Debat calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2019 tinggal menghitung jam. Debat perdana mengusung tema soal hukum, HAM, korupsi dan terorisme. Saya kira, tema tersebut sangat menarik. Bahkan sebelum pelaksanaannya pun sejumlah media elektronik, daring, dan cetak menyiarkan warming up dari kedua tim sukses pasangan calon.
Entah kebetulan atau sudah didesain oleh Komisi Pemilihan Umum, penetapan debat pertama tersebut memiliki arti lain yang mendalam bagi hamparan sejarah bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut, Indonesia dan Belanda menandatangani konsesi yang disebut Perjanjian Renville, 71 tahun lalu. Bagi pemimpin Indonesia kala itu, perjanjian ini merupakan negosiasi baru yang terpaksa ditempuh setelah Belanda ingkar terhadap Perjanjian Linggarjati.
Secara prinsip, konsesi ini merugikan Republik Indonesia dari berbagai sisi. Dari sisi ekonomi, daerah-daerah penghasil sumber daya dikuasai Belanda akibat kebijakan Garis van Mook. Dari sisi keamanan, Belanda menekan Republik untuk segera menarik TNI dari daerah kekuasaan Belanda. Dari sisi politik, kabinet Amir Sjarifuddin jatuh lantaran partai-partai politik tidak percaya lagi sehingga mengundurkan diri dan berdemonstrasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara politik luar negeri, posisi Indonesia tidak terlalu menguntungkan di hadapan Belanda. Indonesia mendapat dukungan dari India, Rusia, Polandia, Kolombia, dan Australia yang tidak mampu mengalahkan dominasi Amerika Serikat dan Inggris.
Meski Amerika menyebutkan kebijakan pengusulan sebuah dewan yang berisi tiga negara dalam Komisi Tiga Negara (KTN) sebagai "jasa baik", namun politik yang diperankan negara pemenang perang itu cenderung berpihak ke Belanda.
Dalam situasi tersebut, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo menganggap bahwa Republik sudah bubar sehingga ia mendeklarasikan Negara Islam Indonesia (NII).
Meski tersudutkan, Mohammad Hatta dalam Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi mengungkapkan keyakinannya bahwa Republik akan meraih kemerdekaan secara utuh, meski bayang-bayang gempuran militer Belanda semakin nyata sebagai konsekuensi Perjanjian Renville. Keyakinan Hatta tersebut didapatkan saat berdialog dengan PM India Jawarhalal Nehru lantaran Belanda telah melanggar Perjanjian Linggarjati di mana seluruh daerah Indonesia akan merdeka.
Meski tersudutkan, Mohammad Hatta dalam Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi mengungkapkan keyakinannya bahwa Republik akan meraih kemerdekaan secara utuh, meski bayang-bayang gempuran militer Belanda semakin nyata sebagai konsekuensi Perjanjian Renville. Keyakinan Hatta tersebut didapatkan saat berdialog dengan PM India Jawarhalal Nehru lantaran Belanda telah melanggar Perjanjian Linggarjati di mana seluruh daerah Indonesia akan merdeka.
Mahatma Ghandi justru lebih ekstrem lagi menyebut bahwa jika Belanda kembali menghidupkan Hindia Belanda setelah kalah dan digantikan oleh pendudukan Jepang, tentu mereka tidak menatap perubahan yang terjadi setelah Perang Dunia II. Sejak saat itulah, tulis Hatta, semboyan "sekali merdeka tetap merdeka" semakin bergelora.
Debat Cerdas
Sejatinya, pada debat pembuka, publik perlu mendapat pencerahan yang gamblang dan tegas dari dua kandidat dan partai politik yang berkompetisi pada Pemilu 2019. Strategi debat yang mencerdaskan bukan hanya untuk politik an sich, namun juga harus diarahkan pada upaya menghindarkan nalar fanatisme kolektif.
Sejatinya, pada debat pembuka, publik perlu mendapat pencerahan yang gamblang dan tegas dari dua kandidat dan partai politik yang berkompetisi pada Pemilu 2019. Strategi debat yang mencerdaskan bukan hanya untuk politik an sich, namun juga harus diarahkan pada upaya menghindarkan nalar fanatisme kolektif.
Secara psikologis masyarakat kita masih mudah terbawa suasana. Jika terdapat hal yang "unik" untuk dibicarakan, maka hal itu sewaktu-waktu akan membentuk pola pikir yang eksklusif menjurus pada sikap intoleransi. Apalagi situasi tersebut masuk dalam dunia politik seperti pemilihan umum ini dengan hanya menampilkan dua calon.
Pengejawantahan itu dapat kita lihat dari efek Perjanjian Renville di mana Republik menjadi pihak yang dirugikan, kendati pun bukan dalam situasi perang.
Pengejawantahan itu dapat kita lihat dari efek Perjanjian Renville di mana Republik menjadi pihak yang dirugikan, kendati pun bukan dalam situasi perang.
Saya ingin mengatakan bahwa baik Perjanjian Renville dan debat capres-cawapres pembuka terselip substansi yang hampir mirip: masyarakat Indonesia dirugikan.
Pertama, perpecahan terjadi oleh sebab politik blokade sebagian wilayah Indonesia disertai pendirian negara-negara bagian oleh Belanda. Wilayah Republik hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera yang berakibat pada krisis ekonomi RI.
Pertama, perpecahan terjadi oleh sebab politik blokade sebagian wilayah Indonesia disertai pendirian negara-negara bagian oleh Belanda. Wilayah Republik hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera yang berakibat pada krisis ekonomi RI.
Kini, upaya blokade itu berwujud pada sikap dan pola pikir yang mencuat di masyarakat. Salah satu contoh paling aktual ialah yang terjadi di Gorontalo, sebab beda pilihan politik harus memaksa dua kuburan dipindahkan.
Kedua, wibawa pemerintah jatuh. Kabinet Amir Sjarifuddin jatuh lantaran ia tidak dipercaya oleh masyarakat terutama partai politik, PNI, dan Masyumi yang melakukan aksi demonstrasi kepadanya. Situasi tersebut dapat kita lihat dalam politik terkini. Posisi pemerintah beserta perangkatnya dicoba oleh anasir-anasir agar tidak memiliki wibawa dengan berbagai upaya dan peristiwa yang dapat mencederai kepercayaan masyarakat.
Dalam situasi tersebut, negara dengan mudah jatuh dan muncul gerakan-gerakan yang berujung pada separatisme, terorisme, atau makar. Apa yang dilakukan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo berada dalam titik ini. Ancaman-ancaman tersebut saat ini seperti bom waktu yang suatu saat dalam meledak.
Hemat saya, berkaca pada tema debat, para kandidat akan memaparkan visi misi untuk lima tahun ke depan. Publik akan menagih komitmen dari Joko Widodo - Ma'ruf Amin dan Prabowo - Sandiaga Uno untuk menjalankan hukum tegas dan berkeadilan secara merata, prinsip HAM ditegakkan, virus korupsi yang menjangkiti lini kehidupan dihancurkan, serta upaya-upaya yang mengandung aksi teror ditindak sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Publik berharap visi misi itu diikat oleh semangat kebangsaan Cap-Rakyat, bukan semangat kebangsaan Cap-Intelek seperti yang diungkapkan Bung Hatta. "...dengan rakyat kita akan naik dan dengan rakyat kita akan turun. Hidup atau matinya Indonesia Merdeka semuanya itu tergantung kepada semangat rakyat..."Cep Deni Muchlis peneliti media di Indonesia Indicator
(mmu/mmu)