi sehingga mudah diketahui lawan. Bahkan tampaknya Jokowi juga menyadari kelemahannya itu. Karenanya, selama debat dia terkesan sangat hati-hati. Beberapa diksi diulang-ulang, entah karena untuk menegaskan atau karena berpikir untuk membuat kalimat selanjutnya.

Penyampaian visi dan misi Jokowi juga dilakukan dengan membaca teks. Mungkin ini bisa dipahami karena jika ada satu kata saja yang salah, maka akan menjadi bumerang bagi dia, terutama karena dia juga sebagai seorang presiden. Saat menjabat, presiden kelima Megawati juga selalu menggunakan teks saat berpidato, tapi dia tidak lagi menggunakan teks ketika sudah tidak lagi menjabat. Bahkan bisa dibilang sangat luwes dan sesekali mengeluarkan joke untuk mencairkan suasana. Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono juga kerap melakukan hal yang sama.

Namun dalam konteks debat, justru kelemahan Jokowi inilah yang tampak lebih mononjol. Dia tampak kaku, tegang, dan tampil dengan wajah yang jauh dari senyum khas seorang Jokowi. Padahal saat di lapangan, Jokowi adalah individu yang santai dan memiliki selera humor tinggi. Karakteristik ini tak terlihat sama sekali selama proses debat.

Sebaliknya, capres nomor dua Prabowo dengan penuh percaya diri menyampaikan visi-misinya tanpa sekalipun melihat teks. Apa yang menjadi cita-citanya terhadap bangsa Indonesia seolah di luar kepala. Prabowo tampak lebih jago public speaking. Dia lebih tenang dan santai saat menyampaikan visi dan misi jika ia terpilih menjadi presiden. Di titik ini, Prabowo jelas jauh lebih unggul. Hanya saja kepercayaan dirinya yang berlebihan itu justru kerap menjadi blunder, ceroboh, dan tidak hati-hati. Akibatnya seringkali data-data yang disampaikan tidak akurat. Untuk sekadar menyebut contoh, Prabawo menyebut Jawa Tengah lebih luas daripada Malaysia.

Jokowi lebih banyak memberikan contoh konkret. Ini wajar karena dia adalah petahana yang setiap hari mendapat laporan dari para bawahannya, selain dia sendiri juga kerap turun di lapangan untuk mencari dan menyelesaikan permasalahan. Dia tahu realitas yang terjadi di banyak wilayah. Kelebihan inilah yang dimanfaatkan Jokowi untuk menyerang Prabowo tentang banyaknya mantan caleg napi koruptor di Partai Gerindra, partai yang dipimpin Prabowo. Serangan ini dilesakkan dengan jitu oleh Jokowi sehingga berhasil membuat Prabowo gelagapan.

Berbeda dengan Jokowi, Prabowo sangat konseptual. Penjelasan dengan cara seperti ini memang bisa dipahami oleh penonton berlatar belakang pendidikan tinggi, tapi untuk meraih pemahaman sebagian besar penonton di Indonesia tentu akan kesulitan mencerna. Penjelasan secara konseptual seperti tampak di awang-awang. Padahal masyarakat hanya ingin mengetahui apa yang harus dilakukan seorang presiden jika terjadi satu kasus tertentu.

Bagaimana dengan kualitas cawapres? Saya yakin di awal-awal debat, sebagian besar masyarakat cukup kecewa dengan penampilan Kiai Ma'ruf yang banyak diam dan sami'na wa atha'na pada capresnya. Beruntung saat sesi tema terorisme, Kiai Ma'ruf berhasil menyelematkan mukanya sekaligus pasangannya. Kiai Ma'ruf sangat menguasai materi, permasalahan, dan solusi terkait isu terorisme di Indonesia. Bahkan bisa dibilang, Kiai Ma'ruf adalah paslon paling tenang, tidak emosional, dan tak ada kesan menyerang kepada lawan, sehingga siapa pun yang mendengarkan penjelasannya, termasuk kubu Prabowo-Sandi, tak berani membantahnya. Sepanjang acara debat, sisi keulamaan Kiai Ma'ruf sangat terlihat.

Sementara Sandiga Uno, dia jauh lebih tenang dan sistematis daripada saat dia ikut debat dalam cagub-cawagub DKI. Jika saat itu dia terlihat lugu dan "cupu", debat kali ini dia lebih dewasa, lebih cerdas, dan tidak emosional, sekalipun dia tetap tidak berubah kelucuannya (baca: humoris). Bagi dia, ajang perdebatan capres-cawapres adalah arena hiburan. Karena itu dia tampak bicara tanpa beban dan sangat menikmati panggung.

Sayang, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu melakukan kesalahan komunikasi nonverbal yaitu ketika dia menepuk-nepuk pundak Prabowo. Komunikasi ini menunjukkan bahwa Prabowo lebih emosional sekaligus menunjukkan bahwa Sandi lebih bijak. Ini jelas merugikan mereka, terutama Prabowo sebagai capres. Sekalipun ini dilakukan Sandi untuk menjaga suasana debat agar lebih tenang dan penuh keakraban.

Saya tidak akan menilai dengan cara memberikan skor kepada kedua paslon karena sekali lagi debat bukanlah sepak bola. Silakan menilai sendiri. Karena saya yakin yang menjadi pendukung fanatik tetap fanatik. Maka kualitas dan keunggulan tetap berada di paslon yang didukung.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengaruh debat hanya terjadi pada swing voters (tidak fanatik dan kemungkinan bisa berubah) serta undecided voters (belum memutuskan siapa yang akan dipilih). Mereka inilah yang bisa menilai secara jernih siapa paslon yang dianggap lebih berkualitas dan unggul. Lepas dari itu, saya mengapresiasi media-media nasional yang menyambut Pilpres 2019 dengan gegap gempita dan bergembira, layaknya acara Piala Dunia. Salam damai!

Muhammad Bahruddin dosen Media dan Komunikasi pada Prodi Desain Komunikasi Visual Stikom Surabaya, kandidat Doktor Komunikasi Universitas Indonesia

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads