PDF Buku Bajakan Lebih Jahat Ketimbang Razia

Sentilan Iqbal Aji Daryono

PDF Buku Bajakan Lebih Jahat Ketimbang Razia

Iqbal Aji Daryono - detikNews
Selasa, 15 Jan 2019 15:12 WIB
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono)
Jakarta - Meski jelas-jelas tidak tergolong digital native, sejujurnya saya sekarang lebih nyaman membaca buku dengan Kindle alih-alih dengan buku kertas. Tentu ini pengakuan yang bikin ngomel berjibun kawan saya dari kalangan penerbit buku kertas, juga pelapak online buku-buku kertas. Tapi, apa boleh buat, kenyataan memang pahit.

Sialnya, kepahitan itu dijejalkan juga ke mulut saya sendiri, oleh istri saya sendiri.

"What? Kamu baca Kindle? Pakai PDF bajakan, Pak? Mbok ngrumangsani to. Kamu tuh juga penulis buku, meski nggak banyak tapi makan juga royalti buku. Mosok tega penulis lain kehilangan rezekinya gara-gara kamu embat PDF-nya?" Begitulah kira-kira skakmat dari istri saya, meski tentu saja saya imbuhi dengan sedikit efek dramatisasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Yang jelas, saya langsung lunglai. Benar juga. Nista sekali saya. Memang sih, baca Kindle nggak harus pakai PDF bajakan. Namun, terus terang yang paling gampang diakses dan bertebaran di internet ya PDF bajakan. Dan, membaca PDF bajakan, alias PDF atas buku asli tapi disebar bebas dan gratis tanpa kontribusi ekonomi ke penerbit resmi dan penulisnya adalah perbuatan tercela.

Itulah hari terakhir saya membaca PDF bajakan haram. Selanjutnya, karena memang saya anak Kindle, kadang saya masih juga membaca dalam format serupa. Syaratnya, wajib saya halalkan dulu, atau minimal saya kurangi kadar keharamannya. Caranya adalah saya mencari PDF gratis dari buku yang versi kertasnya sudah saya miliki, namun belum sempat saya baca. Cara lain, kalau saya membaca PDF gratis, saya kemudian membeli buku kertasnya meski cuma saya taruh di rak. Itu langkah paling simpel agar saya tetap memberikan kontribusi dan apresiasi kepada penulis dan penerbitnya.

Nah, kalau terpaksanya masih membaca yang haram-haram, saya batasi kriterianya: buku asing berbahasa Inggris dari penerbit yang sudah kaya raya, dan penulisnya pun saya yakin kaya raya pula hahaha. Maaf, pada bagian ini saya masih belum mampu menahan diri.

***

File PDF gratisan memang bertebaran di internet. Saya baru memerhatikan itu sungguh-sungguh ketika pada suatu kali Profesor Ariel Heryanto mengeluhkan tersebarnya PDF lengkap dan gratis dari buku barunya yang laris itu, Identitas dan Kenikmatan. Gilanya, komplain Prof Ariel di dinding Facebook ditanggapi oleh orang yang mengaku sebagai pelaku penyebaran PDF buku tersebut!

"Bung Ariel, jangan ngambeklah. Ini zaman digital, gue bagi buku gratis demi mencerdaskan anak bangsa yang tak kunjung cerdas. Yang perlu ditegakkan adalah moral intelektual warga agar tidak jadi tukang copy-paste." Begitu bunyi komentar dari Si Om yang mengaku sebagai pelaku penyebaran PDF buku Prof Ariel.

Saya tertegun, dan mencium aroma perjuangan mulia dari misi Si Penyebar PDF. Sangat ideologis, dia. Ibaratnya dia Robin Hood yang menjalankan laku jihad kontroversial, yang secara lahiriah mirip tindak kriminal namun sesungguhnya merupakan aksi kemanusiaan.

Maka, saya pun mampir di blog orang itu, yang memajang ratusan PDF buku gratis.

Pada halaman depan blog, langsung dipajang besar-besar materi tentang Undang-undang ITE dan Undang-undang Hak Cipta. Ini menarik sekali. Saya pun mengekliknya, dan terpampanglah penjelasan dan segudang disclaimer bahwa blog tersebut sama sekali tidak melanggar undang-undang.

Menurut pengelolanya, justru penyebaran PDF gratisan itu sejalan dengan UU ITE, karena dalam UU tersebut ada pasal tentang "pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik yang dilaksanakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia."

Sampai di sini, klaim pengelola blog benar belaka, bahwa memang aktivitas penyebaran PDF buku-buku tersebut demi tujuan edukasi publik.

Kemudian, masuklah ke UU Hak Cipta. Ini yang seharusnya paling bisa digunakan oleh para penerbit dan penulis untuk memidanakan penyebar PDF gretongan.

Sialnya, pada pembahasan bagian ini pun, pengelola blog justru mengklaim mendapatkan payung hukum bagi segala aktivitasnya. Kenapa? Sebab, dalam UU Hak Cipta, perlindungan yang diberikan kepada para pencipta karya atau pemegang hak cipta hanyalah perlindungan dari penggunaan karya-karya untuk tujuan komersial, yang mengambil manfaat ekonomi dari karya-karya tersebut. Adapun jika karya-karya itu dipakai bukan untuk tujuan komersial, lebih-lebih lagi untuk tujuan pendidikan, maka ia sama sekali tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta!

Nah, pengelola blog sekaligus penyebar konten buku-buku PDF gratisan tersebut aman sentausa sudah. Ia tidak mengambil manfaat ekonomi, ia tidak menjual file-file PDF itu, ia menyebarkan buku-buku demi tujuan pendidikan publik, ia tidak memasang iklan AdSense atau iklan apa pun di blog-nya, bahkan ia mengatakan tawaran donasi pun ia tolak semua. Ia bahkan rugi waktu dan biaya demi men-scan buku-buku, juga mengunggahnya dengan keluar ongkos internet dan sebagainya. Sempurna.

Namun, benarkah urusannya sesederhana itu?

***

Dari sisi hukum, penyebaran PDF buku gratis ternyata memang bukan delik pelanggaran hukum. Ini sangat berbeda dengan peredaran bajakan buku-buku kertas di gerai-gerai offline maupun online. Karena memang buku-buku bajakan itu diperjualbelikan, maka aktivitas tersebut jelas-jelas melanggar UU Hak Cipta, dan ia bisa dipidanakan. Sementara itu, penyebar PDF gratis di internet banyak yang melakukannya tanpa tujuan komersial apa pun, sehingga ia tidak bisa disambar pasal-pasal hukum.

Tetapi, yang dapat kita lihat di sini sebenarnya bukanlah tegaknya hukum, melainkan realitas menyakitkan bahwa ternyata undang-undang belum mampu melindungi warga negara, khususnya para penulis dan segenap pemangku kepentingan perbukuan.

Kenapa saya sampai mengatakan demikian?

Begini. Apa yang dilakukan oleh penyebar PDF buku gratisan itu sekilas kelihatan mulia. Ia menyebarkan bacaan kepada masyarakat, tanpa memungut bayaran sepeser pun. Ia sekilas tampak memperjuangkan peningkatan minat dan daya baca publik Indonesia. Sayang, ia tidak menyadari multiplier effect yang dapat ditimbulkan dari aktivitasnya itu.

Pertama, harus disadari bahwa jika misi dia adalah meningkatkan akses bacaan publik, jangan lupa bahwa publik yang mampu mengakses "layanan" dia hanyalah kalangan urban, kelas menengah pula.

Kita simak dulu datanya. Menurut catatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017, lebih dari 50% populasi penduduk Indonesia telah mampu mengakses internet. Mayoritas (72,41%) berasal dari kalangan masyarakat urban. Itu pun porsi terbesar tetap masyarakat Jawa (57,7%), disusul Sumatera (19,09%), Kalimantan (7,97%), Sulawesi (6,73%), Bali-Nusa Tenggara (5,63%), dan Maluku-Papua (2,49%).

Apa yang bisa kita cermati? Ya, para pengunduh file-file PDF buku gratis itu kebanyakan tetap masyarakat kelas menengah di Jawa. Hanya kelas menengah yang memiliki akses atas koneksi data internet yang mencukupi untuk mengunduh file PDF ratusan halaman buku. Hanya kelas menengah pula yang punya akses kepemilikan atas gawai-gawai yang layak dipakai untuk membaca buku dalam format digital. Kelas menengah itu memiliki uang yang sangat cukup untuk membeli buku-buku. Kalaulah mereka malas membeli buku, karena mereka mayoritas tinggal di Jawa, mengakses perpustakaan pun bukan hal yang sulit.

Jadi, secara ringkas bisa saya katakan bahwa aktivitas menyebarkan PDF gratisan hanyalah tindakan salah sasaran. Aktivitas itu memanjakan orang-orang dengan ekonomi berkecukupan, sembari di saat yang sama memiskinkan para penulis Indonesia.

Benar, memang para Robin Hood tadi tidak memperjualbelikan file-file PDF buku. Namun, mari berpikir lebih holistik dan sistemik.

Ini poin kedua setelah poin pemanjaan salah sasaran kepada kelas menengah. Ada ribuan penulis di Indonesia yang mengais-ngais penghidupan dari royalti buku-buku yang mereka tulis. Royalti buku itu sangat sedikit, sering pula dipotong pajak hingga 15%. Para Robin Hood PDF memang tidak mencuri uang para penulis, namun mereka memotong peluang akumulasi royalti para penulis.

Bayangkan situasinya seperti ini. Buku Prof Ariel Heryanto semestinya laku 50 ribu eksemplar, misalnya. Namun, karena sebutlah 20 ribu di antara para peminat buku itu sudah kadung menemukan PDF-nya di internet, maka cuma 30 ribu buku sajalah yang laku terjual.

Tidak apa-apa kalau itu cuma menimpa Pak Prof Ariel, sebab sekelas beliau yang profesor di Monash University tentu sudah tidak perlu mengais-ngais uang royalti. Tapi bagaimana dengan para penulis lain? Sungguh, saya melihat banyak PDF karya penulis yang belum cukup terkenal pun disebar seenaknya.

Akibatnya, motivasi menulis para penulis tersebut bukan mustahil akan nge-drop. Mereka tidak akan bisa hidup dari menulis. Royalti buku yang mereka dapat jatuh di angka mengenaskan, masih dipotong pajak pula. Keputusan akhirnya, para penulis muda Indonesia yang tadinya bermimpi bisa hidup dari menulis, dan bisa menghidupkan dunia membaca di Indonesia, akan menyerah dan gantung keyboard. Mereka memilih berganti profesi yang lebih mengamankan asap dapur keluarga. Jadi driver ojek online, misalnya. Atau, jadi tukang parkir, karena kata Pak Prabowo penghasilan tukang parkir gede-gede.

Indonesia pun akan semakin kekurangan sumber daya penulis-penulis cemerlang. Tak usahlah sok-sokan mengeluhkan rendahnya minat baca dan rendahnya kemampuan memahami bacaan, jika di saat yang sama para penulis dibiarkan mati kelaparan.

Itu baru penulis. Belum lagi penerbit-penerbitnya. Banyak di antara PDF yang disebar itu berasal dari buku-buku babon yang memang bermutu dan jadi referensi wajib orang-orang pintar dan orang-orang yang kepingin pintar. Jika menerbitkan buku-buku bagus malah berisiko dibikin PDF dan disebar gratis, para penerbit akan berkurang minatnya untuk menerbitkan buku-buku serupa. Pelan-pelan, mereka akan meninggalkan itu semua, dan kembali lagi ke produk-produk andalan lama: buku kumpulan tes masuk CPNS dan TNI/Polri. Masyarakat baca Indonesia pun kehilangan buku-buku bagus yang bisa mereka baca.

***

Jadi, secara sistemik, betulkah penyebaran PDF gretongan adalah upaya pencerdasan bangsa? Pencerdasan dari Hong Kong, atau Botswana?

Kita memang lebih suka reaktif merespons razia buku. Kita tak sadar bahwa penyebaran PDF buku gratisan lebih menyeramkan daripada razia. Razia buku hanya melibatkan kebodohan segelintir tentara. Namun, penyebaran PDF buku gratisan, lalu pengunduhannya secara massal, adalah kejahatan yang dilakukan secara komunal.

Iqbal Aji Daryono esais, juru bicara Syarikat Kaum Buku Yogyakarta

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads