Menolak Teror Politik

ADVERTISEMENT

Kolom

Menolak Teror Politik

Asmadji As Muchtar - detikNews
Selasa, 15 Jan 2019 16:20 WIB
Sebuah acara kampanye damai (Foto: Agung Pambudhy)
Jakarta - Selama masa kampanye Pilpres dan Pileg 2019 telah banyak bermunculan pernyataan provokatif dan intimidatif terhadap rakyat dalam berdemokrasi yang diunggah di media sosial dan dijadikan konten ceramah atau kotbah di lingkungan tempat ibadah. Misalnya, kalau rakyat memilih partai atau kandidat tertentu dianggap kafir atau tidak akan masuk surga.

Kasus tersebut bisa menjadi contoh mutakhir adanya teror politik dalam demokrasi di negeri ini. Dalam demokrasi, seharusnya tidak ada pihak yang boleh memaksa pihak lain untuk menentukan pilihan politiknya. Karena itu, semua pilar demokrasi (termasuk pers) harus peduli. Demokrasi harus dibebaskan dari segala bentuk teror politik. Rakyat harus bebas memilih pemimpin sesuai hati nuraninya, tanpa diteror oleh siapa pun dan oleh apa pun.

Labelisasi Demokrasi

Jika teror politik tersebut berkaitan dengan upaya labelisasi demokrasi, misalnya upaya membangun demokrasi di negeri ini menjadi demokrasi agamis, maka tidak jauh berbeda dengan labelisasi demokrasi seperti yang pernah terjadi di masa Orde Lama dan Orde Baru.

Merujuk data empiris, di negeri ini demokrasi pernah diberi label sebagai Demokrasi Terpimpin pada era Orde Lama. Ujung-ujungnya, muncul kehendak yang dipaksakan untuk menjadikan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Atau, label Demokrasi Pancasila pada era Orde Baru, yang disertai teror politik seperti program "kuningisasi" yang betul-betul meneror rakyat. Semua pagar kantor dan rumah harus dicat warna kuning. Rakyat pun terpaksa mengikuti program tersebut.

Labelisasi demokrasi tersebut sekarang dianggap tinggal kenangan pahit yang tak boleh diulang lagi. Sekarang, rakyat Indonesia sudah melek demokrasi sehingga akan menolak setiap upaya labelisasi demokrasi yang ujung-ujungnya bisa merusak demokrasi itu sendiri.

Pada saat ini, rakyat Indonesia sudah sangat dewasa dalam berdemokrasi sehingga harus berani menolak teror politik. Jika masih ada yang mau diajak untuk melakukan teror politik pastilah karena punya kepentingan tertentu seperti mengincar uang, posisi, dan keuntungan lain bagi diri sendiri dan kelompoknya. Misalnya, karena diiming-imingi akan memperoleh imbalan uang dan jabatan, seseorang mau menjadi tim sukses pasangan calon dan mencoba meneror rakyat agar takut dan bergabung dengannya.

Pelanggaran Hukum

Seharusnya, politik di ranah demokrasi berlangsung damai dan nyaman bagi semua pihak. Tapi, bisa berubah menjadi menakutkan bagi pihak-pihak tertentu, karena ada pihak yang melakukan teror politik. Dalam hal ini, elite politik yang mungkin saja diuntungkan, jika tidak menolaknya, layak dianggap ikut merestui teror politik. Dan, jika ada elite politik mendapatkan kekuasaan karena merestui teror politik, bukan tidak mungkin akan memasifkan teror politik untuk melestarikan kekuasaannya.

Sejarah mencatat, dulu rezim Orde Baru bisa bertahan hingga tiga dekade karena selalu memasifkan teror politik. Misalnya, banyak yang ditahan dan dihilangkan karena dianggap subversif hanya karena mengkritik kebijakan pemerintah. Kemudian banyak rakyat takut dan tidak berani mengkritik lagi. Pemilu sebagai pesta demokrasi pun selalu mencekam dan menakutkan.

Akibatnya, kekuasaan rezim Orde Baru semakin membusuk. Lalu, meski rakyat Indonesia terlambat menyadarinya, akhirnya berani memaksa rezim tersebut untuk berhenti berkuasa. Dalam hal ini, rakyat berani karena sejumlah elite politik dan mahasiswa makin giat mendesak adanya suksesi damai dan reformasi.

Seharusnya, di era Reformasi ini, tidak ada pihak yang melakukan teror politik yang menimbulkan ketakutan rakyat dalam berdemokrasi, apa lagi dengan memakai agama.

Selain itu, seharusnya tidak ada pemuka agama di tingkat akar rumput yang juga ikut-ikutan melakukan teror politik yang menakutkan dan meresahkan rakyat hanya karena mendukung kandidat yang sedang bertarung dalam kontestasi politik.

Layak ditegaskan, bisa disebut melanggar hukum, jika fasilitas agama seperti tempat ibadah dijadikan tempat untuk melakukan teror politik yang bisa menakutkan bagi sebagian atau seluruh rakyat yang notabene umat beragama.

Dengan kata lain, teror politik dalam demokrasi harus dikatagorikan sebagai pelanggaran hukum, dan karena itu aparat penegak hukum harus segera menanganinya dengan tuntas. Dalam hal ini, negara jangan sampai kalah menghadapi oknum-oknum yang nyata-nyata telah melanggar hukum dengan melakukan teror politik.

Namun, karena teror politik memakai agama dan tempat ibadah, MUI dan ormas-ormas keagamaan perlu juga bersepakat untuk menghentikannya. Jika teror politik tersebut dibiarkan, tentu bisa berkembang menjadi praktik-praktik pelecehan terhadap agama yang akan terjadi di seluruh pelosok Tanah Air.

Asmadji As Muchtar Dekan FIK Universitas Sains Al-Qur'an, Wonosobo

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT