Di level wacana para elite, perdebatan politik yang mereka lakukan pun gagal melahirkan perspektif wacana yang segar dan baru. Perdebatan politik lebih banyak berisi makian, cercaan, ujaran kebencian, hingga pelintiran sentimen identitas. Debat politik yang tersaji baik di media massa, terlebih media sosial, cenderung lebih banyak berisi saling olok dengan diksi-diksi yang mencerminkan kedangkalan imajinasi kita. Populernya kata cebong, kampret, dungu, dan lain sebagainya untuk menyebut lawan politik adalah bukti betapa imajinasi politik kita sungguh memprihatinkan.
Politik kita mengalami dekadensi moral, etika, dan intelektualitas yang luar biasa. Lebih parah dari itu, politik kita kehilangan salah satu elemen penting dari politik, yakni unsur kelucuan (sense of humor). Politik, utamanya para elitenya, tidak ubahnya seperti aktor drama berkualitas semenjana yang berlakon secara kaku, tegang, dan menyebalkan. Situasi itulah yang barangkali melatari munculnya lelucon pasangan calon presiden dan wakil presiden fiktif Nurhali-Aldo yang mengklaim diusung oleh "Koalisi Tronjal-tronjol Maha Asyik".
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mendistorsi Realitas
Fenomena pasangan capres-cawapres fiktif Nurhadi-Aldo ini boleh jadi merepresentasikan apa yang disebut Linda Hutcheon sebagai parodi. Dalam bukunya A Theory of Parody (1985), Hutcheon mendefinisikan parodi sebagai salah satu bentuk tiruan atau imitasi yang mengandung unsur kelucuan sekaligus ironi. Parodi dapat berbentuk visual, audio, maupun gabungan dari keduanya.
Selain bermuatan humor, parodi umumnya juga mengandung ungkapan ketidaksukaan, kekecewaan, atau bahkan sesuatu yang lebih dari itu, seperti protes atau bentuk perlawanan lainnya. Karena itulah, parodi kerap kali juga memuat permainan semiotika berupa olok-olok, plesetan, atau pun sindiran terhadap satu isu atau fenomena tertentu.
Sebagai --katakanlah-- produk seni, parodi memunculkan jejaring penafsiran dan tentunya makna baru dari konteks aslinya. Lagu-lagu parodi --untuk menyebut salah satu contoh-- kerapkali berhasil menjungkirbalikkan isi dan makna lagu hanya dengan mengganti sebagian atau keseluruhan liriknya. Lagu cinta yang seharusnya mengharu biru bisa diubah menjadi lagu lucu yang memicu gelak tawa pendengarnya.
Begitu pula dalam konteks parodi visual. Sebuah gambar atau foto yang mendistorsi realitas asli dari gambar atau foto aslinya kerap membuat kita tersenyum simpul. Sebagai misal, ketika lukisan terkenal Monalisa diadaptasi dan diplesetkan ke dalam berbagai bentuk rupa wajah, mulai dari artis Hollywood sampai perempuan tokoh politik terkenal.
Mikhail Bakhtin dalam The Dialogue of Imagination --sebagaimana dikutip oleh Yasraf Amir Piliang (2003)-- menyatakan parodi sebagai bentuk dialogisme tekstual, yakni dua teks atau lebih bertemu dan berinteraksi satu sama lain dalam bentuk dialog yang menghasilkan pertukaran timbal balik makna-makna yang sangat kaya, pluralistik, untuk juga mengatakan multi-interpretatif.
Publik sebagai penikmat seni parodi boleh jadi akan merasa terhibur oleh penjungkirbalikan persepsi dan permainan semiotika (pesan-tanda) yang ditampilkan. Namun, bagi pihak yang diparodikan, semua lelucon dan plesetan itu bisa disikapi secara reaktif dan menganggapnya sebagai sebuah bentuk penghinaan. Namun, justru di situlah fungsi parodi, yakni mengambil jarak dengan teks aslinya. Ia (parodi) berfungsi menguliti sisi-sisi yang selama ini luput atau tidak terpikirkan oleh teks aslinya.
Merayakan Demokrasi
Fungsi parodi sebagai teks baru yang berjarak dengan teks aslinya itu sepertinya juga tampak dalam fenomena pasangan capres-cawapres fiktif Nurhadi-Aldo. Siapa pun yang melihat poster pasangan capres-cawapres fiktif itu di media sosial, hampir bisa dipastikan akan mengasosiasikannya dengan capres-cawapres resmi versi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, keseluruhan komposisi visual dalam poster tersebut pada dasarnya adalah sebentuk teks baru yang memiliki kode semiotika yang khas dibanding teks aslinya.
Mimik wajah yang tampak innocent, ditambah tagline yang menjungkirbalikkan logika adalah paduan ganjil namun berhasil mendekonstruksi realitas politik kita hari ini. Harus kita akui, realitas politik kita belakangan ini gagal melahirkan ide, gagasan, wacana, dan konsep nilai yang layak diperjuangkan. Energi bangsa ini seolah terkuras untuk melakoni jibaku politik yang didominasi oleh eksploitasi ujaran kebencian dan reproduksi hoaks tiada henti.
Lebih spesifik dalam konteks Pilpres 2019, kita belum menyaksikan kedua pasang capres-cawapres menyuguhkan perdebatan yang berkualitas. Visi, misi, dan program dipacak oleh masing-masing pasangan lebih sebagai sekadar formalitas. Polarisasi politik yang kadung membelah publik ke dalam dua kelompok yang saling berseberangan, membuat kedua pasangan capres-cawapres lebih memilih memainkan sentimen emosional calon pemilih ketimbang jualan program dan gagasan. Menjadi wajar jika sebagian publik merasa muak, jengah lantas memilih apatis dalam urusan politik.
Di tengah kebuntuan itulah parodi politik Nurhadi-Aldo muncul. Pasangan fiktif ini tidak datang dengan tawaran program atau gagasan baru, alih-alih justru memparodikan idiom-idiom politik yang selama ini berseliweran dalam ruang publik kita. Meski demikian, pada kenyataannya pasangan Nurhadi-Aldo tidak hanya menawarkan parodi berikut kelucuannya. Lebih dari itu, di balik jargon-jargon konyolnya, tersirat semacam kritik dan sindiran pada realitas politik kita hari ini; sebuah realitas politik yang nyaris tidak menyisakan akal sehat.
Barangkali terlalu berlebihan untuk menyebut bahwa kehadiran pasangan fiktif Nurhadi-Aldo ini akan mempengaruhi apalagi mengubah peta kontestasi politik nasional. Namun demikian, kita patut mengapresiasi kemunculannya sebagai bagian dari perayaan demokrasi era postmodern yang penuh suka-cita, tidak melulu tegang seolah-olah dunia akan berakhir jika pasangan yang kita dukung terjungkal secara elektoral.
Siti Nurul Hidayah peneliti pada Center for the Study of Society and Transformation
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini