Dengan demikian, rakyat perlu harus diingatkan agar tetap logis dan kritis dalam mempertimbangkan calon yang hendak dipilih. Jangan sampai rakyat tersihir debat Capres-Cawapres. Masalahnya, siapa yang punya hak memperingatkan rakyat? Jawabannya, bisa saja lembaga seperti KPU sebagai panitia penyelenggara kontestasi demokrasi. Sebab, KPU tentu ingin kontestasi demokrasi menghasilkan pemimpin terbaik bagi bangsa dan negara.
Selain KPU, pers tentu juga bisa mengingatkan rakyat agar tidak mudah terpesona sihir politik bernama debat kandidat. Alasannya bisa dibeberkan panjang lebar di media masing-masing. Misalnya, debat kandidat hanya berlangsung terbatas dan berpotensi menyederhanakan masalah besar bangsa dan negara. Mustahil masalah-masalah besar mampu dijawab atau diperdebatkan dengan proporsional hanya dalam hitungan menit.
Dengan media yang ada, pers bahkan bisa mengedukasi rakyat dalam hal memilih pemimpin, dalam bentuk pembeberan data-data akurat tentang kelebihan dan kekurangan kandidat dan masa depan serta kendala yang akan dihadapi bangsa dan negara, yang mustahil bisa diperdebatkan dengan proporsional di acara debat kandidat.
Optimis vs Pesimis
Debat kandidat akan menjadi sihir politik jika masing-masing kandidat dengan tegas memiliki karakter yang berseberangan. Misalnya, yang satu bersikap optimistis, yang satunya bersikap pesimistis.
Dalam hal apa pun yang diperdebatkan, optimis versus pesimis akan sangat menarik dan mengaduk-aduk logika. Mungkin akan muncul paradoks-paradoks yang sulit dipahami rakyat.
Misalnya, kandidat yang optimistis mungkin akan merasa mampu menggratiskan semua biaya pendidikan dan menurunkan semua harga sembako, tapi kandidat yang pesimistis pasti menyatakan hal tersebut mustahil bisa direalisasikan. Pada titik ini akan muncul debat sengit jika masing-masing mempertahankan sikapnya.
Dan, di titik inilah rakyat perlu diingatkan bahwa masalah yang dihadapi bangsa dan negara tak mungkin bisa dibereskan hanya dengan sikap optimistis atau pesimistis. Kedua sikap tersebut hanya penting untuk dimiliki pemimpin dalam membangun sikap bijak. Namun, masalahnya, karena masing-masing kandidat ngotot mempertahankan sikap masing-masing, maka sangat sulit untuk bersikap bijak.
Sebaliknya, bisa jadi masing-masing kandidat akan terjebak ke dalam sikap emosional dengan saling menyalahkan atau bahkan mencela, sehingga mirip debat kusir (semua ingin benar sendiri, maka terjadilah pertengkaran hebat). Jika sudah demikian, debat kandidat tentu akan menarik, namun tak ada gunanya bahkan merunyamkan masalah-masalah yang diperdebatkan.
Populis vs Elitis
Debat kandidat dapat dipastikan selalu diwarnai sikap populis dan elitis. Kandidat yang polulis akan suka membeberkan program-program kerja yang intinya peduli rakyat miskin. Sebaliknya, kandidat yang elitis akan suka membeberkan peningkatan kemajuan yang telah dinikmati kelas menengah atas.
Logika populis maupun elitis sebetulnya nyaris sama saja, karena substansinya ingin mewujudkan kemajuan bangsa dan negara. Cuma, yang populis lebih fokus ingin menyenangkan rakyat miskin. Karena menurut logika, jika yang miskin sudah makmur, maka makmur pula bangsa dan negara.
Sebaliknya, yang elitis ingin menyenangkan rakyat yang sudah relatif makmur, sehingga tidak ada lagi rakyat miskin karena yang makmur pasti akan membantu yang miskin. Misalnya, jika jumlah pengusaha besar dan menengah naik, maka jumlah pekerja pun akan ikut naik. Jika jumlah penghasilan kaum pengusaha naik, maka naik pula upah kaum pekerja.
Jika debat kandidat betul-betul populis versus elitis tentu sangat menarik. Namun, bisa juga akan terjebak dalam debat kusir juga. Bahkan, bisa saja akan seperti perdebatan tentang silsilah ayam dan telur yang konyol.
