Persoalan perubahan harga tiket pesawat kelas ekonomi domestik per rute dan per hari itu bukan domain pemerintah untuk turut campur langsung. Pemerintah, sebagai regulator, hanya mengatur harga batas atas dan harga batas bawah melalui sebuah kebijakan. Sedangkan, besaran harga setiap rute dengan jadwal tertentu diatur langsung oleh maskapai penerbangan secara bussines to bussines, sesuai kajian masing-masing maskapai.
Sejauh harga tiket tidak melampaui batas atas dan batas bawah yang ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan melalui Peraturan Menteri (PM) Perhubungan No. 14 Tahun 2016 Tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas dan Batas Bawah Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri, pemerintah tidak perlu ikut campur ketika harga tiket mahal asal masih di koridor peraturan. Formulasi harga tiket sudah lengkap diatur dan selama ini tidak bermasalah. Sayangnya Kementerian Perhubungan tidak komunikatif menjelaskan kepada publik ketika isu tiket dan bagasi berbayar ini merebak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penetapan Harga Tiket
Berdasarkan PM Perhubungan No. 14 tahun 2016 tadi, pemerintah hanya berwenang mengatur/menetapkan harga batas atas dan batas bawah saja. Selebihnya harga tiket per rute per waktu penerbangan ditentukan sendiri oleh masing-masing maskapai asal tidak melampaui batas atas dan bawah tersebut, termasuk pemberian diskon untuk bayi, pelajar, lanjut usia dan lain-lain.
Komponen tiket sendiri mempunyai banyak variabel, tergantung pada model pesawat (misalnya B 737 atau A 320 atau CRJ atau B 777, dll) dan jenis pesawat (jet atau propeler). Selain itu banyak faktor lain yang harus dimasukkan ke dalam rumus biaya per jam terbang, misalnya biaya operasi langsung tetap (sewa pesawat, premi asuransi pesawat, gaji awak pesawat, gaji teknisi, dan biaya pelatihan) dan biaya operasi langsung variabel (biaya avtur yang di Indonesia lebih mahal, biaya pelumas, tunjangan awak pesawat, biaya pemeliharaan pesawat dan overhaul, jasa bandar udara termasuk passenger service charge atau airport tax, biaya navigasi dan ground handling), ditambah biaya operasi tidak langsung (biaya umum dan komisi agen). Setelah ditambah margin keuntungan, maka didapatlah biaya operasi pesawat per jam (sesuai dengan model dan jenis pesawat). Untuk dapat menentukan harga tiket, biaya operasi pesawat tersebut di atas masih harus ditambah dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) 10%.
Untuk batas atas dasarnya adalah: biaya operasional per jam/65% x jumlah tempat duduk ekonomi di pesawat tersebut. Misalnya untuk jenis pesawat B 737 - 800 biaya per jam Rp 125.000.000; maka harga batas atas tiket kelas ekonomi per jam terbang sebesar Rp 125.000.000/65% x 144 seats = Rp 1.335.470. Sedangkan, batas bawah adalah 30% x Rp 1.335.470 = Rp 400.641 --belum termasuk PPn 10%. Jika kursi atau seats terisi di atas 65%, maka maskapai dapat menjual sisa seats dengan harga tiket lebih murah asal tidak di bawah Rp 400.641 (batas bawah). Makanya harga tiket bisa berbeda-beda, meskipun sama-sama kelas ekonomi. Batas atas dan bawah diterapkan supaya jangan ada kartel di angkutan udara atau ada banting bantingan harga yang membuat maskapai kecil akan langsung gulung tikar.
Sehubungan dengan cuitan netizen terkait dengan harga tiket mahal kalau terbang rute domestik daripada terbang internasional, sebagai konsumen yang hampir setiap minggu terbang domestik dan kadang internasional, dapat saya jelaskan sebagai berikut:
Misalnya saya punya 2 pilihan, pertama saya akan terbang langsung dari Bandara Kualanamu (KNO) ke Soekarno-Hatta (CGK) menggunakan Pesawat X Maskapai A (lokal) pada 15 Januari 2019. Harga tiket yang harus saya bayar sebesar Rp 1.860.000.
Pilihan kedua, saya terbang dari KNO ke CGK via KUL (Kuala Lumpur) dengan Pesawat Y Maskapai A. Namun, harga tiket yang harus saya bayar ternyata lebih murah, yaitu hanya Rp 1. 746.000. Pertanyaan saya, kok bisa begitu ya? Kondisi inilah yang sedang ramai dibahas di medsos dan dibuat petisi oleh beberapa pihak.
Penjelasannya kurang lebih seperti ini: Pesawat X milik Maskapai A (lokal) terbang langsung dari KNO menuju CGK , harga per kursinya sesuai perhitungan di atas plus PPn 10% adalah Rp 1.860.000. Namun, pesawat Y Maskapai A (lokal) yang terbang dari KNO ke KUL, kursi yang terjual hanya 40%. Maka daripada kosong, Maskapai A bekerja sama dengan Maskapai B (asing) menjual tiket KNO - KUL - CGK dengan harga murah untuk sekedar memenuhi kursi KNO - KUL dan KUL - CGK.
Berhubung Maskapai B yang membawa penumpang KUL - CGK adalah maskapai asing, maka bebas dia PPn dan tidak mengisi avtur di CGK yang mahal. Sehingga tiket KNO - KUL - CGK bisa dijual lebih murah daripada penerbangan langsung KNO - CGK. Penumpang senang meskipun harus bawa paspor dan maskapai riang karena seats terisi mendekati 80%, misalnya.
Untuk urusan tiket begitulah penjelasannya, sekarang bagaimana dengan urusan bagasi? Urusan bagasi diatur oleh PM Perhubungan No. 185 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Pada Pasal 22 jelas diatur bahwa untuk maskapai full service seperti Garuda maksimum bagasi gratis hingga 20 Kg. Sedangkan, untuk maskapai medium service seperti Sriwijaya, maksimum bagasi gratis hingga 15 Kg.
Sedangkan, untuk maskapai berbiaya murah atau LCC atau no frills penumpang boleh dikenakan biaya, sesuai Pasal 22 PM No. 185 Tahun 2015. Kalau selama ini LCC memberikan bagasi gratis, pasti untuk tujuan promo. Jadi jika sekarang dikenakan biaya, ya sah saja karena memang diizinkan dan pemerintah tidak perlu memberikan sanksi. Maskapai LCC cukup memberitahu saja kepada Dirjen Perhubungan Udara dan membuat pengumuman ke publik. Selesai.
Langkah Pemerintah
Ketidakpahaman publik terhadap penetapan harga tiket penerbangan dan biaya bagasi saat ini bermasalah karena mampetnya komunikasi publik pemerintah sehingga isu ini digoreng ke delapan penjuru angin melalui medsos yang patut diduga dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Langkah Menteri Perhubungan untuk meminta semua pihak yang terkait dengan industri penerbangan (PT Angkasa Pura, Indonesia Airnav, Pertamina) menurunkan biaya yang dikenakan ke maskapai membuat harga tiket penerbangan akan turun, di samping memang sudah masuk low season. Namun, kebijakan Menhub jangan berkepanjangan karena dapat membuat ketiga institusi tersebut bisa bermasalah.
Meskipun murahnya tiket tidak berkaitan langsung dengan keselamatan penerbangan, tetapi menjadi penting ketika struktur biaya terbang tidak dapat lagi diserap oleh maskapai, maka maskapai akan gulung tikar seperti saat ini (kasus Sriwijaya Air). Konsumen punya pilihan jika harga tiket penerbangan mahal bisa menggunakan moda angkutan lainnya, daripada memaksa minta harga murah tetapi maskapai berhenti beroperasi karena merugi. Dalam ilmu ekonomi, keseimbangan (equilibrium) diperlukan untuk keberlangsungan pelayanan dan kepentingan bersama.
Agus Pambagio pemerhati kebijakan pubik dan perlindungan konsumen
(mmu/mmu)