Keterampilan Turun Kelas
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Sentilan Iqbal Aji Daryono

Keterampilan Turun Kelas

Selasa, 08 Jan 2019 11:15 WIB
Iqbal Aji Daryono
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Keterampilan Turun Kelas
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono)
Jakarta - Dalam napas kehidupan yang spiritnya cuma kompetisi di sana-sini, ada satu kemampuan dasar manusia yang terlupakan, yaitu skill alias keterampilan untuk menurunkan kelas kita, selera kita, gaya kita.

"Ibaratkan kita ini punya duit seratus, semestinya gaya kita ya maksimal seratus. Syukur-syukur pas punya seratus gaya kita lima puluh saja. Tapi itu sulit. Lha wong yang lebih sering terjadi, kita punya seratus, tapi gaya kita langsung dua ratus kok. Hahaha."

Kira-kira seperti itulah petuah salah seorang kawan saya, Pak Kaji Edan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam rangka mewujudkan apa yang ia petuahkan itu, ke mana-mana Pak Kaji sarungan. Sekali dua kali dia pakai celana jins juga sih ya, tapi brand dia adalah sarungan, dan kakinya cuma berbalut sandal Lily. Padahal, sebagai seorang triliuner, Pak Kaji jelas tak menemui kesulitan sedikit pun untuk mengakses segala jenis produk fashion. Tapi buat dia, sandal Lily tetaplah kunci.

Anda tahu sandal Lily? Itu sandal klasik ndeso yang murahan, zaman dulu jadi sandal favorit orang-orang kampung.

Saya ingat, almarhum Bapak saya saja malu pakai sandal Lily. Tapi simbah saya pakai, dan sandal itu selalu mengingatkan saya kepada aroma tritip alias borok-borok di telapak kaki Simbah akibat serangan kutu dari air sawah.

Ah, pokoknya sandal yang itu deh.

Poinnya, sandal Lily yang ndeso itu dipakai Pak Kaji bukan untuk main humble-humble-an atau sejenis kegenitan serupa, melainkan demi sebuah tujuan, yaitu untuk mengasah mental dan keterampilan turun kelas.

Lantas, apa pentingnya skill turun kelas? Itu kan yang mau Anda tanyakan?

Untuk menjawabnya, saya punya cerita yang lain lagi.

Dulu, tiga belas tahun yang lalu, saya menikah. Di saat saya melamar gadis yang belakangan menjadi ibu dari kedua anak saya itu, penghasilan saya cuma Rp 800 ribu per bulan. Itu saja masih kepotong ongkos transportasi PP ke tempat kerja sekitar Rp 120 ribu.

Dengan uang segitu, saya berani melamar anak orang. Si anak orang juga bekerja sih, gajinya Rp 750 ribu. Tapi intinya kami hidup dengan uang bulanan di bawah dua juta. Strateginya, kami ngekos, bukan mengontrak rumah. Itu saja.

Selebihnya, kami merasa hidup kami waktu itu baik-baik saja. Indah-indah saja. Cukup-cukup saja. Setengah mati saya berjuang keras mengingat apakah pernah kami mengeluh kekurangan uang pada masa itu, toh ingatan saya tidak menemukan keluhan serupa.

Tapi, tunggu dulu. Saat ini, kondisi kami sudah jauh lebih "baik" daripada masa-masa itu. Selama tiga belas tahun usia pernikahan, jelas pernah muncul keluhan perkara ekonomi. Hebatnya, justru keluhan itu hadir bukan di saat-saat kami harus hidup dengan ongkos bulanan senilai satu koma.

Jadi, secara matematika, pola ini aneh juga. Hidup mepet nggak mengeluh, hidup yang semestinya berkecukupan malah mengeluh. Pertanyaannya, apakah saya mau kembali ke masa ngekos dulu? Biar stabil bahagia gitu? Hehehe, ya enggak to ya.

Anda pasti tak beda dengan saya dan jutaan keluarga lainnya. Sebab memang yang paling berat bukanlah hidup dengan ongkos mepet, melainkan hidup turun kelas. Kalau kondisinya di bawah tapi kita memang belum pernah di atas, hidup kita akan terasa baik-baik saja. Beda kalau pernah naik tapi tiba-tiba melorot, nah itu, sakitnya jadi menarik untuk didramatisasi.

Dalam formula kalimat yang lebih alay, bisa saya racik begini: "Sakit karena kehilangan jauh lebih pedih daripada sakit karena belum pernah mendapatkan."

Itu. Silakan dikutip, jangan malu-malu.

Nah, kembali, Pak Kaji sahabat saya itu mengajarkan lelaku spiritual turun kelas dalam skema proyek latihan mental, agar ketika suatu saat kehilangan sesuatu, keperkasaannya tetap terjaga.

