Sementara, debat Capres di Indonesia baru digelar tiga kali, yakni pada Pilpres 2009, 2014, dan 2019. Meskipun begitu, debat Capres tetap diminati dan dinanti karena pengaruhnya cukup besar terhadap popularitas dan elektabilitas kandidat.
Tetapi, segera perlu dicatat, Capres Donald Trump menang atas Hillary Clinton di Pilpres AS 2016 tidak hanya ditentukan oleh debat, melainkan oleh sejumlah faktor. Di antaranya faktor karena Hillary dianggap terlena dengan hasil survei yang sebelum itu selalu merilis keunggulannya. Faktor lain karena Trump mampu mengecoh media yang banyak diisi oleh pengamat di TV yang mengecam kebijakannya, namun sebagian penonton/pemilih justru senang dengan retorika-retorikanya. Bahkan belakangan diramaikan isu ada bantuan rezim di Rusia di belakang kemenangan Trump.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Indonesia, sebagaimana termaktub pada UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu, debat dianggap sebagai instrumen pendidikan politik dan sarana bagi para Capres dan Cawapres untuk menyampaikan visi dan misi, yang sudah disampaikan Tim Kampanye masing-masing Capres dan Cawapres ke KPU dan dokumen lengkapnya dapat diakses di website resmi KPU (kpu.go.id). Kemudian, oleh KPU debat dibagi ke dalam lima termin dengan debat termin pertama pada 17 Januari 2019, mengusung tema Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme.
Selain mengandung unsur edukasi atau pendidikan politik, debat harus dilaksanakan secara menarik (atraktif) agar mampu mendongkrak minat khalayak, baik konstituen, pendukung, simpatisan Capres dan Cawapres maupun pemilih yang belum menentukan sikap dan pilihan politiknya (undecided voter). Agar debat menarik, tata letak panggung debat, lighting, serta kostum Capres dan Cawapres, panelis, moderator, dan penonton yang langsung melihat acara debat di studio televisi, seyogianya dibuat semenarik mungkin.
Selain itu, sebisa mungkin debat Capres harus dapat menghibur. Unsur hiburan ini menjadi penting karena pada dasarnya sebagian masyarakat Indonesia itu bukan merupakan kategori penonton/pemilih yang serius dalam politik. Dimensi hiburan di acara debat bisa dilakukan oleh Capres dan Cawapres, panelis, dan moderator dengan cara menyelipkan pada sejumlah ucapan dan pernyataan berunsur humor. Bisa juga sebelum acara dimulai atau setiap sesi jeda debat diisi oleh hiburan musik atau stand up comedy. Jadi, tidak hanya diselingi iklan belaka yang justru membuat bosan.
Ketiga unsur dalam debat Capres, yakni mendidik, menarik, dan menghibur merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan harus menjadi agenda atau pekerjaan bagi KPU untuk memikirkannya. Tentu KPU tidak bisa bekerja sendirian, melainkan perlu mendapat masukan dari berbagai kalangan pakar, pekerja seni termasuk kalangan jurnalis dan pemilik televisi. Sebab, untuk mempadukan berbagai unsur tersebut, mereka sangat piawai, profesional, dan sudah teruji.
Tentu akan menjadi lain hasilnya, jika yang diminta pandangan hanya dari kalangan politisi, peneliti, dan penggiat demokrasi. Mungkin unsur pendidikan politiknya didapat, namun belum tentu debat Capres menjadi menarik dan menghibur.
Aktor yang Berperan
Untuk dapat mewujudkan keinginan tersebut, banyak tergantung dari sejumlah aktor yang berperan penting dalam debat; yakni, pertama, Capres dan Cawapres. Sebagai aktor utama di acara debat, mereka harus perform dan memiliki persiapan secukupnya, baik secara pisik, intelektual, mental, maupun emosional. Capres dan Cawapres harus menunjukkan integritas pribadi, moral, intelektual, dan sosial.
Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah sikap dan sifat seorang negarawan karena apa yang diucapkan menyangkut kepentingan masa depan masyarakat dan bangsa lima tahun mendatang. Karenanya, Capres dan Cawapres menghindari jangan sampai terjadi keseleo lidah di acara debat yang ditonton jutaan orang.
Kedua, tim panelis yang akan bertugas membuat soal pada debat Pilpres tersebut. KPU sudah merencanakan 8 (delapan) nama tim panelis. Mereka adalah Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad Bagir Manan, Ketua Komnas HAM 2017-2020 Ahmad Taufan Damanik, ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, Koordinator ICW Adnan Topan Husodo, mantan Komisioner KPK Bambang Widjojanto, pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis, dan satu orang pimpinan KPK.
Sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam menyusun daftar pertanyaan dan mempertanyakan kepada Capres dan Cawapres, pertanyaan panelis dituntut berkualitas, tajam, dan objektif.
Ketiga, moderator. Peran moderator sebagai pemandu debat sangat penting guna mengatur lalu lintas debat agar berlangsung fokus dan lancar dalam suasana serius, namun tetap santai. Dalam kedudukannya sebagai jembatan komunikasi, moderator harus berlaku adil dalam memberikan kesempatan pada semua Capres dan Cawapres untuk menyampaikan visi, misi, dan pandangannya.
Untuk itu, moderator haruslah dikenal sebagai figur yang tidak saja memiliki kualitas personal, intelektual dan emosional, juga harus camera face sehingga secara keseluruhan acara debat menarik untuk ditonton. Selain Ira Koesno dan Imam Priyono, mestinya komedian Cak Lontong masuk dalam nominasi agar unsur hiburan di acara debat terakomodasi.
Keempat, penonton yang hadir secara langsung di studio televisi. Penonton harus berperilaku tertib, spontan, dan sportif. Ekpresi tepuk tangan dan yel dibuat sedemikian tertib. Jangan membuat celetukan, teriakan, atau histeria seperti di tengah pertandingan sepak bola sekelas antarkampung. Apalagi mengakibatkan suasana debat menjadi tidak kondusif dan berubah menjadi gaduh.
Jangan lupa, acara debat ditonton oleh jutaan penonton televisi di Indonesia maupun mancanegara. Agar debat berlangsung tertib, ada baiknya para penonton yang mengikuti debat langsung di studio televisi diseleksi secara ketat.
Kelima, Penyelenggara Pemilu, khususnya KPU harus mampu memainkan perannya secara profesional. Koordinasi yang baik dengan pengelola, kru televisi, panelis, dan moderator yang bertugas di acara debat harus benar-benar dilakukan dengan baik, termasuk dari aspek keamanannya di dalam maupun di luar studio. Sebab, manakala terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau kurang baik dalam pelaksanaan debat di televisi, yang paling bertanggung jawab adalah KPU.
Dalam situasi di mana KPU banyak mendapat sorotan publik, maka debat Capres dan Cawapres bisa dijadikan instrumen bagi KPU untuk memperbaiki kinerja, kredibilitas, dan soliditas organisasinya.
Risiko Debat
Sebagai salah satu bagian dari suatu kompetisi politik, arena debat di studio televisi (saat atau sesudah) bisa saja berubah menjadi seperti arena pentas musik dangdut di arena terbuka yang diselingi dengan kericuhan karena terjadi saling sikut di antara peserta yang hadir. Atau, bisa saja panggung debat menjadi antiklimaks karena Capres dan Cawapres tidak tampil maksimal, trengginas, dan penuh greget. Situasi dan kondisi semacam ini harus diantisipasi oleh para pihak yang terkait langsung dengan acara debat kandidat, khususnya KPU, agar tidak terjadi.
Bagi Capres dan Cawapres, risiko debat seperti apapun juga harus bisa diantisipasi. Manakala hasil debat mampu mendongkrak popularitas dan elektabilitas kandidat, momentum tersebut harus dipertahankan hingga ke termin selanjutnya. Sebaliknya, jika pascadebat justru memelorotkan popularitas dan elektabilitas kandidat, harus dicari akar penyebab dan solusinya agar pada debat di sesi selanjutnya memperoleh hasil lebih baik. Dampak lain dari pascadebat yang harus diantisipasi adalah terhadap soliditas atau sebaliknya insoliditas tim kampanye masing-masing Capres dan Capres.
Bukan hanya terhadap Capres dan Capres, debat juga bisa berpengaruh terhadap popularitas dan elektabilitas partai politik pengusung. Yang paling terkena dampak signifikan tampaknya adalah pengusung Capres dan Cawapres di luar PDI Perjuangan dan Partai Gerindra sebagai pendukung Paslon No 01 dan 02. Karena dengan meminjam teori efek ekor jas (coat-tail effect), kedua partai politik tersebut paling diuntungkan, apapun hasil Pilpres.
Yang agak riskan justru partai politik pendukung di luar PDI Perjuangan dan Partai Gerindra. Bahkan sejumlah partai politik diprediksi lembaga survei tidak lolos parliamentary threshold 4 (empat) persen dari jumlah suara sah secara nasional.
Aspek lain yang terkadang membuat debat menjadi tidak atau kurang bermakna dari sisi kehidupan berpolitik dan berdemokrasi, akibat ulah lembaga survei yang biasanya melakukan jajak pendapat pasca dilaksanakannya debat. Terutama oleh lembaga survei yang by design didanai oleh tim kampanye untuk menaikkan citra positif --padahal selama debat posisinya underdog. Akibat jajak pendapat by sponsorsed ini bisa terbentuk opini dan persepsi publik yang keliru. Bahkan bisa menyesatkan karena Capres dan Cawapres dengan partai politik pendukung yang performed, justru diopinikan sebaliknya. Minimal menjadi bias.
Jika itu yang terjadi, siapa yang bisa disalahkan, dan apa yang harus dilakukan?
Tentu sulit menyalahkan lembaga survei karena ideologi lembaga survei biasanya perpaduan antara pendekatan metodologi ilmiah dengan orientasi bisnis. Bahkan bagi lembaga survei "abal-abal", kredonya "membela yang bayar". Dalam situasi seperti ini, maka Capres dan Cawapres, partai pendukung, dan tim kampanyenya, serta masyarakat/pemilih harus diberdayakan dan mampu bersikap cerdas, rasional, dan kritis. Artinya, pemilih jangan menelan mentah-mentah hasil survei sebagai satu-satunya pengukur elektabilitas dan kredibilitas calon. Apalagi menjadikannya sebagai pedoman perilaku guna menentukan pilihan pada Pilpres dan Pileg 2019.
Achmad Fachrudin Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia DKI, Anggota Bawaslu DKI 2012-2017
(mmu/mmu)











