Di sinilah pentingnya rakyat diingatkan bahwa masalah bangsa dan negara tidak cukup dihadapi dengan sikap populis maupun sikap elitis. Kalaupun kedua sikap tersebut diperlukan, hanya sebatas sebagai dasar untuk membangun sikap bijak dan bajik seorang pemimpin dalam mewujudkan kesejahteraan bangsa dan negara. Maka, peran panelis (pakar) dalam debat kandidat selayaknya bisa mencerahkan bagi kandidat dan rakyat, sehingga hasil kontestasi demokrasi akan betul-betul yang terbaik bagi bangsa dan negara.
Agresif vs Defensif
Jika debat kandidat diikuti petahana dan sang penantang yang belum pernah menang pemilu, pastilah akan diwarnai sikap agresif versus defensif. Dalam hal ini, petahana akan cenderung defensif, sebaliknya sang penantang akan cenderung agresif.
Sikap defensif petahana lazimnya dijabarkan dalam bentuk pamer keberhasilan yang telah diraih, sehingga dianggap perlu untuk dipertahankan dan ditingkatkan lagi pada masa-masa mendatang.
Sebaliknya, sikap agresif sang penantang akan dibeberkan dalam bentuk evaluasi atas kinerja lawan yang dianggap sangat mengecewakan, sehingga pemimpin baru diperlukan untuk mengobati kekecewaan sekaligus memupuk harapan baru. Pada titik ini, sang penantang mungkin akan menyerang dengan kritikan pedas atau mencela.
Namun, petahana lazimnya punya banyak tameng untuk meredam serangan sang penantang, yang berupa pengalaman memimpin dan pengetahuan tentang banyak masalah yang telah, sedang, dan akan dihadapi bangsa dan negara. Pada titik ini, bukan tidak mungkin petahana akan meremehkan sang penantang dengan anggapan tidak punya pengalaman memimpin, sehingga mustahil mampu mengatasi masalah besar bangsa dan negara.
Jika sudah begitu, debat kandidat boleh jadi akan memanas dan makin menarik, tapi tak banyak gunanya bagi rakyat. Bahkan, debat yang sudah memanas mungkin makin diwarnai pernyataan-pernyataan emosional, sehingga rakyat bisa ikut-ikutan emosional. Ujung-ujungnya, rakyat bisa salah pilih yang hanya bisa disesali pada kemudian hari.
Nasionalitas vs Globalitas
Debat kandidat pada era modern dapat dipastikan akan mencuatkan masalah nasionalitas versus globalitas, karena kedua masalah tersebut memang selalu menjadi dua kutub kebijakan setiap pemimpin bangsa dan negara.
Misalnya, nasionalitas versus globalitas logistik yang berkelindan dengan kebijakan ekonomi yang telah terikat dengan perjanjian-janjian bilateral antarnegara. Seperti ekspor-impor bahan pangan, energi, dan tenaga kerja.
Bagi kandidat yang cenderung mementingkan nasionalitas, mungkin akan mencela impor beras atau tenaga kerja, padahal semuanya telah terikat kesepakatan bersama negara-negara lain. Di sinilah pentingnya rakyat diingatkan bahwa kandidat yang "sok nasionalis" bisa menyesatkan.
Lazimnya, petahana akan cenderung berusaha menjaga keseimbangan antara nasionalitas dan globalitas karena telah punya pengalaman memimpin dan memahami segala masalah nasional dan global yang mengikat semua negara.
Sebaliknya, sang penantang bisa cenderung ingin menonjolkan nasionalisme untuk menarik simpati rakyat, padahal jika terpilih pasti juga akan tunduk pada rumus-rumus kesepakatan global yang ada. Di sinilah pentingnya rakyat diingatkan bahwa siapa pun nanti yang terpilih harus mampu mengatasi masalah nasionalitas dan globalitas dengan bijak. Tak boleh dan tak bisa lagi nasionalitas mengorbankan globalitas dan sebaliknya, karena semuanya telah disepakati bersama negara-negara lain.
Begitulah. Debat kandidat memang layak dianggap penting sebagai pelengkap kampanye politik, tapi juga boleh dianggap tidak begitu penting sebagai referensi bagi rakyat dalam menentukan pilihan politik.
Bahkan, jika debat kandidat justru hanya sebagai sihir politik, sehingga rakyat tersihir atau terpesona dan tak bisa lagi bersikap cermat secara rasional, layak dipertimbangkan untuk ditiadakan. Lagi pula, bangsa kita punya budaya politik musyawarah dan gotong royong yang lebih "ramah lingkungan" dalam arti luas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(mmu/mmu)











