***

Saya cerita berpanjang-panjang seperti barusan sebenarnya juga cuma karena gatal. Gatal, sebab saya belum ikut-ikutan membahas kasus tuduhan prostitusi artis senilai Rp 80 juta sekali tarik.

Saya tidak hendak secara spesifik membahas artis yang itu kok. Biarlah itu jadi urusan mereka yang berhak mengurus saja. Kalau Anda merasa bagian dari yang berhak, ya monggo saja hehehe.

Tapi begini. Ngomong-ngomong soal prostitusi di kalangan artis, bohong kalau kita pura-pura baru dengar. Itu gosip lama. Lama sekali. Sudah sejak SD saya mendengar isu seperti ini dan turunan-turuannya. Dulu di zaman saya masih berseragam putih-merah, seorang bintang iklan produk vitamin juga diterpa isu serupa. Beberapa tahun kemudian mendengar yang begituan lagi, kemudian hilang lagi. Sekarang ramai lagi, besok juga pasti lenyap lagi.

Sementara, dunia yang muncul dan hilang itu bukan berarti terhenti.

"Problemnya ya sesederhana tidak mampu menurunkan gaya hidup." Itu bocoran dari kawan saya yang lain, seorang penyanyi kondang yang dekat dengan lingkungan para pesohor layar kaca.

Simpel saja polanya. Industri hiburan itu kejam. Ia mencomot orang dari jalanan, mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu setelah penonton bosan, orang yang sedang diangkat tinggi itu dibanting dan dicampakkan. Brukkk!

Sialnya, mencari uang di dunia hiburan itu mudah. Ratusan juta per bulan bisa didapatkan. Iya, itu sial. Sebab kemudahan demikian sering membuat para pion panggung lupa daratan.

Kalau lupa daratannya diejawantahkan dalam bentuk hidup hura-hura nyenyong-nyenyong semaunya sih ya wajar saja. Lha gimana, duit mengalir tiada habisnya. Yang paling bermasalah bukan di situnya, melainkan pada imajinasi bahwa kehidupan seperti itu akan berlangsung selamanya.

Mereka ge-er. Industri tidak sebudiman itu. Dalam waktu singkat dan mendadak, para pion itu bisa ditendang seketika.

Nah, dimulailah polanya. Gaya hidup telanjur setinggi langit, lingkaran (juga tekanan) sosial telah terbentuk, tiba-tiba kucuran uang menghilang. Satu-satunya cara mengeruk uang yang praktis, cepat, dan banyak, ya prostitusi.

Industri gelap prostitusi artis memang bukan cuma menjual (maaf) tubuh dan daging. Industri ini memperdagangkan sensasi dan imajinasi. Semakin ngetop seorang pesohor yang masuk di lingkaran bisnis ini, tentu saja semakin mahal tarifnya. Kecantikan, apalagi skill layanan, bukan satu-satunya standar. Itulah kenapa bisnis gelap ini agak berbeda dengan prostitusi konvensional, dan cara membaca fenomenanya pun harus dengan kacamata yang berbeda.

Ini bukan semata tentang libido, moralitas, apalagi ekonomi. Ini tentang lemahnya skill turun kelas.

Maka, kalau para pemegang wewenang ingin mengatasi soal-soal seperti ini, solusinya tentu saja bukan pengentasan kemiskinan dan ide-ide klasik semacam itu. Itu prostitusi kelas tepian rel dan bantaran kali.

Solusi moral pun tak pernah berhasil menjadi jawaban, apalagi dalam perspektif moral biasanya yang diserang cuma pelacurnya. Konsumennya tidak, industrinya tidak, apalagi akar masalahnya.

Lalu bagaimana?

Ya saya nggak tahu. Silakan Anda yang pakar-pakar itu mencari jawabannya. Intinya, selama industri hiburan gampang mengangkat sekaligus gampang mencampakkan (dan rasanya sampai kiamat pun akan seperti itu), lalu disambut dengan minimnya pendidikan publik untuk meningkatkan skill turun kelas, maka prostitusi artis akan tetap ada. Itu pandangan saya.

Selebihnya, tugas saya sudah saya lunasi, yaitu memetakan pola fitrah kehidupan dan menyajikan satu resep kekuatan mental hehehe. Yaitu bahwa hidup ini tak bedanya dengan iman dan nilai tukar rupiah: kadang di atas, kadang di bawah, kadang menguat, kadang melemah. Dua-duanya harus diantisipasi.

Selama ini, sistem pendidikan kita yang terlalu kognitif itu hanya mengajarkan bagaimana cara mencapai sesuatu, tanpa pernah memberikan rumus kuda-kuda yang kokoh jika anak didik kehilangan sesuatu.

Apakah saya sudah tampak bijak dan edukatif hari ini?

Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads